Mohon tunggu...
aryavamsa frengky
aryavamsa frengky Mohon Tunggu... Lainnya - A Passionate and Dedicated Educator - Dhammaduta Nusantara

Aryavamsa Frengky adalah seorang pembelajar, pendidik, juga pelatih mental untuk diri sendiri dan banyak orang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Akal dan Budi atau Budi dan Akal

13 September 2024   22:50 Diperbarui: 13 September 2024   22:57 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebuah renungan terkait kehidupan yang luhur

Kelengkapan kehidupan manusia dengan akal dan budi memberikan kelengkapan kehidupan sebagai mahkluk yang luhur.

Akal kita sering kali membaca kenyataan sebagai buah dari algoritma sebab dan akibat sehingga membuat kita sering kali berspekulasi dan memberikan penilaian atas sebuah kejadian. Spekulasi yang diberikan seringkali hanya parsial dari keutuhan data yang ada di lingkaran kejadian.

Misalkan di saat sebuah gelas pecah sesaat setelah dipegang oleh seorang anak usia balita, akal akan memberikan ulasan dengan beragam penilaian, dan semua tergantung dari kekayaan data dari sang akal. Jika akal ini dimiliki oleh seorang guru sekolah, maka ia akan katakan bahwa hal ini adalah biasa dan faktor usia anak yang masih belia memang belum tepat untuk memegang sebuah gelas kaca yang rawan pecah. Namun jika akal ini dimiliki oleh seorang pekerja keras, ia akan memberikan penilaian bahwa sang anak kurang berhati-hati, tidak fokus dan kurang menghargai hal yang dimilikinya.

Kedua profesi dengan perbedaan penilaian terhadap kejadian gelas pecah ini tentu tidak dapat diperdebatkan, dan tidak dapat dimenangkan atau dikalahkan satu sama lainnya. Keduanya memiliki sisi sudut pandang yang berbeda dengan kumpulan data yang juga berbeda.

Lalu jika dipertanyaan secara lebih tegas, mana yang kita perlu yakinkan, cara pandang seorang guru sekolah yang terdidik dan cakap dalam pendidikan atau seorang pekerja keras yang tentu sangat cakap dalam menghadapi tantangan hidup? Di saat kita harus memilih satu di antara kedua hal ini, maka inilah awal dari sebuah masalah kehidupan dimulai.

Mengapa ini menjadi awal permasalah kehidupan? Ya karena kita yang memiliki keunikan dalam mengelola akal diminta untuk diseragamkan lantaran karena hukum mayoritas, atau hukum kepatutan sebuah profesi atau juga karena dorongan dari kuasa dari yang memiliki harapan untuk menyeragamkan akal ke satu kubu.

Perbedaan akal seharusnya menjadi kekayaan ilmu pengetahuan yang luas tanpa batas, bukan menjadi kutukan yang menyempitkan satu akal dan mengakalkan sang akal yang berbeda menjadi sebuah kefatalan.

Beragam akal yang muncul dalam penilaian atas sebuah kejadian dapat direkat menjadi satu kebijaksanaan jika kita gunakan budi. Budi memberi alasan yang kuat atas akal yang digunakan dalam melakukan penilaian. Budi memberi rasa yang menjadikan akal yang digunakan sebagai sebuah kebaikan bukan kejahatan.

Di saat seorang guru sekolah dan seorang pekerja keras menggunakan akal mereka yang dilengkapi dengan budi yang luhur mereka, tentu keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu agar sang anak yang menjadi perantara pecahnya gelas terbebas dari kejadian yang serupa di kemudian hari.

Budi yang menjadi dasar di saat akal bekerja menjadi sebuah motivasi yang sangat baik agar akal yang digunakan bermuara kepada sebuah keluhuran, kebaikan, kecintaan, kasih sayang dan hal luhur lainnya. Tanpa budi yang menjadi latar belakang sebuah akal yang bekerja, maka akal yang digunakan menjadi akal-akalan untuk membuat diri dan pihak lain terjerumus dalam kejahatan, kehancuran, penderitaan, kekejaman dan kejahatan lainnya.

Untuk itu akal dan budi perlu direvisi dalam menyusun urutan penulisannya, yaitu menjadi Budi dan Akal. Ijinkan Budi menjadi awalan sebelum kita menggunakan data untuk mempekerjakan akal kita. Budi sudah selayaknya menjadi motivasi untuk umat manusia sebagai makhluk yang memiliki kemampuan untuk menjadi luhur melebihi mahkluk hidup yang tampak lainnya.

Selanjutnya, perlu kita tanyakan dalam diri kita, apakah kita mendapat pendidikan budi secara berkesinambungan dan konsisten sejak kita lahir hingga hari ini? Apakah pendidikan informal dan formal telah memberikan ruang untuk memberikan pembelajaran agar kita terus mengembangkan budi kita?

Hari ini di saat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat dan mendukung kepintaran akal manusia menjadi sangat berakal, perkembangan budi menjadi tantangan tersendiri. Saat akal lebih dikembangkan dan diletakan di awalan cara manusia beradab, maka disinilah muncul beragam masalah kehidupan manusia. Banyak manusia manipulatif yang pandai menyelimuti kejahatannya dengan topeng akal yang manipulatifnya.

Orang-orang yang budinya minim tentu mudah diakali oleh mereka yang manipulatif, alhasil kehidupan manusia menjadi kehidupan yang apatis, egois, berpusat kepada kepentingan pribadi, mementingkan diri dan kelompoknya, serakah, penuh kebencian dan semaunya.

Tidak heran jika saat ini peperangan masih terjadi di masa ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat, bahkan kemajuan ini digunakan untuk memusnahkan ribuan 'musuh' dalam satu kali klik. Pemilik akal yang tak berbudi saat ini bukan hanya dimiliki mereka yang berprofesi sebagai penjahat saja, namun ada saja mereka yang berprofesi dengan jubah keagamaan, jubah sebagai guru, jubah sebagai dokter, hakim, jaksa, polisi, dan jubah profesi lainnya yang seharusnya memiliki budi penuh keluhuran.

Mengapa kita perlu mengembangkan budi kita, di saat dengan akal saja kita bisa mencapai apa yang kita inginkan? Sebuah budi yang mengalir menuju keluhuran tentu akan memberikan rasa yang menenangkan, menerima keadaan, menjadi mudah bahagia, menjadi pribadi yang berlimpah penuh suka cita dan memiliki sifat Ketuhanan yang esa, yang agung, yang penyayang, yang membawa ke kebahagian sejati. Inilah hal penting budi menjadi penting untuk menjadi landasan mengawali sang akal bekerja.

Semoga kita yang menulis dan membaca tulisan ini, tersentuh untuk terus mengembangkan budi sebagai awalan sebelum akal dan karya dibentuk. Semoga semakin banyak di antara kita terus berbudi, berani untuk berbudi, mau untuk berbudi, serius untuk terus berbudi dan juga siap untuk menjadi agen yang memberi motivasi kepada banyak orang agar terus berbudi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun