Childfree, istilah yang sedang ramai dibicarakan berbagai kalangan. Fenomena mulai marak dibahas setelah seorang influencer mengutarakan opini tentang pilihan hidupnya, memilih untuk Childfree.Â
Berbagai tanggapan bermunculan, mulai yang dengan tegas tidak sepakat hingga tanggapan berupa dukungan atas implementasi gaya hidup tersebut.Â
Pada dasarnya sebagai warga negara yang demokratis kita dapat memilih pilihan hidup kita masing-masing. Namun dengan demikian jangan sampai kita lupa untuk menghormati berbagai jalan hidup yang dipilih oleh setiap individu, karena pilihan hidup tidak selalu bernilai yang paling baik dan yang kurang baik.
Childfree sendiri adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan pasangan yang sukarela memilih untuk tidak memiliki anak atau secara sukarela memilih untuk tidak mengambil peran sebagai "orang tua".Â
Tidak hanya di Indonesia, mayoritas negara di dunia masyarakatnya memiliki perspektif pronatalis, kondisi dimana masyarakat lebih mendukung adanya pertumbuhan penduduk dibanding hal yang sebaliknya.Â
Tentu saja hal ini memberikan peluang munculnya sebuah pandangan mengenai keputusan childfree adalah hal yang cenderung negatif. Disadari atau tidak stereotipe negatif terkait childfree mulai terbangun. Hal tersebut secara langsung maupun tidak berpeluang menyakiti mereka yang memilih gaya hidup childfree.
Perlu kita ketahui bahwa munculnya fenomena childfree ini dipengaruhi banyak hal. Adanya trauma internal hingga fakta kondisi lingkungan tumbuh kembang anak-anak saat ini yang bisa jadi dianggap kurang mendukung.Â
Fakta munculnya gaya hidup childfree ini juga memberikan tanda kepada kita semua bahwasanya ada perihal yang perlu diperhatikan serta diperbaiki mengenai banyak aspek yang secara langsung maupun tidak berhubungan dengan anak-anak.
Misalnya lingkungan tumbuh kembang utama anak-anak yaitu lingkungan rumah dan sekolah. Untuk lingkungan rumah sendiri mungkin orang tua masih memegang mayoritas kendali sehingga orang tua dapat memaksimalkan jenis interaksi yang ingin diajarkan kepada sang buah hati.Â
Berbeda dengan hal tersebut, di lingkungan sekolah peluang orang tua untuk memastikan jenis interaksi sang buah hati tak lagi sebesar di lingkungan rumah. Mungkin hal ini juga merupakan faktor kekhawatiran tersebut muncul.
Bersamaan dengan fenomena childfree ini juga merupakan tanda adanya kekhawatiran orang dewasa untuk mengambil peran sebagai orang tua. Tentunya kekhawatiran ini muncul bukan tanpa sebab. Mungkin fakta mengenai banyaknya orang tua yang berakhir memiliki hubungan yang buruk dengan sang buah hati hingga adanya trauma pribadi terkait mendorong rasa khawatir itu muncul.
Mengutip pendapat Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga (UNAIR) yang memaparkan dampak positif dan negatif munculnya trend ini. Dr. Nur Ainy Fardhana menyampaikan bahwasanya kita tidak boleh menghakimi pilihan seseorang karena hak untuk memiliki anak atau tidak merupakan pilihan pribadi. Di atas semua penjelasan tentang insight yang dapat kita ambil dari fenomena childfree ini, penulis ingin menyampaikan bahwasanya memilih untuk child free ataupun tidak itu tidak sebatas salah dan benar, tidak sebatas setuju atau tidak, karena setiap orang berhak memilih atas kehidupannya, setiap manusia bertanggung jawab atas semua konsekuensi yang muncul dari setiap pilihan yang diambil.Â
Karena pada akhirnya setiap pilihan hidup memiliki keindahan dan warnanya sendiri. Membandingkan pilihan satu dengan yang lain mungkin tak selalu salah, namun tentu bukanlah hal bijak bila kita menilai sesuatu hanya dengan hitam dan putih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H