Apakah Kartini berjalan dalam koridornya sendiri tanpa dukungan dari sebuah institusi besar dibalik nama keluarga bangsawannya?
Preface
Saya membayangkan bagaimana jika di dunia penuh cibernetik ini diwarnai dengan beragam tokoh, baik itu skala lokal, nasional, ataupun internasional. Bukankah itu tidak terlalu buruk? Apakah ingatan manusia begitu stagnan untuk memikirkan kesemua kesan terhadap tokoh-tokoh tersebut? Menurut National Geographic yang melakukan riset pada seratus orang korban pemboman World Trade Centre (2011), ingatan manusia akan berubah setiap tahunnya, bahkan meaning (pemaknaan) dari satu peristiwa yang sebelumnya begitu dramatik bisa menjadi biasa saja hanya terbatas pada waktu. Berbeda pada kondisi korban yang benar-benar trauma maka kondisi akan diam.
Di berbagai sekat historis setiap bangsa tidak akan pernah lepas dari hal-hal bertaut penokohan. Akar peradaban Eropa, Yunani, erat kaitannya dengan keberadaan Aristotle, Plato, Tucidides, Dewi Aphrodite, Dewa Zeus, dan lain sebagainya. Amerika memunculkan Abraham Lincoln sebagai presiden pertama lepas dari Inggris, George Washington, Suku Indian, Madonna, George Washington Bush, Obama, serta ratusan tokoh lainnya. Perancis dengan peran Louis XVI dan Maria Antoniette, Mesir menokohkan Fir’aun dan Cleopatra. Begitu pula Indonesia yang sama sekali tidak kontradiktif dengan konsep tokoh, tak kalah banyak dalam hal melakukan penokohan. Pertanyaan besar yang segera menemui realisasinya adalah benarkah nantinya masyarakat di suatu negara akan mengingat satu tokoh tersebut dengan ingatan yang sama?
Menurut Geertz (2003), satu objek dalam mnemonic manusia tidak akan sama persis gambarannya dalam hal mengingat, apalagi dalam temporal tertentu. Secara politis apakah tidak dapat kita prediksikan bahwasanya salah satu tokoh di masa lampau begitu populer tersebut ada suatu masa akan dipakai sebagai ajang mempopulerkan suatu kelompok atau partai? Dalam kurun waktu temporer misalnya, dapat diamati perpolitikan Indonesia terutama mendekati masa-masa kampanye entah itu tingkat gubernur ataupun kepresidenan, seringkali ditemui beberapa partai notabene motor dari para calon terpilih sering mengusung tokoh-tokoh dari masa lalu, Soekarno misalnya.
Sitti Zurroh (2015) seorang politikus terkemuka dalam wawancaranya di salah satu televisi swasta menilai, “ini salah satu simbolosasi kepentingan, dapat kita lihat kebiasaan satu tokoh yang sebelum mencalonkan menjadi A cara berpakaian luwes apa adanya, tetapi setelah mencalonkan dia memakai simbol-simbol sarung, tasbih, dan lainnya untuk meyakinkan bahwa dia seorang beragama. Saya pikir ini bukan soal agama, tetapi kepentingan”. Adapula fenomena sosial lain dapat diamati salah satu partai politik yang sebelumnya hanya partai marjinal di Indonesia, setelah mengusung satu tokoh besar suaranya melejit berhasil memukau rakyat. Lagi – lagi sedikit masyarakat yang kritis terhadap simbolisasi semacam ini.
Berkaca pada peristiwa-peristiwa temporer jika ditarik ranah historisnya, maka munculnya konsep penokohan selama ini tak lepas dari apa yang sudah dilakukan penjajah di masa lampau. Asvi Warman Adam dalam bukunya “Membongkar Manipulasi Sejarah: Kontroversi Pelaku dan Perisiwa” (2009) menjelaskan sejarah selama ini terlalu dimanipulasi. Tokoh-tokoh penting menurut sejarah Indonesia pun tidak lepas dari campur tangan penjajah, siapa sangka jika yang tidak melawan Belanda dapat disebut pahlawan? Ini seperti menempatkan bangsa Indonesia pada jebakan ilusi penokohan, akhirnya fanatik terhadap satu kelompok yang menyebabkan disintegrasi bangsa. Bagaimana dengan Kartini? Benarkah dia adalah tokoh emansipasi wanita atau sengaja dibuat agar di masa depan, bangsa ini terjebak pada penokohan yang tidak realitas dengan kemajuan? Hal ini semacam ahistoris.
Pergerakan Emansipasi Internasional
Dalam catatan Mari Wollstonecraft’s Vindication of The Rights of Women (1792) dan John Stuart Mill’s The Subjection of Women (1869) yang diterbitkan ulang tahun 2013, pergerakan emansipasi perempuan di dunia terjadi pada masa-masa awal dan pertengahan dari megahnya Revolusi Industri dan Revolusi Perancis. Ini diperjuangkan karena beberapa kausalitas salah satunya adalah kesetaraan yang diinginkan wanita dalam hal perpolitikan. Di pemilihan umum tahun 1848-1849, perempuan tidak mendapat tempat hanya sekedar unutk menyuarakan dirinya. Perbudakan dan pemerkosaan yang sering terjadi pada masa merebaknya industrialisasi terutama pada kaum perempuan marjinal, membuat pergerakanperempuan kian gencar dilancarkan di pertengahan abad 19.
Di Indonesia atau Hindia Belanda kuasa milik kolonial atau di negara-negara terjajah lainnya seperti India, Thailand, China, seperti tidak muncul suara-suara kaum perempuan. Bahkan ketika penjajahan Jepang terhadap perempuan Filiphina sekitar tahun 1950-an, pergerakan emansipasi perempuan belum terlihat gaungnya. Baiklah dapat dikatakan emansipasi perempuan layaknya suara menggelegar yang berkembang ada yang bersifat kooperatif sampai radikal. Emansipasi perempuan membawa pengaruh signifikan pada perkembangan perempuan. tetapi yang hasur dipertanyakan disini adalah sejauh mana emansipasi perempuan berpengaruh realitas pada perempuan-perempuan di negara-negara terjajah? Berani saya katakan, emansipasi demikian ini terlambat satu abad lamanya dibanding perempuan-perempuan di Eropa sana yang negaranya sudah mapan.
Negara Perancis, Inggris, dan Amerika yang sedang memperjuangkan kaum perempuannya dari slaves, pembatasan suara, mereka pula mencoba mengentaskan para perempuan di Amerika Latin dan Afrika yang saat itu terjajah. Tetapi bagaimana dengan suami-suami dari diantara perempuan yang sudah menikah dalam emansipasi tersebut?apakah benar tidak ada hubungan suami mereka dengan negara sebagai satu institusi politik besar? Meski berbalut ideologi liberalis, namun tatanan politis tetap bsaling bertautan antara pekerjaan satu individu dengan negara. Suami dari Mari Wollstonecraft’s, William Godwin seorang wartawan dan novelis, dia sangat mendukung istrinya untuk mendukung perjuangan kaum perempuan di Eropa dan Amerika. Dirinya juga membiayai istrinya untuk menjalankan emansipasi itu, tentu dengan ijin negara (National Geographic, 2012). Lagi-lagi sebuah pertanyaan besar, benarkah emansipasi perempuan berjalan tanpa kooperatif? Apakah Kartini berjalan dalam koridornya sendiri tanpa dukungan dari sebuah institusi besar dibalik nama keluarga bangsawannya?
Kartini: Boneka Belanda?
Peringatan hari Kartini setiap tahunnya, menjadi penghormatan rakyat Indonesia terhadap tokoh perempuan. Perjuangan emansipasi perempuannya sudah terkenal sampai ke negeri Belanda. Siapa yang tak tahu buku “Habis Gelap Terbitlah Terang?”, siapa yang tahu tulisan “Als Ik Nederlander Was” yang diciptakan Suwardi Suryaningrat? Mengapa hanya majalah “De Locomotif” yang mau menerbitkan tulisan ini? itu pun juga orangnya harus dipenjara. Mungkin inilah keistimewaan Kartini. Lahir dari keluarga bangsawan, anak seorang patih Rembang.
Perjuangannya dikenal tidak memperlihatkan radikalisme terhadap Belanda bahkan dapat dikatakan sangat kooperatif. Jika kita cermati perjuangan tokoh-tokoh bangsa sebelum Kartini sebut saja Cut Nya Dien, Martatiahahu, dan lainnya, mereka semua bernasib naas karena dianggap pemberontak penjajah. Padahal mereka juga memberikan pemikiran sumbangsih bagi rakyat. Apalagi era setelah Kartini, organisasi se kooperatif appaun, akan selalu bertentangan dengan Belanda.
Hidup di akhir abad-19, tidak membuat Kartini mudah dalam hal berjuang menginspirasikan pikirannya, karena perpolitikan Hindia-Belanda yang ketat saat itu. Semua bangsawan pribumi harus tunduk pada Belanda. Meski Kartini selalu bersurat-suratan dengan sahabatnya di Belanda, memangnya orang Belanda mana yang berani dan mau menghubungkan keduanya jika itu pada akhirnya akan merobohkan kekuasaan Belanda di Indonesia.
Rushdy (2016) seorang Doktor Sosiologi lulusna Universitas Harvard, menceritakan pertemuan Kartini dengan Nyonya Rosa Manuela Abendanon-Mandri, istri Jacques Henrij Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama, dan Industri Hindia tak terjadi secara kebetulan. J.H. Abendanon mengunjungi kediaman keluarga Raden Mas Ario Sosroningrat di Jepara atas rekomendasi dari Christiaan Snouck Hurgronje, penasihat Pemerintah Hindia Belanda.
Sebenarnya pada saat itu, sekitar tahun 1900, ujar Rushdy, ada rencana Nyonya Abendanon akan menjadi petinggi di Belanda. Ditambah adanya niat untuk mengangkat Politik Etis secara menyeluruh. Karena itulah JH Abendanon mencari figur yang paling tepat untuk menonjolkan pentingnya Politik Etis di tanah jajahan. Dari pihak wanita, dipilihlah RA Kartini. Pemilihan ini sendiri, didasari beberapa alasan. Pertama dan paling kuat, dalam diri Kartini tidak ada motivasi melawan kolonialisme Belanda. Kedua, Kartini berjuang hanya sebatas kemajuan wanita agar tidak melulu menjadi konco wingking. Ketiga, Kartini merupakan bagian dari kepriyayian. Dalam perspektif Belanda, priyayi adalah jalan tengah sekaligus tempat bergantung. Jika mereka ingin menerapkan sesuatu di tanah jajahan, Pemerintah Hindia Belanda akan mendekati para priyayi terlebih dahulu.
Sepak terjang Kartini dianggap tidak berbahaya karena Kartini hanya membuat sekolah di belakang pendopo rumahnya serta melakukan diskusi kepada para wanita lainnya. Dengan alasan itulah, kemudian proyek Kartini dijalankan. Tujuh tahun setelah kematiannya, terbitlah Door Duisternis Tot Licht(Habis Gelap Terbitlah Terang), kumpulan surat-surat Kartini yang disunting oleh Abendanon. Sekolah-sekolah Kartini di seluruh Indonesia juga didirikan. Harsja W Bachtiar mencatat, dua tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda de Boy-Boissevain mengadakan prakarsa pengumpulan dana yang memungkinkan pembiayaan sebuah sekolah di Jawa Tengah. Pada 27 Juni 1913, didirikan Komite Kartini Fonds yang diketuai C Th Van Deventer. Usaha pengumpulan dana ini lebih memperkenalkan nama Kartini serta ide-idenya kepada orang Belanda.
Jangka panjangnya adalah, sebagai modal awal pembentukan Politik Ethiek. Untuk memperlancar usaha ini maka Belanda berusaha membentuk tokoh agar inlander percaya bahwa Belanda memiliki itikat baik bagi kemajuan pribumi. Kenyataannya, Ethiek hanya dibentuk untuk brand image Belanda agar baik di depan kemaharajaan Kolonialis Eropa. Di masa depan, penokohan semacam ini digunakan sebagai simbol utnuk mengatur pola pikir bangsa Indonesia agar terpecah belah. Masih benarkah seorang Kartini bukanlah boneka Belanda?
Sumber :
- Legene S, Walldijk. 2007. Mission Interupted: Gender History and The Colonial Canon. Pallgrave Press: NYC
- Majalah National Geographic, 2012. Mnemonic and Emantipation of Women. New York: N.G. Press
- Adam, A. 2009. Membongkar Manipulasi Sejarah: Kontroversi Pelaku dan Perisiwa. Jakarta: Kompas
- Wollstonecraft’s, M. 2013. Vindication of The Rights of Women. Indiana: Hackett Publishing
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H