Mohon tunggu...
aryavamsa frengky
aryavamsa frengky Mohon Tunggu... Lainnya - A Passionate and Dedicated Educator - Dhammaduta Nusantara

Aryavamsa Frengky adalah seorang pembelajar, pendidik, juga pelatih mental untuk diri sendiri dan banyak orang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengapa Masih Ada Perang?

4 November 2023   05:07 Diperbarui: 4 November 2023   05:07 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ini hanya pemahaman penulis yang masih terus belajar"

Perang seakan tak pernah lenyap di muka bumi ini. Walau peradaban manusia telah memasuki peradaban industri 4.0 dan menuju peradaban sosial 5.0 namun perang tetap saja terjadi di wilayah tertentu. Perang masih saja menjadi jawaban atas ketidakpuasan dalam komunikasi antar pihak yang diturunkan dari generasi ke generasi.

Penulis mencoba memberikan sebuah pemahaman sederhana terkait bagaimana sebuah peperangan terjadi. Menurut penulis selama kemajuan suatu negara dikuatkan melalui kekuatan ekonomi bukan dari kekuatan edukasi maka selama itu pula perang tak pernah selesai. Kekuatan ekonomi bukan sebuah musuh dalam peradaban manusia, namun kekuatan ekonomi yang tak terkendali mendatangkan keserakahan yang menjadi sumbu pembakar sebuah peperangan.

Kekuatan ekonomi melalui rantai ekonomi khususnya perdagangan yang terlalu masif memberikan dampak yang luar biasa untuk suatu negara khususnya mempertahankan hingga memperluas wilayah kekuasaannya guna mencapai pendapatan ekonominya sebesar-besarnya, yang akhirnya pemerintah tertentu berupaya untuk menyulutkan pemerintahan lain agar melakukan ekspansi ke negara lain dan disinilah terjadi gesekan komunikasi yang berdampak ke peperangan.

Negara yang lengah dalam pemahaman dampak peperangan dan hanya memikirkan kepentingan pemerintahannya bukan rakyatnya maka negara tersebut masuk dalam pusaran rencana dari negara lain yang bertujuan memang untuk meningkatkan kegiatan ekonomi dunia. Mengapa demikian? 

Lihat saja, di saat peperangan apa saja komoditi ekonomi yang dibelanjakan secara masif? Ya tentu yang paling utama adalah senjata dan segala amunisinya, obat-obatan, makanan instan, bahan-bahan bangunan untuk recovery, berita-berita nasional dan internasional, gerakan masyarakat pendukung negara lain dalam hal ini dalam pembuatan poster, spanduk dan media lainnya, serta hal-hal lainnya yang begitu banyak yang membuat ekonomi dunia menjadi segar dan tumbuh dalam air mata korban peperangan.

Menurut penulis, selama gerakan negara maju yang hanya melihat atau mengukur kemajuan suatu negara hanya melalui pertumbuhan ekonomi, maka selama itu peperangan tidak dapat sirna di muka bumi ini. Kuliah-kuliah spiritual dan perdamaian tidak mampu mengubah persepsi pemerintah yang haus akan angka-angka pendapatan perkapitanya yang selalu ingin meningkatan pendapatan perkapitanya sehingga menjaga posisi aman dengan julukan sebagai negara maju.

Tidak sedikit negara maju yang gagal dalam mencapai peringkat atas sebagai negara bahagia yang telah santer digaungkan oleh PBB (perserikatan bangsa-bangsa) sejak tahun 2012. Walau dunia telah menyepakati adanya barometer kebahagiaan sebagai salah satu bagian penting dalam membangun dunia, namun ternyata watak manusia khususnya mereka yang mendapat kekuasaan dalam melakukan pemerintahan masihlah sama yaitu sulit untuk melepas keserakahan, kebencian dan tentu selama senjata masih di produksi masif di dunia ini, ini menjadi bagian yang sesuai dengan ungkapan,"Senjata makan tuan".

Semoga saja pemerhati kemanusiaan itu menjadi kandidat kuat untuk menjadi penasehat suatu pemerintahan agar sang penguasa tidak terbakar api kebencian dan keserakahan yang menjawab semua konflik wilayah dengan perang. Kata orang bisa,"Perang tidak membawa keuntungan baik untuk yang menang atau yang kalah. Mereka yang menang muncul ketidakbahagiaan karena menghabiskan energi baik mereka, sedangkan yang kalah muncul dendam dan akan membalas suatu ketika".

Hubungan keluarga inti yaitu papa, mama dan anak dapat menjadi ladang latihan awal guna melatih membangun perdamaian antar manusia. Jika di rumah tangga orangtua terlalu fokus untuk meningkatkan ekonomi keluarga, hal utama selalu yang menjadi pembahasan adalah bagaimana cara meningkatkan ekonomi keluarga baik itu pendapatan dan kekayaan. 

Lihatlah di sana sulit ditemukan perdamaian, yang ada adalah keserakahan untuk hidup tanpa ada syukur atas perolehan yang ada hari itu. Orientasi keluarga terseret dalam daya tarik rupiah dan menjauh dari ide dasar dibentuknya keluarga yaitu membangun kehidupan yang harmoni, bahagia dan sejahtera.

Tuntutan ekonomi itu boleh saja kita jadikan bagian dalam kehidupan kita, namun bukan menjadi prioritas utama. Kita dapat melihat secara langsung betapa tingkat korupsi di negara kita terus berada di posisi yang sama bahkan cenderung menurun. 

Apalagi kalau kita amati pelaku korupsi itu bukan seorang dengan pendapatan hanya jutaan rupiah saja, pelaku korupsi ini ternyata kebanyakan adalah mereka yang berpendidikan tinggi, berpangkat baik, serta berpendapatan hingga 3 digit alias ratusan juta per bulan.

Inilah dilematis dari ekonomi menjadi prioritas. Adab manusia berubah menjadi monster bertubuh manusia, mereka meluluhlantakan nilai-nilai spiritual yang mereka pelajari dengan keyakinan masing-masing. Ajaran-ajaran apapun tidak kuat untuk merubah monster yang telah haus kuasa, haus rupiah dan haus hidup mewah.

Opini ini menjadi catatan untuk penulis sendiri bahwa untuk menjadi manusia tidak cukup hanya belajar mata pelajaran semata, namun perlu kiranya mengkritisi diri sendiri dengan terus memahami kualitas mental kita apakah kita sudah sesuai dengan ajaran para Nabi kita yang selalu mengingatkan kita untuk hidup berdampingan antar manusia, hidup berdampingan dengan alam tempat kita tinggal, dan bukan hanya mengurusi isi perut, isi kantong dan isi kekuasaan kita.

Hidup damai dan penuh harmoni adalah musuh bagi mereka yang meminta ekonomi sebagai Tuhannya, untuk itu bagi kita yang ingin berharap dunia damai dan harmoni tanpa mengecilkan harapan itu, namun adalah lebih baik jika kita cukup berharap dimulai dari keluarga kita agar keluarga kita dalam kondisi harmoni, damai dan membawa kebahagiaan. Kita mulai dari sel suatu negara dengan gerakan keluarga harmoni, damai dan bahagia. 

Harapan ini tentu menjadi lebih masuk akal dan mudah untuk dilakukan guna membangun persepsi kebahagiaan dengan membangun keharomian dan kedamaian bukan dengan perang.

Semoga mulai dari keluarga kita yang harmoni, damai dan bahagia, kita membangun negara kita yang juga harmoni, damai dan bahagia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun