Suatu pagi di kala penulis hendak keluar dari sekolah, penulis dihentikan oleh dua orangtua murid yang sedang berbincang-bincang di area parkir. Mereka adalah dua orang ibu rumah tangga yang telah memiliki 3 anak yang semuanya bersekolah di tempat penulis bekerja.
Obrolan kedua ibu rumah tangga ini, menarik untuk disimak sebagai bagian dari cerita yang mungkin dapat mewakili cerita para ibu rumah tangga lain. Walau obrolan ini bukan seperti sebuah talkshow dengan tema khusus namun obrolan ini mengalir dan memberikan petunjuk yang patut diperhatikan bagi para ibu rumah tangga lainnya.
Penulis mencoba untuk meramu obrolan itu dengan memisahkan bagian-bagian utama obrolan yang dapat penulis rangkum menjadi 3 tema besar, yang pertama tema terkait pendidikan anak ala ibu rumah tangga, yang kedua tema terkait persepsi ibu rumah tangga terhadap profesinya sebagai ibu rumah tangga dan yang ketiga adalah tema tentang hal-hal yang dilakukan ibu rumah tangga ketika mereka saling bertemu.
Pada kesempatan ini, penulis ingin berbagi khusus terkait tema pertama, yaitu pemikiran ibu rumah tangga terkait pendidikan anak mereka. Ibu rumah tangga ini adalah ibu yang lahir di tahun lahir di atas tahun 1980 yang dikenal dengan genarasi Y, tentu karakteristik genarasi Y ini masih memiliki panduan pendidikan anak ala generasi baby boomers sebagai orangtua mereka dan juga memiliki pemikiran genarasi internet.
Mereka telah menerapkan pendidikan anak di rumah melalui nasehat orangtua mereka, serta hasil temuan dari internet. Perpaduan ini menjadi menarik untuk disimak, lantaran perpaduan informasi offline dan online ini memberikan sebuah irisan yang menjadi narasi yang digunakan oleh para ibu rumah tangga generasi Y dalam mendidik anaknya.
Irisan ini dapat menjadi sebuah kebijaksanaan yang berguna untuk dipahami dan diterapkan dalam mendidik anak yang lahir sebagai generasi Z dan alpha. Beberapa irisan yang disampaikan dalam obrolan pagi itu di antaranya adalah pentingnya tetap memperhatikan budaya dan adat istiadat lingkungan rumah dan tempat tinggal.Â
Para ibu rumah tangga ini memberikan argumentasi bahwa kencangnya arus budaya luar yang masuk ke negara kita, banyak merubah paradigma para orangtua dalam mendidik anaknya. Alhasil sebagian orangtua menarik anaknya meninggalkan budaya lokal yang masih patut dan layak diterapkan dan mengarahkan anaknya mengikuti budaya luar yang belum tentuk cocok dengan anaknya, salah satunya budaya pembiaran atau memberikan akses informasi seluas-luasnya kepada anak tanpa dibendung dan difilter.
Anak diberikan apapun yang mereka inginkan tanpa skenario yang ditetapkan oleh orangtua, mereka dibiarkan lepas di hutan belantara informasi. Anak diharapkan menjadi informatif dengan kebebasan ini. Alhasil perilaku anak menjadi semau-maunya, sulit dibentuk dan temperamen. Anak dengan tipikal pembebasan ini cenderung bersikap argumentatif, tidak mau menerima intruksi dan maunya adalah mengikuti apa yang ia inginkan.
Budaya luar yang hadir saat ini, masuk melalui informasi internet yang disadari atau tanpa disadari. Banjir informasi di internet yang merasuk melalui gems anak, film, hingga iklan dan segala macam bentuk dapat memberikan dampak perubahan sikap dan perilaku anak dalam keseharian mereka.Â
Jika orangtua menerapkan pendidikan anak yang lepas dan bebas tanpa bimbingan dan arahan yang tepat, maka di sanalah anak menjadi semakin jauh dari budaya lokal dan bergerak menuju budaya luar yang sekali lagi belum tentu cocok dengan kehidupan mereka ke depan.
Dalam obrolan para ibu rumah tangga pagi itu, mereka tidak sepakat dengan cara melepas anak tanpa diberikan rambu-rambu melalui penguatan budaya lokal yang patut ditegakkan. Mereka sepakat bahwa penting sekali anak-anak untuk dapat diajarkan, diberi contoh, dan mempraktekkan perilaku yang pantas dalam keseharian.Â
Perilaku itu diantaranya menyapa, memberi hormat, meminta maaf, berterima kasih, peduli kepada sesama, melindungi diri dengan berkata maaf, bekerjasama, meminta ijin jika ada keperluan, membantu teman jika ada kesulitan, menjaga kebersihan diri dan lingkungan, menggunakan internet dengan waktu tertentu, bermain gems online atau offline dengan gems yang sesuai umur dan terbatas dalam waktu bermainnya, mengutarakan argumen dengan mendengar terlebih dahulu, juga menolak informasi yang belum dianjurkan oleh orangtua mereka.
Budaya lokal yang ditegakkan ini tentu budaya yang ada di rumah masing-masing keluarga, dan sifatnya sangat ekslusif namun berlaku universal yang diyakini sebagai budaya yang dapat membawa kemajuan dan kebahagiaan diri dan banyak orang serta membawa kebaikan untuk lingkungan.Â
Guna dapat membuat budaya lokal ini menjadi bagian kehidupan sang anak, orangtua wajib untuk menjadi mentor sekaligus coach/pelatih bukan fasilitator.Â
Perbedaan antara mentor, coach dan fasilitator sangat perlu dipahami agar kita tidak salah dalam menerapkan pembelajaran ke anak-anak kita.
Mentor memberikan arahan dalam bentuk intruksi langsung, yang tegas tanpa perlu diperdebatkan. Arahan ini jelas sesuatu yang sifatnya prinsip-prinsip hidup seperti bicara yang baik, penuh arti, tidak kasar, memberi manfaat, bukan omong kosong, juga bukan asal bicara namun ada faktanya.Â
Kemudian coach adalah bagian dari mentor yang selain memberi instuksi juga memberikan teladan, dan membantu mengevaluasi perilaku yang sudah dilakukan serta  memberi arahan untuk perilaku yang akan dilakukan.
Sedangkan fasilitator adalah memberikan kewenangan penuh kepada peserta didik untuk melakukan ekspolarasi dan mendukung segala hal yang hendak dieksplorasi dengan arahan yang umum namun tidak membatasi informasi yang sejalan dengan harapan peserta didik.
Perlu kiranya pendekatan psikologi anak juga menjadi dasar untuk memberikan arahan kepada anak kita. Secara tidak disadari, naluri para ibu yang berbincang pagi itu, telah menerapkan psikologi anak secara praktis.Â
Mereka sependapat bahwa dunia anak itu masih perlu ikut campur orangtua mereka dalam membentuk mereka. Namun mereka juga menyadari kadang kala dalam ikut campur ini mereka perlu mengerem agar tidak terlalu berambisi mengharap anaknya berubah sesuai harapan mereka secara instan. Penyadaran dalam membimbing anak itu penting sekali untuk terus dibangkitkan, dihidupkan, diingatkan.
Penyadaran ini terkait dengan nilai-nilai luhur yang menjadi sumber pendidikan anak yaitu cinta kasih dan kasih sayang kepada sang anak yang masih perlu bimbingan dan dukungan.Â
Para ibu ini bercerita, "Ya saya sempet terlalu keras dengan anak saya, hingga terkadang saya menggunakan hukuman fisik ke mereka, namun setelah itu saya merasa menyesal dan meminta maaf ke mereka dan juga mengajak mereka paham arti marah yang diberikan tadi sebagai bentuk ketegasan agar kalian tidak mengulang lagi kesalahan serupa".
Bagi penulis berdasarkan pengalaman dan bacaan, memang pendidikan anak jika kita ingin mereka dapat melampaui dunia anak mereka menjadi remaja yang siap tidak labil hingga menuju dewasa yang kuat secara mental, maka perlu kita menggunakan prinsip menerbangkan layang-layang.Â
Penulis ingat dahulu di saat usia anak, ketika hendak menerbangkan layang-layang. Kita perlu menarik, mengulur sang benang agar layang-layang bisa terbang. Memastikan arah angin agar mendapat dukungan untuk terbang. Menarik dan mengulur ini menjadi bagian penting dalam menerbangkan anak kita dalam pendidikan anak.
Menarik itu memberi ketegasan prinsip nilai moral yang diyakini oleh budaya keluarga yang tentunya yang membawa kebaikan diri dan orang lain.Â
Tariklah dengan tegas hal-hal prinsip yang layak untuk diterapkan dalam kehidupan anak, tentu prinsip-prinsip yang universal bukan yang berlaku hanya untuk pribadi dan akhirnya menyakiti orang lain serta merusak lingkungan. Tariklah prinsip-prinsip universal dan ajak anak kita menerapkannya.
Mengulur berarti berilah mereka kesempatan untuk melakukan, mencoba, dan gagal. Di saat mereka melakukan pertama kali tentu resiko gagal itu tinggi, maka ketika mereka gagal dalam melakukan prinsip-prinsip universal ijinkan itu menjadi bagian evaluasi kita sebagai mentor dan coach-nya yang salah dalam memberikan intruksi, kurang dalam komunikasi serta tidak memberi contoh yang tepat.Â
Anak-anak boleh gagal atau salah dalam melakukan sesuatu yang pertama atau kedua, namun jangan sampai ketiga. Kesalahan yang sama terulang sebanyak tiga kali, ini sebuah kritik yang patut dievaluasi oleh orangtua dan sang anak. Kita perlu libatkan orang ketiga mungkin seorang pakar perilaku sehingga dapat menemukan sumber masalah ini.
Perhatikanlah arah angin, terbangkanlah layang-layang kita mengikuti arah berlawanan arah angin, sehingga mendapat dukungan penuh alam semesta untuk menerbangkan sang layang-layang. Demikian juga anak kita, kita perlu tahu dan belajar memahami arah dunia bergerak, di masa mereka ketika dewasa nanti.Â
Perkembangan teknologi, perubahan peradaban, situasi sosial ekonomi, dan banyak hal yang penting untuk kita pahami agar arah pendidikan kita mendukung ke arah perkembangan ini. Inilah tantangan kita sebagai orangtua dalam melakukan bimbingan dan dukungan kepada anak kita agar mereka lebih siap di masa mereka.
Sulit tapi mudah, mudah namun sulit, ini bagian cerita yang mengakhiri obrolan ibu-ibu rumah tangga yang bersemangat untuk terus membimbing dan mendukung anak mereka.Â
Para ibu ini cukup ngobrol saja telah memberikan suplemen guna meneruskan tugas luhur mereka. Obrolan pagi itu selain curhat namun juga ada sisi sharing terkait kesalahan dan keberhasilan dalam pendidikan anak mereka, sehingga mereka pulang dengan hati gembira, penuh informasi baik dan siap untuk meneruskan bimbingan dan dukungan kepada anak mereka masing-masing.
Semoga para pendidik anak dan orangtua ikut mendapatkan manfaat dari obrolan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H