Mohon tunggu...
Dian Arymami
Dian Arymami Mohon Tunggu... -

human trying to be ordinary www.arymami.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kompleksitas Abuse dalam Relasi Keintiman

14 September 2016   14:06 Diperbarui: 14 September 2016   16:29 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terlalu mudah berkata dan menemukan pernyataan: 'bila dalam hubungan saya mengalami kekerasan, saya akan meninggalkan relasi itu'. Faktanya tidak pernah sesederhana itu. Statistik menunjukan bagaimana tinggi angka kekerasan dalam relasi. Bahkan di Indonesia, bisa digeneralisir bahwa hampir semua orang mengalami kekerasan dalam relasi. Kenyataan yang hadir adalah: Pelaku relasi bertahan di tengah kekerasan. Kekerasan hanya terus berulang. Apapun bentuknya, frekuensinya, maupun alasannya.

Tidak sedikit bagi pelaku kekerasan yang menyadari tindakannya dan berupaya luar biasa untuk mengendalikan melalui beragam cara untuk tidak melakukan kekerasan. Tidak sedikit pula pelaku yang mengalami kekerasan bertahan dan mengupayakan beragam cara penyelesaian. Mungkin kekerasan hanya terjadi dalam 5 tahun sekali, atau beralih bentuk kekerasan yang dinilai tidak terlalu membahayakan. Kekerasan verbal misalnya selalu dilihat lebih ringan dari kekerasan fisik, atau kekerasan psikologis seperti penelantaraan selalu dilihat lebih ringan dari kekerasan verbal. Namun, kekerasan tetaplah kekerasan dan ia terus menjadi siklus. Walker (1979) memaparkan dengan jelas siklus kekerasan ini. Dampaknya bisa beragam tanpa prediksi dan pada hal yang paling nyata, menghabisi nyawa.

Dalam keseharian, istilah kekerasan kerap dinormalisasi untuk mengganti kata abuse (indonesia: penyalahgunaan). Kekerasan sebenarnya hanya menjadi bagian kecil dari abuse dalam relasi keintiman. Kekerasan merupakan salah satu manifestasi dari bekerjanya abuse dalam relasi keintiman.

Abuse dalam relasi keintiman merujuk pada penyalahgunaan relasi, dimana salah satu pelaku relasi tersebut (sengaja atau tidak sengaja) menyalah-gunakan posisi dalam relasi dengan memanfaatkan atau memperlakukan pasangannya secara tidak pantas dan tidak wajar tanpa memikirkan perasaan dan diri orang tersebut yang dapat berujung pada kekerasan fisik, seksual, atau psikologis. Abuse dapat juga diidentifikasi dari fungsinya yakni dominasi, hukuman atau kontrol atas orang lain. Abuse dapat dilakukan secara fisik, kekerasan seksual, ancaman, uang, emosi, psikologis dan spiritual untuk mendapatkan kontrol dan kondisi yang diinginkan dari pasangannya.

Yang perlu digaris bawahi adalah abuse dalam relasi keintiman bukan merupakan insiden sekali yang terjadi begitu saja, namun sebuah proses sistematis untuk menjaga kuasa dan kontrol dalam relasi.

Faktor penyebab kekerasan dalam relasi sangat luas. Bersifat internal dan eksternal; mulai dari personal individu hingga ranah politik, ekonomi, sosial, budaya dan segenap lingkup kehidupan kita. Belum lagi spektrum makna subyektif dan sosial atas kekerasan yang demikian lebar. Dalam berbagai budaya, misalnya, kekerasan dirayakan bahkan diharuskan. 

Dalam budaya kita yang didominasi oleh nilai patriaki misalnya, pemaksaan istri di ruang domestik semata oleh suami atau pemukulan suami pada istrinya dianggap normal dan wajar. Perilaku, cara berpikir, dan tindakan kekerasan oleh individu pada individu lainnya juga menjadi bagian dari hasil panjang pembentukan kepribadian dan adaptasi yang bersifat sangat personal. Demikian, kekerasan tidak mengenal gender, status, kelas, atau pendidikan. Semua orang dapat melakukan dan mengalami kekerasan dalam relasi keintiman.

Kompleksitas faktor penyebab menegaskan bahwa dalam tiap kasus kekerasan dalam relasi keintiman (atau IPV - Intimate Partner Violence) bersifat unik karena kompleksitas kelindan faktor psikologis, perkembangan diri dan ekpolsosbud yang tidak dapat disamakan. Keunikan ini sejajar dengan uniknya kondisi psikologis, kepribadian, perilaku, dan cara berpikir manusia yang dihasilkan dari jejaring kompleks jutaan faktor internal dan juga eksternal. Dengan demikian, setiap kasus melibatkan karakter-karakter unik yang distinktif sehingga penyelesaiannya selalu membutuhkan pemahaman dan pendekatan spesifik. Kurasa, disinilah peran para psikolog masuk.

Sangking kompleksnya, pendekatan reduksionis menjadi opsi. Informasi mengenai abuse dalam relasi dipaparkan dalam hitam dan putih. Persoalannya dikerucutkan dalam ruang ‘kekerasan’. Bingkainya binari sisi positif dan negatif, sang pelaku dan sang korban. Mayoritas informasi memaparkan bahwa pelaku kekerasan mengalami penyimpangan, cacat psikologis hingga sakit mental dan harus dihindari, sedangkan yang mengalami kekerasan merupakan pihak lemah yang perlu dibantu dan disembuhkan. Bingkai dikotomis memudahkan untuk intervensi tindakan. Pada tataran praktis masyarakat umum, bingkai ini telah menyelesaikan persoalan, ya pisahkan saja relasi tersebut agar kekerasan tidak terjadi!

Bisa dibayangkan sulitnya untuk mensosialisasikan kompleksitas ini. Sama dengan tidak mungkin kita meminta masalah kesehatan dipahami semua orang. Cukup, sosialisasikan bila anda sakit pergilah ke dokter. Ada spesialis yang dapat menangani hal tersebut. Namun, bila kaitannya dengan persoalan psikologis, ya.. ia tidak selalu manifest seperti panas 49C atau bintik-bintik di kulit. Sosialisasi mengenai abuse pun hanya mampu memaparkan persoalan yang manifest. Bila kekerasan, penganiayaan, terjadi maka yang perlu dilakukan adalah ini. Atau informasi mengenai indikasi-indikasi kekerasan dalam relasi berderet dari A hingga Z. 

Bingkai binari telah menggiring siklus simpul mati penghindaran sebagai solusi: baik bagi pelaku yang melakukan dan yang mengalami. Nilai disematkan; buruk dan baik. Binari bingkai ini telah seolah meletakan bahwa pelaku kekerasan perlu di-isolasi, disingkirkan dan tidak mungkin dapat di'sembuh'kan. Sedangkan pelaku yang mengalami kekerasan perlu ditolong dan diselamatkan.

Dominasi bingkai dikotomis pula yang akhirnya menyiptakan reaksi masyarakat saat berhadapan dengan kekerasan dalam relasi dengan pernyataan penuh keheranan; 'kok bisa tega sih?', 'gak mungkin orang normal melakukan hal sekeji itu', dan seterusnya. Dominasi binari yang kita pahami menggiring stereotipe sakit jiwa dan mental disorder yang dilekatkan pada para pelaku (bukan berarti kondisi ini tidak ada). Namun beragam stereotipe dapat kian menguburkan, mengaburkan akar isu ‘proses sistematis menjaga kuasa dan kontrol’, dan mengembangkan persoalan kekerasan dalam relasi di tengah masyarakat. Ini menjadi lingkaran setan yang menyakitkan pasangan dalam relasi, dimana pelaku dirasionalisasi harus diisolasi dan tidak dapat memiliki solusi sekaligus yang mengalami harus pergi dari relasi tersebut dan menyelamatkan diri. Bagai kotak pandora yang menafikan satu elemen yang tersisa.

Sebagaimana kita pahami, bingkai binari kekerasan telah membentuk stereotipe atas distinksi antara yang 'normal' dan yang 'anomali'; seolah dapat dibedakan dalam pematuhan kriteria stereotipe yang disusun; seolah pelaku adalah spesies diluar bingkai normal sehari-hari. Kenyataannya salah satu masalah utama yang dihadapi oleh ‘korban’, teman-teman, keluarga dan juga pelaku adalah bagaimana tidak adanya distinksi antara yang normal dan anomali.

Faktanya adalah kita semua normal. Atau bisa dikatakan kita semua sakit. Terlebih saat kita memahami bahwa abuse adalah proses sistematis dari kuasa dan kontrol dalam relasi. Kedua pihak dalam relasi sangat mungkin untuk melakukan abuse pada pasangannya sekali waktu. Sebagai contoh roda kontrol (lihat gambar), satu dapat sedang melakukan abuse secara ekonomi (memaksa satu pasangan untuk membayar semua tagihan misalnya) dan satu melakuan abuse privilege (memaksa peran gender dalam relasi tersebut). Namun, abuse biasanya baru tersadari saat terjadi kekerasan fisik. Lalu bertanya; kenapa pelaku melakukan kekerasan dalam relasi? Apa yang membuat mereka tergerak? Apakah mereka menderita semacam penyakit? gangguan mental? Apakah yang 'normal' bisa tiba-tiba menjadi pelaku? dstnya.

Mengurai persoalan ini tidak sesederhana mengutarakan satu sakit psikologis dan satunya tidak. Pelaku kekerasan maupun yang mengalami kekerasan sebenarnya memiliki kondisi psikologis yang sama-sama tidak normal. Atau kalau bahasa para psikolog sebenarnya kita semua unik.  Pada dasarnya kita semua ‘sakit’.  Karena perilaku dan tindakan menjadi bagian dari proses panjang penyaluran dan kebutuhan (16 kebutuhan dasar manusia – belum termasuk ranah emosi otak manusia) masing-masing individu menyiptakan karakternya. Ambil contoh yang mengalami kekerasan bisa jadi tidak memiliki formasi identitas yang baik karena sepanjang masa hidupnya tidak pernah diajari batas emosional sehingga ia merasa bersalah untuk harus memperbaiki relasi (akan berada dalam hubungan penuh abuse dengan semangat positif memperbaikinya, atau  fantasi diatas realitas) atau merasa over-attachment,tidak memiliki rasa aman, atautidak dapat membedakan antara cinta dengan simpati.

 Bagi yang melakukan kekerasan, bisa jadi kebutuhan dominasi atau agresi sebagai hasil panjang reaksi lingkungan atas kebutuhan dasarnya yang menyiptakan individu yang kekurangan empati, sehingga mudah melihat segala hal sebagai obyek dan bukan manusia. Contoh perilaku ke prostitusi atau perselingkuhan rekreasional merupakan indikasi atas bergeraknya kekurangan empati (untuk informasi saja, lebih banyak populasi kekurangan empati daripada kelebihan empati). Hasil semua perilaku dan tindakan merupakan perjalanan panjang yang terbentuk dari kebutuhan diri dan dinamika aksi-reaksi internal-eksternal pribadi. Intinya tidak normal dan anomali bukanlah hitam-putih dan ada proses kompleks di dalamnya.

Persoalan yang menarik dari dinamika psikologi manusia adalah saat yang kita sebut sebagai ‘karakter’ atau ‘watak’ kerap merupakan hasil dari mekanisme diri yang telah menjadi refleks. Mekanisme dalam mengelola emosi dan kebutuhan dasar manusia berjalin erat dengan kondisi eksternal kita. Faktanya kita perlu mengakui bagaimana budaya kita tidak memberikan ruang pengelolaan emosi yang ‘sehat’. Berbicara pada tataran general, data menunjukan budaya timur memiliki tingkat kesehatan mental yang lebih rendah daripada budaya barat. Karakter adalah manifestasi kebutuhan rasa aman (aman tidak mengubah diri kita). Bukankah mengerikan untuk mencoba menjadi orang lain dan mempelajari arketipe perilaku yang berbeda? Namun sangking super-canggihnya dinamika otak manusia dalam membentuk diri, hingga mampu menyiptakan realitas baru (contoh skizofrenia) dalam mengatasi isu-isu yang dihadapi dalam keseharian.

Kompleksitas kekerasan dalam relasi keintiman memadukan kondisi psikologis, sejarah sosio-kultural subyektif dan konteks sosio-kultural tak dinyana merupakan kondisi nyata yang hadir demikian dekat dalam keseharian kita. Dalam kompleksitas ini sebenarnya menyisakan ruang sejauh mana kita menyadari interkoneksi abuse dan kekerasan. Atau sederhananya, sejauh mana masing-masing pasangan bersedia sadar psikologis, mengakui bahwa pada dasarnya semua relasi dan diri bersifat abusive, dan belajar bekerjasama dalam menyehatkan relasi.

Mungkin itu agaknya utopia dan pastinya kita akan kembali menemukan (atau mengalami) keheranan-keheranan kenapa kekerasan dalam relasi keintiman terus terjadi dengan beragam analisa kausistik sana sini.

 

 

Yogya, belakangteras. 20160914.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun