Aviasi merupakan mode transportasi paling aman di dunia. Dibandingkan dengan mobil, motor, atau kapal, pesawat memiliki tingkat kecelakaan yang sangat rendah. ICAO (International Civil Aviation Organization), sebuah badan internasional yang mengatur regulasi penerbangan dunia mencatat bahwa setiap 10 juta kali siklus penerbangan (satu siklus terdiri dari lepas landas dan mendarat), kemungkinan insiden terjadi hanya kurang dari satu kali dibandingkan dengan 100 ribu penerbangan komersil terjadwal setiap harinya.
Amannya dunia penerbangan tidak menutup kemungkinan terjadinya insiden. Justru, kecelakaan pesawat dapat menjadi berita yang menggemparkan seluruh dunia. Di Indonesia, berita mengenai insiden penerbangan tidak jarang masyarakat dengar. Sejarah mencatat insiden aviasi terburuk di Indonesia terjadi pada 1997, dalam penerbangan Garuda Indonesia 152 dari Jakarta menuju Medan. Terdapat 222 korban jiwa dalam insiden ini. Masyarakat juga tentu tidak asing dengan insiden maskapai Lion Air penerbangan JT610 dan Sriwijaya Air penerbangan SJ182 yang jatuh tidak lama setelah lepas landas.
Sebelum memasuki era digital, berita mengenai insiden aviasi cukup diakses melalui surat kabar atau majalah. Kini, berita tersebut dapat masyarakat akses dengan amat mudah melalui internet. Insiden yang bahkan baru terjadi selama beberapa menit atau jam dapat diunggah dan dilihat banyak orang dalam waktu singkat. Apabila surat kabar cetak membutuhkan waktu paling cepat 24 jam untuk menyebarkan berita, sosial media dapat melakukannya dalam beberapa menit.
Kecepatan akses berita melalui media sosial memiliki dampak negatif dan positif. Awareness atau kewaspadaan dan kepekaan masyarakat terhadap kecelakaan dapat meningkat dan menimbulkan solidaritas. Hal ini dapat mempercepat bantuan masyarakat seperti donasi terhadap korban kecelakaan, menambah saksi mata, dan bisa saja mempercepat proses investigasi penyidik kecelakaan. Namun, hal ini juga dapat menimbulkan fenomena "Premature Judgment" di kalangan masyarakat.
Premature Jugment merupakan kondisi seseorang menarik kesimpulan atau spekulasi berlebih atas suatu informasi yang belum pasti kebenarannya. Dalam dunia aviasi, begitu banyak faktor dapat menyebabkan insiden baik menjadi faktor utama atau terdiri dari berbagai banyak faktor dalam efek domino. Sebagai contoh dalam suatu kecelakaan pesawat, faktor perawatan pesawat yang kurang baik dapat menyebabkan malfungsi kontrol. Di sisi lain, faktor cuaca yang diperburuk dengan faktor pilot error atau kelalaian pilot seperti miskalkulasi berat atau salah mengatur konfigurasi dapat bersama-sama menyebabkan kecelakaan.
Penyebab dari insiden penerbangan akan terungkap setelah menempuh investigasi yang lama dan kompleks. Tak heran, hingga kini banyak kecelakaan penerbangan yang masih belum terungkap penyebabnya. Namun, masyarakat seringkali melakukan spekulasi mereka sendiri kendati tidak memiliki pengetahuan aviasi yang mumpuni. Fenomena Premature Judgment sangat dapat ditemukan pada kolom komentar media sosial. Banyak orang berkomentar sesuai dengan sugesti dan deduksi singkat tanpa riset dan melihat informasi yang sebenarnya terjadi. Mereka berkomentar menurut pengetahuan yang minim dan bisa saja tidak relevan. Satu faktor dapat menjadi penyebab kejadian A, namun tidak semata-mata menjadi faktor penyebab kejadian B.
Berikut merupakan dampak negatif dari Premature Judgment pada berita insiden aviasi di sosial media:
1. Menyebabkan rasa panik dan takut
Tidak semua orang di internet memiliki kondisi mental dan pengetahuan yang sama tentang aviasi. Terdapat orang yang dapat menelan mentah-mentah komentar dalam unggahan sosial media tanpa menyaringnya terlebih dahulu, menyebabkan penyebaran informasi yang keliru terhadap lebih banyak orang. Terlebih dengan budaya masyarakat Indonesia yang cenderung menelan informasi dengan mudah dan memiliki kemauan literasi yang rendah.
2. Menurunkan citra aviasi dan maskapai