[caption id="attachment_405193" align="aligncenter" width="600" caption="Retno Listyarti/Kompas.com"][/caption]
Beberapa minggu belakangan, santer terdengar kasus kriminalisasi menghiasi media kita. Ibarat pepatah bagai jamur di musim penghujan. Kasus terhangat adalah yang menimpa Ibu Retno Listyarti, Kepala SMA Negeri 3 Setiabudi Jakarta yang dilaporkan salah satu orang tua siswa dengan dugaan diskriminasi. Kasus yang melibatkan Ibu Retno Listyarti, Kepala SMAN 3 Setiabudi Jakarta, agaknya harus menjadi refleksi bagi para pendidik dan juga orang tua.
Guru sebagai pendidik dan profesi sudah seharusnya mendapatkan perlindungan dan bantuan hukum yang memadai. Apalagi apabila kasus yang menimpanya berkaitan dengan tugas dan pengabdiannya. Guru dalam melakukan tugasnya jelas memiliki payung hukum perundangan yang legitimate, yaitu Undang-undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005. Pasal 33 menyatakan bahwa pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas.
Perlindungan hukum bagi seorang guru mutlak diperlukan. Guru merupakan profesi bukan lagi pekerjaan atau pengabdian. Tugas guru sebagai garda terdepan mencerdaskan kehidupan bangsa melalui kegiatan persekolah sering kali bersinggungan dengan permasalahan yang terkadang harus melibatkan hukum. Kasus hukum yang dapat menimpa seorang guru bisa berkaitan dengan masalah pribadi maupun berkaitan dengan tugas mengajar. Sudah sepatutnyalah pemerintah ataupun organisasi guru berpikir untuk memberikan perlindungan bagi guru, khususnya perlindungan hukum secara terstruktur dan tersistem, tidak hanya pada kasus-kasus tertentu saja.
Reward and Punishment
Proses pembelajaran merupakan proses yang terintegrasi, tidak sekedar transfer ilmu pengetahuan tetapi juga transfer nilai dan karakter. Guru sebagai leadersekaligus manajerdituntut mampu melakukan pengelolaan sekolah. Salah satu tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kompetisi dan motivasi belajar di sekolah.
Untuk itu diperlukan usaha guru melalui pemberian penghargaan (reward) dan pemberian sanksi (punishment). Kedua hal ini harus diberikan sesuai porsi dan proporsinya. Reward akan diberikan kepada siswa yang melakukan sebuah keberhasilan atau prestasi, baik secara individu ataupun sekolah. Demikian pula sebaliknya, siswa pun akan memperoleh punishment ketika melakukan sebuah kesalahan atau pelanggaran. Tentunya, dalam pemberian punishment harus diarahkan untuk mendidik dan memperbaiki perilaku siswa.
Reward and Punishmentyang mendidik sangat diperlukan untuk mendukung terselenggaranya proses belajar yang baik. Hukuman fisik sudah tidak sesuai dengan zaman kekinian. Hak Asasi Manusia (HAM) sangat dijunjung tinggi. Anak (siswa) harus mendapatkan jaminan atas kekerasan dan intimidasi.
Skorsing merupakan salah satu bentuk punishmentakhir untuk sebuah pelanggaran etika maupun tata tertib yang berlaku. Skorsing diberikan oleh lembaga pendidikan setelah melalui prosedur yang berlaku, biasanya dimulai dari rapat dengan dewan guru dan wali kelas/ wali Bimbingan Konseling (BK).
Sebagai bentuk punishment, skorsing agaknya masih dapat diterima sebagai sebuah kewajaran, dalam hal ini “pilihan terakhir” untuk memberikan pendidikan dan pembelajaran kepada siswa. Skorsing bukanlah sebagai sebuah diskriminasi atau pembatasan hak anak untuk memperoleh pendidikan, melainkan sebagai konsekuensi logis dari sebuah tindakan yang melanggar tata tertib atau norma sekolah.
Perlu ditekankan, skorsing bukanlah larangan belajar, tetapi hanya bentuk arahan secara administrative dari sekolah untuk meminta siswa belajar di rumah sementara waktu. Melalui skorsing siswa diharapkan mampu berpikir akan kesalahan yang diperbuat dan berusaha untuk memperbaiki diri. Setelah masa skorsing berakhir, siswa pun diperbolehkan kembali belajar di sekolah seperti biasanya.
Stigma Negatif dan Posisi Orang Tua
Tak dapat dipungkiri, skorsing telah mendapatkan stigma negatif dalam masyarakat kita. Sebuah kewajaran apabila dilihat dari ‘spesial’nya hukuman skorsing itu. Dimana umumnya anak-anak yang memperoleh skorsing terlibat masalah yang cukup serius, bahkan terkadang melibatkan aparat penegak hukum. Biasanya skorsing diberikan untuk kasus tawuran, perusakan, ataupun pelanggaran berat lainnya.
Orang tua siswa yang memperoleh skorsing seharusnya memahami skorsing lebih dalam. Skorsing yang diterima anak harus dianggap sebagai bentuk pembelajaran dan pendidikan. Orang tua yang bijak seyogyanya berada dalam posisi yang netral, tidak membabi buta membela anak. Melihat permasalahan penyebab skorsing itu perlu, sehingga tumbuh kesadaran secara matang bahwa skorsing bukan wujud diskriminasi (pengekangan) terhadap hak anak untuk belajar tetapi sebagai resiko atas pelanggaran yang dilakukan.
Skorsing dapat dijadikan moment bagi orang tua dan anak untuk memperbaiki hubungan. Menyadarkan kembali pentingnya posisi orang tua sebagai figure pendidik utama bagi anaknya. Kesempatan untuk mengawasi dan mengarahkan anak pada jalan yang seharusnya.
Mungkin orang tua dihadapkan pada stigma negatif masyarakat karena anaknya mendapatkan skorsing. Namun, itu bukanlah hal yang krusial jika dibandingkan dengan masa depan anak itu sendiri. Skorsing mungkin menjadi aib bagi orang tua dan anak sementara waktu, tetapi ketika mau berubah dan memperbaiki diri, bukan tidak mungkin anak tersebut mampu menunjukkan prestasi yang lebih baik kedepannya.
Kriminalisasi
Kasus yang dialami Retno Listyarti seharusnya tidak terjadi. Hubungan kemitraan antara tiga pusat pendidikan: sekolah, keluarga, dan masyarakat, harus terbina dengan baik. Komunikasi adalah point penting untuk menjembatani kebutuhan dan kepentingan yang ada. Sekolah sebagai lembaga pendidikan menerima tanggung jawab dari keluarga dan masyarakat.
Kesadaran kolektif makna sejati dari pendidikan akan menumbuhkan kebersamaan dan sinergitas diantara semua komponen. Akan tumbuh rasa saling percaya antara orang tua dan lembaga pendidikan, termasuk di dalamnya guru. Orang tua harus objektif dan menempatkan diri sebagai pendukung system pendidikan di sekolah. Pemerintah dan pemangku kebijakan harus mulai berpikir system perlindungan hukum bagi guru dan tenaga kependidikan. Harapannya, ke depan tidak ada lagi Retno Listyarti yang lain tersandung kasus yang sama.
Ary Gunawan
Mahasiswa Pascasarjana UNY, Pendidik, Ikatan Guru Indonesia Jogjakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H