Mohon tunggu...
Aryni Ayu
Aryni Ayu Mohon Tunggu... Penulis - Asisten Peneliti

Cleopatra

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Korelasi Teori Belajar

22 Desember 2015   19:42 Diperbarui: 22 Desember 2015   19:58 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“....pendidikan beserta teori-teorinya dapat menekan angka rendahnya mutu pendidikan di beberapa negara dunia ketiga, dan tidak ada anak yang tertinggal (no child left behind)”

Pendidikan ibarat dua mata pisau yang di satu sisi harus diasah, satu sisi berimplikasi pada tingkah laku seseorang. Menurut Confusius (551-479 BC), “Jika kau menginginkan bangsamu unggul, maka belajarlah dari seorang guru,” “Maka, senjata paling mematikan di dunia adalah pendidikan, karena kau dapat mengubah dunia”, Nelson Mandela menambahkan. Di era sibernetik, ilmu pengetahuan bukan lagi kebutuhan tersier yang dapat dilengkapi atau tidak, melainkan sudah menjadi kewajiban bagi setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan. Permasalahannya, dunia berdasarkan konsep August Comte akan selalu berjalan linier dari masa ontologis, metafisis sampai positivistik di era modern.

Dunia semakin mengglobal yang mengubah masyarakat dari tradisionalitas menjadi masyarakat pengetahuan (knowledge society). Causalitasnya, dibutuhkan pendidikan sepajang hayat (long life education) demi terpenuhinya kebutuhan setiap manusia untuk hidup. Menurut American Journal of Education (2014), pendidikan beserta teori-teorinya dapat menekan angka rendahnya mutu pendidikan di beberapa negara dunia ketiga, dan tidak ada anak yang tertinggal (no child left behind). UNESCO juga tengah menggalakkan berbagai program untuk mengatasi kebutuhan pendidikan di berbagai negara untuk menekan knowledge gap melalui para guru.

Dapat dipastikan, pendidikan sebagai akar kemajuan bangsa tidak akan pernah lepas dari pengembangan teori-teori pembelajaran. Untuk itu, berawal dari sekolah ‘academia’ buatan Plato (5 masehi), pembelajaran etis dari Aristoteles, dan filsuf lainnya kemudian mempengaruhi pemikiran Rene Descartes mengenai rasionalisme yang melahirkan teori kognitif, teori behaviorisme, dan Immanuel Kant yang menginspirasi Piaget dalam teori konstruktivisme (HLWKI International, Canada University : 2015). Implikasinya, teori-teori pembelajaran (learning theory) mengalami perkembangan pesat sejak awal abad 19-20. Ditandai dengan adanya teori pembelajaran behaviouristik milik B.F. Skinner, Ivan Pavlov,  Watson, Clark Hull, dan Thorndike.

Teori pembelajaran  kognitif milik Jean Piaget, Gestalt, Brunner dan teori pembelajaran konstruktivisme oleh Piaget, Vyogtsky, serta teori pembelajaran humanisme yang dikembangkan Abraham Masslow dan  Carl J. Roger. Keempat teori pembelajaran tersebut dipakai bukan hanya di bidang pendidikan tetapi di masa modernitas juga dipakai dalam bidang kesehatan, industri, biologi, sosial, budaya,  dan psikologi. Memang, tidak ada teori yang benar-benar sempurna paling tidak keempatnya berperan besar mengatasi permasalahan-permasalahan manusia dalam pendidikan.

Semua orang setuju bahwa tugas penting sekolah adalah membantu setiap peserta didik untuk belajar. Tapi tidak setiap orang setuju mengenai bagaimana cara terbaik untuk membantu peserta didik dalam belajar. Dari pengalaman, kita ketahui bahwa anak-anak adalah pelajar yang luar biasa, mereka dapat mempelajari apa saja dengan cepat. Sering terjadi bahwa apa yang mereka pelajari bertentangan dengan apa yang hendak diajarkan oleh guru atau orang tua. Sehingga disini perlunya diajarkan pendekatan behavoristik utnuk mengetahui bagaimana penerapannya dalam pendidikan. Behaviorisme berpendapat bahwa perilaku dapat dijelaskan melalui hal-hal yang dapat diobservasi, bukan melalui proses mental yang tidak kelihatan. Jadi perilaku bagi pengikut behaviorisme adalah segala sesuatu yang dilakukan dapat diukur dan diamati sama persis dalam ilmu eksata.

Pendekatan behaviourisme memberi tekanan pada bagaimana peserta didik membuat hubungan antara pengalaman dan perilakunya (Greeno, Coolins dan Rensnick, 1996). Dalam teori behaviouristik, sub teori yang dibahas teori pengkondisian klasik (condition operant learning) milik Pavlov yang berhubungan dengan S-R (stimulus-respon). Melalui teori ini, anak atau peserta didik dapat kita kondisikan, contoh: saat dikelas, sebelum pembelajaran dimulai anak dapat dikondisikan untuk tenang melalui tindakan guru yang memposisikan dirinya duduk di meja guru tanpa bersuara, kemudian menatap para siswa dengan tatapan tajam selama beberapa menit. Kita kondisikan memberikan respon melalui cara itu, hasilnya, tidak perlu sang guru berbicara keras (loudly voice) peserta didik akan diam dan duduk rapi sesuai maksud sang guru (Ayu, A, dalam kompasiana : 2015).

Selain itu, melalui sub teori desentralisasi sistematik, merupakan satu metode berdasarkan pengkondisian klasik untuk mereduksi kecemasan yang membuat peserta didik merasa relax dengan cara membayangkan situasi-situasi yang menimbulkan kecemasan. Contoh: seorang guru memiliki siswa yang sangat takut berbicara di depan umum. Kepadanya diberikan desentralisasi sistematik dengan membayangkan bicara di depan umum secara rileks daripada mencemaskannya. Dia melakukan dua minggu latihan dentalisasi sebelum dia betul-betul pidato di depan umum secara sistematis. Dua minggu, seminggu, empat hari, sehari sebelum pidato di depan umum dia melakukan latihan-latihan dimana dia memasuki ruangan di podium dimana dia akan melakukan pidatonya.

Hasilnya, siswa berbicara dengan lancar di depan umum karena sudah dilatih dalam teori pengkondisian klasik. Satu lagi dari teori behaviouristik adalah tentang reinforcement (penguatan) yang dapat berupa penguatan positif dan negatif. Siswa yang memiliki prestasi dapat diberi penguatan positif, ataupun siswa yang bermasalah dapat diberi penguatan positif. Baik itu penguatan positif ataupun negatif, tergantung pada psikologis anak, dan kondisi kelas.

Kedua, teori pembelajaran kognitif konstruktivisme milik Jean Piaget menekankan pada pentingnya kegiatan seorang murid yang aktif dalam mengkonstruksi pengetahuan. Hanya dengan keaktifannya mengolah bahan, bertanya secara aktif, dan mencerna bahan dengan kritis, murid akan dapat mengauasai bahan lebih baik. Teori kognitif memiliki kesamaan dengan teori pembelajaran konstruktivisme yang menyatakan pelajar mebentuk pengetahuan baru dengan membina pengetahuan baru daripada pengetahuan dan pengalaman yang sudah ada.

Tentu saja, menurut teori neurosains, tanpa melepaskan struktur-struktur kognitif yang ada di cerreblum otak. Dalam teori Piaget, siswa akan dituntun bagaimana cara berpikir kritis atau dalam bahasa pendidikan disebut High Order Thinking. Kegiatan aktif di dalam kelas seperti kegiatan murid secara pribadi mengolah bahan, mengerjakan permasalahan, membuat kesimpulan, dan merumuskan suatu rumusan dengan kata-kata sendiri adalah kegiatan yang snagat diperlukan agar murid sungguh-sungguh membangun pengetahuannya. Tugas guru adalah menyediakan alat-alat dan mendorong agar murid aktif. Sebagai contoh: seorang guru dalam pembelajaran sejarah Kurikulum 2013, dituntut untuk mampu memasukkan unsur-unsur 5M scientifik (berpikir sains) yakni mengamati, menanya, mengumpulkan data /informasi, mengaosiasi, dan mengkomunikasikan.

Di kegiatan apersepsi, guru telah menjelaskan gambaran umum terkait materi yang akan dibahas, kemudian menyuruh para siswanya berdiskusi untuk mencari permasalahan dalam materi sejarah terkait kehidupan sehari. Siswa dibiarkan untuk mengambil masalahnya sendiri karena guru tidak diperbolehkan mengambil masalah anak, dengan diberi waktu 30 menit. Dalam kelompok diskusi,siswa melakukan kerjasama dengan kelompoknya dan akan menghasilkan pengetahuan baru, dengan tugas guru sebagai fasilitator untuk mengarahkan pengetahuan baru yang baru saja dimiliki siswa.

Menurut pandangan konstruktivis dalam pendidikan, seyogyanya guru dapat memberikan situasi kondusif agar siswanya dapan membangun (construct) pengetahuan. Keberhasilan pembentukan pengetahuan dalam diri peserta didik dapat ditunjukkan melalui kemampuannya dalam mengaplikasikan pengetahuannya dalam kehidupan sehari-hari dan bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya. Dalam kegiatan pembelajaran, pendekatan konstruk telah membelaki kurikulum terbaru dengan pendekatan saintifik (scientific) yang mendasari seluruh komponen pembelajaran.

Jika pembelajaran saat ini berganti kembali menjadi kurikulum sebelumnya (2006) hal ini bukanlah suatu masalah yang besar seandainya guru benar-benar tetap mengaplikasikan teori-teori pembelajaran dalam setiap kegiatan pembelajarannya. Manfaatnya bagi para guru dan tenaga pendidik seperti yang sudah terpapar dalam penjelasan sebelumnya adalah teori-teori pembelajaran menjadi dasar bagi segala penyelenggaraan pendidikan termasuk pembelajaran di kelas. Guru dan calon tenaga pendidik dapat menganalisis kebutuhan siswa, berlaku layaknya seorang Guru sekaligus filosof agar peserta didik mendapat panutan yang cukup baik, dan memiliki pedoman menanamkan pendidikan sepanjang hayat kepada peserta didik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun