Mohon tunggu...
aryavamsa frengky
aryavamsa frengky Mohon Tunggu... Lainnya - A Passionate and Dedicated Educator - Dhammaduta Nusantara

Aryavamsa Frengky adalah seorang pembelajar, pendidik, juga pelatih mental untuk diri sendiri dan banyak orang.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Matematika Itu Sulit, Iya Kah?

13 April 2023   20:13 Diperbarui: 14 April 2023   00:03 1043
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi belajar matematika (Sumber: Shutterstock)

Sebagai seorang yang pernah menjadi guru matematika, penulis sering menemukan murid yang fobia atau lebih tepatnya merasa tidak mampu dan menganggap pelajaran matematika itu sulit, khususnya murid SMP dan SMA. Alhasil ketika pelajaran matematika berlangsung, mereka menutup diri untuk memahami matematika secara utuh. 

Suatu ketika penulis hendak menyelesaikan salah satu tugas pascasarjana berupa jurnal ilmiah untuk mencari jawaban, "Kapan sih murid mulai fobia dengan pelajaran matematika?"

Penulis melakukan penelitian pada murid SD, dan temuan yang penulis temukan cukup membuat pemikiran penulis terbuka lebar, bahwa ternyata pelajaran matematika sesungguhnya tidak membuat murid fobia, namun cara guru mengajar yang tidak tepatlah yang membuat pelajaran matematika menjadi menakutkan.

Guru matematika sering diberi julukan, "The Killer", atau guru yang mengajar mudah memberi soal dan tes sulit. Selain itu pembawaan guru matematika cenderung serius, kurang candaan, penuh dengan ketegangan layaknya seorang aktor film bergenre misterius. 

Umumnya guru matematika masuk kelas tanpa senyum dan keluar kelas pun meninggalkan luka yaitu membuat murid tercenggang karena penjelasan yang tidak jelas namun diharap jelas. Inilah tipe-tipe guru matematika yang membuat pelajaran matematika menjadi momok untuk para murid.

Di saat murid duduk di bangku sekolah dasar, jika guru matematika tidak dapat menghadirkan kontekstual atau realita yang dekat dengan murid untuk menjadi jembatan penghubung dengan pelajaran matematika, maka murid menjadi sulit untuk memahami bahasa matematika yang abstrak sehingga murid merasa, "Kok sulit dipahami ya?"

Dalam hasil penelitian penulis waktu itu, penulis menemukan bahwa para murid kelas 1 dan 2 SD sangat senang belajar matematika itu karena penampilan guru matematikanya "cantik", murah senyum dan penuh perhatian. Murid SD kelas 1 dan 2 ini menilai pelajaran matematika menarik bukan karena isi pelajarannya saja namun lebih kepada siapa yang mengajar pelajaran tersebut. 

Namun untuk kelas 3 SD ke atas, murid mulai melihat bukan ke gurunya saja namun juga ke penjelasan sang guru. 

"Guru menjelaskan tapi saya sulit memahami," salah satu reaksi murid. Ketika guru kurang dalam kreasi berkomunikasi, kreasi dalam penjelasan, kreasi dalam menggunakan alat bantu pembelajaran, maka murid sulit memahami matematika sebagai bagian dari kehidupan murid.

Dari hasil penelitian ini, penulis menyimpulkan dengan jelas bahwa momok matematika mulai terbentuk di saat murid mulai di kelas 3 SD dimana guru kurang terampil menggunakan pendekatan untuk mengajar materi matematika yang didekatkan pada kehidupan nyata mereka.

Selanjutnya, waktu penulis mengajar siswa SMA pelajaran matematika, penulis sengaja meminta mengajar matematika di kelas yang muridnya tidak suka pelajaran ini yaitu umumnya di kelas program IPS. Ini menjadi tantangan penulis cari untuk mengasah ketrampilan penulis dalam mengajar dan menata mindset para murid agar mereka dari tidak suka pelajaran matematika menjadi minimal mau belajar matematika.

Beberapa pendekatan penulis lakukan, tentu yang pertama penulis perlu gali seberapa dalam fobia matematika yang tertanam dalam benak murid penulis. Untuk itu di dalam pertemuan minggu pertama, penulis tidak menyampaikan materi matematika secara langsung seperti guru lainnya yang sering kejar-kejaran dengan target kurikulum yang akhirnya murid hanya jadi objek pembelajaran bukan subjek yang belajar. 

Penulis menggali dengan memantik pertanyaan seperti, "Mengapa kita perlu belajar matematika? Silakan dijawab, saya akan berikan nilai kerajinan jika ada yang menjawab."

Para murid pun pasti akan berlomba menjawab, maklum murid masih suka nilai daripada pujian. Namun untuk pertanyaan ini tidak banyak murid bisa menjawab, karena mindset mereka terjerat dengan perasaan mereka yang sedang fobia dengan matematika. 

Selanjutnya penulis menjelaskan singkat bahwa matematika ada di sekitar kita, mulai dari umur kalian, berat badan kalian, luasan tempat kalian tinggal, rupiah yang kalian punyai, nilai rapor yang kalian dapat, serta masih banyak matematika di sekitar kita. Penulis meminta persetujuan dengan para murid, "Apakah kalian setuju dengan contoh yang saya sampaikan, bahwa matematika ada dimana-mana?"

Para murid perlu diberi umpan balik agar kita memahami cara mereka berpikir, dengan ditanyakan secara rutin. Murid-murid pun menjawab setuju, ini adalah langkah awal untuk memperbaiki mindset mereka agar tidak terjerumus dalam perasaan fobia yang menutupi otak logika mereka.

Setelah mindset diperbaiki, penulis melanjutkan dengan menunjukkan sebagai pribadi guru yang riang, lucu, tegas, serta bersahabat. 

Performa guru seperti ini ditunjukkan dengan sikap yang dapat dipercaya, seperti penulis memberi candaan ringan dalam penjelasan, juga menawarkan kelas tambahan di pulang sekolah, melakukan rotasi pemeriksaan kemampuan mereka bekerja lalu memberi koreksi serta memotivasi mereka secara rutin dan konsisten, namun juga penulis sebagai guru menunjukkan ketegasan dalam ketaatan disiplin menyelesaikan tugas, mengumpulkan tugas dan menyelesaikan tes yang diberikan. 

Penulis merombak cara guru lama mengajar matematika yang menakutkan dengan memberi pandangan kepada para murid bahwa ada guru matematika yang kece, keren, cool dan bersahaja (ijin memuji diri sendiri).

Dahulu guru matematika umumnya memberi ulangan satu kali untuk satu bab, dan jika gagal mungkin diberikan remedial selanjutnya jika gagal lagi dilakukan remedial lagi hingga gurunya putus asa dan alhasil diberilah nilai khusus. 

Penulis mengubah pola tersebut, penulis memberikan 3 kali ulangan untuk materi yang sama, 1 jenis ulangan dengan boleh tanya guru, 1 jenis ulangan boleh buka buku, dan 1 jenis ulangan tutup buku. Cara ini efektif untuk mengurangi persentase murid untuk remedial. Namun jika ada murid yang remedial pun, penulis mengubah remedialnya dengan meminta murid menampilkan ketrampilan mereka dalam hal lain di luar matematika. 

Ada murid yang bisa menyanyi maka ia remedialnya berupa menyanyi dengan baik, ada yang bisa menari maka remedialnya berupa menari, ada yang bisa membaca puisi maka remedialnya membaca puisi, ada yang bisa menggambar maka remedialnya menggambar. 

Setelah mereka melakukan ketrampilan atau kebisaan selain matematika maka penulis memberi nilai tuntas. Para murid senang sekali dan mereka malah membuka diri untuk mau belajar matematika lebih.

Terkadang guru sekolah saking sibuknya menata adminstrasi pembelajaran, menyelesaikan tuntutan kurikulum, belum lagi mendukung program kegiatan event di sekolah,  mereka melupakan satu esensi yang perlu dikuatkan dalam pembelajaran yaitu menjadi sosok guru yang disenangi. 

Sosok guru yang disenangi ini bukan sosok guru yang flamboyan, pandai berkata-kata, sering memberi hadiah, sering meninggalkan kelas, sering meringankan pembelajaran, sering membiarkan murid tidak belajar sehingga ada jam kosong, bukan seperti ini. Namun guru yang disenangi itu guru yang punya nilai-nilai luhur seperti kasih sayang, peduli, mau membantu, mau mengorbankan waktunya memberi kelas tambahan, mau melihat murid sebagai subjek yang belajar, mau mendengarkan keluhan murid, mau memberikan ketegasan agar murid menjadi lebih baik, mau mengajak murid untuk berubah menjadi lebih berkualitas, dan lainnya.

Setelah guru berhasil mendapat tempat di hati para murid, pelajaran apapun tidak menjadi masalah, murid akan menerimanya dengan senang hati. Selanjutnya guru dapat menata pembelajaran dengan pendekatan manajemen, yaitu mulailah dari sebuah rencana, target dan strategi belajar. 

sumber: freepik.com
sumber: freepik.com

Kebanyakan guru mengajar langsung ke materi ajar sehingga tidak mempersenjatai murid dengan manajemen belajar. Untuk itu guru perlu mengantarkan pembelajaran dengan mengawalinya berupa rencana pembelajaran yaitu berapa jumlah jam seminggu, berapa jumlah pertemuan satu semester, berapa jumlah materi atau bab yang akan dilalui. 

Kemudian guru memberi tantangan target untuk para murid, berapa capaian yang mereka takar untuk dicapai, berapa nilai yang harus dicapai di akhir semester. Akhirnya guru memberikan atau menawarkan kepada murid untuk membuat strategi belajarnya seperti apa, juga tantangan yang akan dihadapi seperti apa. Ini rumusan penting yang perlu diberikan guru setelah berhasil membuat murid menyukainya, yaitu manajemen belajar.

Semoga pengalaman ini menjadi bermanfaat setelah penulis bagikan, jika ada hal yang ingin ditanyakan silakan ditanyakan di kolom komentar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun