Pengantar
  Kalau mendengar kata beda, terbesit dalam pikiran saya adalah padanan kata dari beda, seperti ragam, majemuk, dan juga kaya. Namun, tak sedikit orang juga mengaitkan kata beda dengan kata konflik, layaknya air dengan minyak yang ingin bersatu, selalu tidak bisa. Selalu berjalan sendiri-sendiri. Menganggap keberbedaan sebagai salah satu faktor utama ketidakbersatuan masyarakat.Â
  Artikel oleh Pater Leonardus Samosir OSC yang berjudul MOZAIK YANG "HARUS" SERASI: KONFLIK AGAMA  dalam buku "Multikulturalisme, Kekayaan dan Tantangannya di Indonesia," setidaknya ada dua pertanyaan reflektif sebagai bahasan bagaimana mozaik yang sedemikian rupa "harus" serasi demi berlangsungnya kehidupan bersama.
  Pertama, sejauh mana instansi "supra" menjaga unitas dalam diversitas.
  Kedua, apa peran seharusnya manusia dalam hidup bernegara dan berbangsa, bahkan dalam hidup mendunia.
Keberbedaan: Jurang VS Jembatan
  Ego individual maupun komunal selalu mempengaruhi sistem dan pada akhirnya selalu berujung pada konflik yang bisa memutus tali persaudaraan, bahkan lebih buruknya adalah memutus harapan hidup seseorang.Â
Menjadi perhatian bersama bahwa perbedaan merupakan kerja bersama. Bukan siapa pemimpinnya, kabinetnya, atau lain pihak yang harus bertanggung jawab atas realitas pluralitas ini, namun semua masyarakat dalam naungan bangsa Indonesia turut andil dalam menjaga realitas hidup bersama. Hal ini merupakan proses panjang yang tak pernah berhenti (long lifetime process).Â
Ragam aspirasi, ragam persepsi. Dengan menyadari pluralitas merupakan bagian dari kehidupan yang harus dihidupkan terus menerus, kebutuhan akanÂ
pengakuan (the need of recognition) terhadap kemajemukan budaya maupun agama, maka keberbedaan dapat menjadi sebuah 'jembatan' yang menyatukan sekaligus titik tengah dalam menjalin keberlangsungan hidup beragama dan berbudaya di masyarakat pluralis.
Realitas yang terus dihidupi: Cara-cara