Mohon tunggu...
Ary Ginanjar
Ary Ginanjar Mohon Tunggu... CEO ESQ Groups dan ESQ Leadership Center -

Ary Ginanjar Agustian Pendiri Lembaga Training ESQ, ACT Consulting, Assessment Center, ESQ Bussiness School, ESQ Tours and Travel. Menara 165

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Teori VS Pelatihan versi Ary Ginanjar Agustian

27 Agustus 2014   16:06 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:24 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Ary Ginanjar Agustian seorang Master Trainer ESQ mengungkapkan pendapatnya tentang perbedaan yang mendasar antara Teori dengan Pelatihan


Saat masih berusia 25 tahun, Ary Ginanjar Agustian mencoba membuat suatu bisnis sambil bekerja sebagai staf pengajar di sebuah Perguruan Tinggi Negeri. Ary Ginanjar sudah mempersiapkan segala sesuatunya untuk itu dengan matang dan rinci. Setelah segala sesuatunya siap, usaha tersebut diluncurkan. Semua tampak berjalan bagus pada bulan pertama, kedua, dan ketiga. Namun, saat menginjak bulan keenam usaha tersebut menghadapi permasalahan berat. Akhirnya, pada bulan kedua belas usaha tersebut tidak bisa dipertahankan lagi. Usaha itu terpaksa Ary Ginanjar tutup. Dua tahun kemudian Ary bertemu dengan salah seorang mantan karyawan yang pernah bekerja pada usaha tersebut. Dia menceritakan sejujurnya bahwa permasalahan utama di perusahaan dulu sederhana saja, yaitu Ary Ginanjar sebagai pemilik usaha pada saat itu dirasakan sangat jarang memberikan perhatian dan penghargaan.

Seminggu kemudian Ary Ginanjar Agustian bertemu dan berbincang-bincang dengan salah seorang pengusaha sukses. Dia mengajarkan Ary Ginanjar tentang teori sederhana, POAC (Planning, Organizing, Actuating, and Controlling). Ary tersentak begitu menyadari telah membuat suatu kesalahan. Namun Ary tersenyum geli pada diri sendiri karena sebenarnya teori itu sudah pernah didapatkan di bangku kuliah. Bahkan Ary mendapat nilai A pada mata kuliah Manajemen. Ary Ginanjar mulai menyadari bahwa kesalahannya adalah menghafal teori tersebut dengan kepala, bukan dengan hati, dan tidak pernah berlatih. Padahal, ini menyangkut kebiasaan dan karakter yang harus diinternalisasi.

Begitu banyak pemahaman tentang teori pembangunan karakter, manajemen, buku-buku penuntun sukses yang telah dipelajari, namun banyak pula yang sudah dilupakan atau dihafal hanya sebatas teori dan tidak dipraktikkan sama sekali. Akhirnya, ilmu-ilmu tersebut terbuang percuma. Bahkan pada saat ilmu-ilmu tersebut seharusnya digunakan, kita sering lupa. Tatkala diingatkan kembali, barulah kita menyesal karena sebenarnya kita tahu. Sebuah peluang emas telah terlewatkan begitu saja, atau masalah yang seharusnya bisa dituntaskan, tidak mampu diselesaikan dengan baik.

Buku-buku penuntun sukses modern dan pembentukan kepribadian saat ini, isinya sering kali begitu mengagumkan. Saat membacanya, acapkali Ary Ginanjar Agustian berdecak kagum akan kebenaran teori tersebut. Pada saat itu, dari dalam hati muncul suatu keyakinan bahwa dia akan mampu mempraktikkan teori pada buku tersebut. Ary memang berhasil memahami tentang arti berpikir positif, proaktif, orientasi pada tujuan, empati, komitmen, atau sinergi, tetapi setelah tiga bulan, sudah lupa untuk mempraktikkan konsep pada buku tersebut, dan kembali lagi pada kebiasaan lama.

Melatih kebiasaan kognitif umumnya lebih mudah dibandingkan melatih kecerdasan emosi. Melatih orang untuk mengoperasikan komputer, menghitung, menghafal daftar dan sederetan angka adalah salah satu contoh kebiasaan kognitif yang berasal dari otak kiri. Tetapi pelatihan yang membuat orang menjadi konsisten; memiliki komitmen; berintegritas tinggi; berpikiran terbuka; bersikap jujur; memiliki prinsip; mempunyai visi; memiliki kepercayaan diri; bersikap adil; bijaksana; atau kreatif, adalah contoh kecerdasan emosi dan spiritual yang seharusnya juga dilatih dan dibentuk, tidak cukup hanya berupa pelatihan kognitif seperti yang diperoleh selama ini. Beberapa pemimpin perusahaan yang sudah menyadari arti pentingnya sebuah mentalitas dan attitude kemudian mengirimkan para manajer serta stafnya untuk mengikuti training dengan harapan agar terjadi suatu perubahan mental pada karyawannya. Pada tahap awal setelah training tersebut selesai, memang terjadi perubahan positif, tetapi beberapa bulan kemudian mereka tampak sudah tidak mempraktikkan lagi konsep-konsep itu. Mereka kembali pada kebiasaan lama. Yang tersisa tinggalah slogan-slogan, seperti you can if you think you can, there is a will there is a way, dan seterusnya. Tanpa pernah dipraktikkan lagi. Teori-teori tersebut akhirnya hanya menjadi sebuah jargon belaka.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun