Mohon tunggu...
Aryni Ayu
Aryni Ayu Mohon Tunggu... Penulis - Asisten Peneliti

Cleopatra

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dekonstruksi Penulisan Sejarah “Kolonialisme dan Imperialisme”

2 September 2016   05:54 Diperbarui: 2 September 2016   07:30 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang dikatakan sebagai dekonstruksi penulisan sejarah adalah menuliskan sejarah dalam koridar pencarian the truth, tanpa keraguan

Antara Kolonialisme dan Imperialisme. Tidak ada beda memang. Bedanya hanya antara koloni (tanah) dan Imperial (konsep) yang kesemuanya digunakan untuk menjajah, dari yang kuat ke lemah, dari pemilik modal ke pekerja, dari hegemoni patron ke klien. Tak lupa dengan konsep beradab ke tak beradab, berbudaya dan tidak. 

Saya pikir, konsep ini yang sering mereka (penjajah) gunakan alih-alih menguasai hampir seluruh aset suatu daerah. Sebenarnya, artikel ini merupakan bentuk kegelisahan penulis atas penjajahan di masa lampau, namun efeknya tak pernah berhenti di masa lampau. Termasuk dua buku milik Linda Tuhiwai Smith berjudul “Decolonizing Methodologie” dan Alun Muslow “ The Future of History”.

Linda Tuhiwai Smith, seorang penulis berlatar belakang seorang perempuan yang pernah menjadi bagian dari ritual suku Maori, paham benar akan kegelisahan orang-orang terjajah yang dijadikan objek para ilmuwan untuk meneliti dan menuliskan sejarah. Jelas dalam pemikirannya, cukup keras menanggapi konsep-konsep barat mengenai penjajahan. Dari ketidak sukaannya saat orang-orang Barat mencoba membuka kembali pesakitan-pesakitan kaum Maori tentang adat istiadat, yang pernah mereka jajah di masa lampau. Ini “Pahlawan” bagi negara penjajah, bagi yang menderita, mereka (penjajah) tetaplah penghianat. 

Linda mempertanyakan bagaimana nasib orang-orang Aborigin yang pernah mengalami pembunuhan massal  lebih dari 750 ribu orang sepanjang tahun 1788 hingga era 1970-an. Seperti dilansir berita The Australian (25 Februari 2014), Tonny Aboot mendapat kritikan panjang setelah berpidato mengenai kekagumannya atas mendaratnya kapal Inggris pertama di Australia sebagai momen yang bersejarah. Lantas, ini tidak menimbulkan kekaguman, mengingat bagaimana bisa sebuah kapal kecil dapat lebih menentukan dari warga yang hidup sejak 60 ribu tahun lalu di benua Australia? 

Linda membahasnya bukan tanpa dasar pemikiran, salah satu rujukannya Robert J. Young, dalam Colonial Des~re: Hybridity in Theory, Culture and Race (London and New York: Routledge 1995), menyebutkan bahsan panjang mengenai kolonialisme yang diartinya sebagai pelombaan, penyatuan/penghapusan budaya asli, pelecehan sex seringkali terjadi, dan semua itu dilakukan atas dasar perluasan wilayah.

 Young menyebutkan struktur-struktur penjajahan layaknya ditulis dalam ide sejarah yang lebih totalitas. Karena menurut si Terjajah, sejarah mereka sering dimanipulasi, dihapuskan sesuai kepentingan si Penjajah, atau yang disebut Linda His-Story. Adapun dalam bahasan Alun Muslow, mengenai penulisan sejarah hendaknya mendasar pada epistemologi, mengingat kita tidak bisa menerima begitu saja fakta-fakta yang telah dinarasikan. Muslow menyebut bahasan luas mengenai  masalah besar yang dihadapi para sejarawan di abad ke-21, masalah sejarah apakah yang kita kenal memiliki masa depan dan, jika tidak, apa yang sejarawan harus lakukan tentang hal itu. 

Munslow melihat masalah utama sebagai metodologis dan, sementara buku ini tidak memecahkan masalah itu, dia memberikan kesempatan langka bagi sejarawan untuk memajukan pemahaman mereka tentang dimana profesi mereka berdiri untuk maju di masa depan. Keterbatasan Munslow bagi saya, dari fakta bahwa ia tidak cukup terlibat dengan masalah bahasa, dan melewatkan kunci dari pembaharuan metodologis. 

Namun Munslow menyajikan kasus yang baik untuk pandangannya bahwa sejarawan harus bekerja lebih eksperimental, untuk menghasilkan perubahan nyata daripada penjelasan sejarah yang sudah ada. Muslow, mendasarkan pendapatnya pada salah satu filosof Amerika Richard Rorty dalam bukunya Philosophy and The Mirror of Nature (2009 : 171) yang memaknai sejarah sebagai rumusan mengenai hubungan antara kebenaran dari kalimat sejarah dan kejadian. 

Satu hal yang membuat keduanya berbeda adalah ‘about’ tentang siapa dan bagaimana kejadian sejarah itu direkonstruksi. Selain itu, jika kita melihat pengetahuan sejarah sebagai bagian besar dari diskusi dan praktik sosial, maka kita dapat mengkritisi semua hal yang dituliskan sejarah. Hal ini menjadi menarik ketika pencarian kebenaran “the truth” pada epistemologi filsafat menjadi masalah bagi sejarawan. Seperti yang sudah-sudah, sejarawan secara multidisiplin diharuskan mampu mengatasi penulisan sejarah yang stagnan. Benar pula yang dikatakan Linda, ide penulisan sejarah harus bersifat universal, artinya mencoba pendekatan berbagai disiplin ilmu dan gamblang.

Apa yang dikatakan sebagai dekonstruksi penulisan sejarah adalah menuliskan sejarah dalam koridar pencarian the truth, tanpa keraguan. Entah itu berpihak pada siapapun, jelasnya, menurut Prof. Bambang Purwanto (dalam kuliahnya tanggal 24 Agustus 2016) tidak mungkin sejarah itu tidak subjektif. Rusen (1990) menyatakan, “neutrality is the end of History”, ketidakmungkinan jika sejarah hanya ditulis benar dan salah, apalagi bersifat netral. 

Hal ini menjadi catatan tersendiri bagi sejarawan, untuk selalau memperbaharui interpretasi konstruksi terhadap event dalam sejarah. Dalam struktur kognitif sejarawan terutama di era post modern ini, pemakaian multi disiplin ilmu menjadi hal yang tidak terbantahkan untuk memperkuat pencarian epistemologi dalam sejarah. Bisa saja, pembahasan penulisan sejarah adalah mengenai kolonialisme dan imperialisme yang dapat dianalisis melalui beberapa teori. Pertentangan yang terjadi sekitar abad-13 pasca perang Salib, terjadi apa yang dinamakan seangan dari kaum Orientalis. 

Menurut Said Edward dalam bukunya “Orientalism” (1977: 50-56), perbuatan kaum orientalis, yang terdiri dari orang-orang Barat murni Barat merampok secara keseluruhan ilmu-ilmu yang dimiliki islam. Secara historis, ini terjadi masa pemerintahan Harus Al Rasyid, kemudian Salahudin Al Ayubi yang bertugas mengekspansi wilayah-wilayah Barat saat terjadi serbuan kaum Orientalis. Sehingga, apa yang terjadi adalah soal kekuasaan. 

Periode selanjutnya, orientalisme dalam sejarah dibangun berdasarkan hegemoni 3G Gold, Glory, Gospel. Berdasarkan teori Hegemoninya Antonio Gramsci, penguasa sengaja (baik itu penguasa struktural maupun kultural) meletakkan kuasanya diatas ideologi, tujuan bersama, dan slogan-slogan penuh kepentingan penguasa. Kekayaan, dan kejayaan yang berusaha dicari penjajah Barat melalui sistem keagamaan. Untuk menjalankan politiknya, maka penjajah dapat menggunakan politik pembedaan antara beradab-tidak, berbudaya-tidak, pribumi dan asing.

 Ini dapat dianalisis melalui teori Michael Foucault tentang My Self and TheOther, politik pembedaan ini sengaja dipakai untuk melemahkan karakter suatu suku, penduduk yang ditaklukan. Sebutan-sebutan seperti inlander (terjajah) dan nederlander(penjajah), orang-orang menjijikkan yang pernah dilontarkan Inggris terhadap suku Indian akhirnya menyisakan hanya 200 penduduk Indian hasil pembantaian, untold story (Jakarta Post, 2014) yang memberitakan dibalik euforia perjuangan arek-arek Surabaya, ternyata terjadi pembunuhan dan pemerkosaan oleh pihak Jepang dan Indonesia sendiri terhadap perempuan.

Homi K Bhana menyebutkan, dikursus kajian post kolonial ini dapat dihubungkan dengan konstruksi identitas, dimana penduduk asli dibuat patuh dan menganggap mereka (penjajah) sebagai patron. Tak pelak cara-cara seperti ini menimbulkan memori kolektif yang diliputi kesedihan, kebencian dikalangan penduduk ex-kolonialisme. Hal ini bukan sesuatu ‘lumrah’ di masa lampau, jika sejarawan konvensional hanya berlindung dibalik fakta-fakta yang sudah ada maka yang terjadi adalah pengaburan sejarah. 

Berbeda dengan pemikiran awal Jackques Derrida atau Michael Foucault yang menjadi dasar bagi sebagian besar teori sejarah postmodernisme, kesadaran dekonstruktif dalam historiografi menurut Alan Muslow tetap berdasar pada fakta kritis dan naratif. Masa depan sejarah, sekali lagi Alun Muslow menyebutkan tidak lepas dari dekonstruksi epistemologi (ilmu tentang pengetahuan) (page 24-25), karena merupakan tantangan dari paradigma empirik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun