Tahun 2000 silam, penulis mengikuti sebuah pelatihan mental berupa meditasi Vipassana (ada kemiripan dengan mindfulness Meditation) yang diselenggarakan oleh sebuah lembaga internasional bernama Vipassana Meditation yang dirintis oleh seorang Burma bernama Sayagyi U Ba Khin (www.dhamma.org). Pelatihan ini sangat unik dan terukur serta juga syarat dengan keluhuran yang dapat dirasakan dari awal hingga latihan selesai. Lama latihan 10 hari di tambah hari di hari ke-11.
Selama 10 hari peserta berlatih untuk bermeditasi duduk, jalan, berbaring, serta melakukan kegiatan sehari-hari seperti mandi, makan, mencuci dan lainnya.Â
Peserta dilarang untuk berbicara dengan peserta lain, peserta hanya diijinkan untuk bertanya kepada asisten guru yang membimbing di sesi tanya jawab, dan tidak ada sesi diskusi. Pertanyaan dalam sesi tanya jawab pun diarahkan kepada pertanyaan teknik meditasi bukan terkait filosofi atau teori meditasi.
Untuk mengikuti kegiatan ini peserta dapat mendaftar secara online atau ke nomor kontak yang disediakan di laman yang ada. Peserta tidak membayar apapun, peserta cukup daftar dan kemudian disesuaikan dengan kuota yang tersedia.Â
Pendaftaran sebagai peserta tidak memiliki syarat-syarat khusus bahkan tidak mengharuskan beragama tertentu. Kegiatan ini betul-betul umum dan universal tidak terbatas pada usia, ras, golongan, agama dan budaya apapun.
Tidak heran ketika dalam kegiatan pelatihan ini, peserta terlihat beragam bahkan banyak juga peserta yang mengikuti kegiatan ini berasal dari negara lain. Pelatih atau asisten guru pun berasal dari luar negeri, mereka terpilih karena ketekunannya berlatih lebih dari 5 hingga 15 tahun lebih.
Pemilihannya pun bukan karena indeks prestasi atau prestasi tertentu namun guru utama -- mendiang S.N. Goenka secara seksama dilihat dari perilaku, ketekunan dan praktek yang dilakukan oleh murid beliau.
Penulis berkesempatan mengikuti pelatihan ini sejak tahun 2000 lalu, dan setelah berkesempatan ikut kegiatan ini, penulis mendapat sebutan sebagai siswa lama atau old student.Â
Sebagai old student, kami mendapat kesempatan untuk berdonasi uang setelah merasakan manfaat dari meditasi ini, di hari ke-11 atau setelahnya. Namun jika belum menuntaskan meditasi hingga hari ke-11, donasi sebesar berapapun tidak diterima oleh panita (yang kesemuanya adalah old student). Keluhuran ini dipegang penuh lewat tradisi atau budaya oleh organisasi ini.Â
Satu lagi bahkan untuk tiket asisten guru, fee asisten guru yang mengajar pun ini sering sekali dibayar oleh asisten guru sendiri, mereka sering menolak diberi fee dan juga tiket akomodasi mereka. Sungguh langka dan penuh dengan nilai-nilai luhur yang ditanamkan.
Suatu saat penulis meniatkan diri untuk membantu kegiatan pelatihan Vipassana ini sebagai dhamma worker (pelayan pelatihan) yang bertugas untuk membersihkan tempat meditasi, menyiapkan makanan, membangunkan peserta, membersihkan kamar mandi, dan lainnya termasuk bermeditasi bersama peserta. Penulis menemukan suatu kejadian yang membuat penulis menyadari makna meditasi yang lebih mendalam.
Waktu itu di malam ke 10, dimana ini adalah masa-masa terindah dalam pelatihan Vipassana dikarenakan di masa ini peserta akan segera pulang, dan juga diijinkan untuk berbicara antar peserta, di saat itu setelah terjadi perbincangan antar peserta, peserta diminta untuk kembali bermeditasi seperti di hari-hari sebelumnya.Â
Di pertengahan proses meditasi (yang umumnya 1-1,5 jam), ada satu peserta meditasi yang berteriak histeris seperti orang yang kesurupan. "A.......tidak.... " suara teriakannya keras sekali sehingga membuat para peserta meditasi lainnya ikut tercenggang, kaget dan bingung, seraya bertanya,"Apa yang terjadi?". Peserta meditasi ini seketika dibangunkan dalam meditasinya dengan cara digoyang-goyang tempat duduk meditasinya oleh dhamma worker atas perintah dari asisten guru.Â
Penulis melihat proses dibangunkannya peserta yang berteriak itu dan mungkin memerlukan waktu hingga 2 menit barulah sang peserta membuka mata dan mulai sadar. Nafas yang keras dan tersenggal-senggal yang dialami sang peserta itu masih terasa dan terdengar walau jarak peserta itu dengan penulis cukup jauh.
Asisten guru meminta dhamma worker untuk mengajak peserta yang seperti kesurapan itu untuk keluar dari ruang meditasi dan mulai untuk menenangkan diri. Setelah kejadian ini terjadi dalam waktu meditasi di malam hari, dan di saat peserta kembali ke ruang istirahat mereka, asisten guru memanggil kami para dhamma worker dan membahas terkait apa yang terjadi dengan peserta tersebut.
Asisten guru mengatakan bahwa demikianlah, peserta yang berteriak histeris itu terjadi karena ia mencari ketenangan yang ia harapkan namun tidak kunjung tiba padahal waktu berlatih tinggal hari lagi. Semakin ia mencoba untuk mencari ketenangan, semakin ia jauh dari ketenangan. Lalu asisten guru menjelaskan bahwa ketenangan itu buah bukan upaya. Buah dari upaya yang dilakukan bukan sebuah upaya yang dibuat.Â
Sebagai buah maka layaknya buah pada sebuah tanaman, upaya kita adalah menanam dengan baik, merawatnya, memberinya pupuk, menyiraminya, dan kita tidak perlu berpikir keras agar buahnya segera muncul. Ijinkanlah buah itu muncul sesuai dengan hukum alam yang ada. Yakinlah bahwa buah itu pasti ada jika kita menanam benih yang memang berasal dari buah yang ada sebelumnya.
Keyakinan akan buah yang pasti datang, serta fokus ke usaha untuk terus berlatih dengan gigih, dengan tekun, dengan benar maka buah ketenangan akan semakin dekat dengan kita. Namun kalau kita tidak yakin buah itu ada, dan kita hanya fokus untuk mendapatkan buah itu sesegera mungkin, maka usaha kita ini akan melelahkan, tanpa arah serta membuat kita gelisah dan semakin jauh dari buah ketenangan.
Untuk itu asisten guru menjelaskan kepada kami bahwa meditasi itu bukan untuk mencari ketenangan, namun meditasi itu untuk berlatih melepas ketegangan sehingga ketika ketegangan kita lepas lapis per lapis, lama kelamaan secara tekun dan gigih, kita semakin dekat dengan sahabat ketegangan yaitu ketenangan.Â
Dalam hidup ini kita dituntut terus untuk mencari dan mencari, sehingga seringkali kita lari dari kenyataan hidup kita, kita sibuk melihat di luar diri kita karena kita sedang mencari apapun yang ada di luar diri kita.
 Pencarian yang kita lakukan ini tentu menghadirkan ketegangan dalam diri kita, kita sulit puas, sulit menerima kegagalan, sulit memaafkan, sulit bersimpati, sulit untuk berbagi, sulit untuk tahu diri, kita mudah untuk mencaci, mudah untuk menindas, mudah untuk menghancurkan, mudah untuk komplain, mudah untuk menghalalkan segala cara demi mencari yang ingin dicari.
Inilah proses penderitaan yang tak kunjung padam, dan saat kita duduk bermeditasi kita dapat melihat betapa kita tidak siap menghadapi diri dalam kesendirian kita, dalam kesunyian kita, kita sulit sekali untuk menenangkan sang pikiran yang terus berkelana. Dampak penderitaan dapat kita lihat di antaranya kita sulit untuk tenang, sulit untuk tidur nyenyak, sulit untuk hadir dan menikmati hidup saat ini, sulit untuk melepas dan juga menerima penderitaan yang muncul.
Oleh kerena itu, asisten guru berpesan kepada kami bahwa penting kiranya kita untuk terus mengisi ulang daya pikiran kita dengan duduk diam minimal 15 menit setiap hari agar kita mendapatkan keteduhan hati, ketenangan diri alhasil kita akan lebih mudah untuk bersyukur dan berterima kasih atas segala yang kita miliki. Inilah bagian kecil dari manfaat meditasi Vipassana, anda tidak perlu menjadi suci hari ini, namun anda cukup berlatih setiap hari itu sudah cukup untuk membuat hidup anda menjadi lebih tenang, lebih hidup dan berkualitas.Â
Demikianlah pesan asisten guru kepada kami, kejadian peserta yang berteriak histeris memberikan kami pembelajaran yang berarti. Semoga pembaca mendapat manfaat dari sharing ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H