Peringatan Waisak 2566 BE tahun 2022 memberikan kesan khusus dimana di tahun ini pandemi virus Covid-19 masih bersama kita, hidup bersama kita dan dekat dengan kita. Kehadiran pandemi yang belum kunjung berganti status menjadi edemi telah memberikan kita kesempatan untuk menguatkan perenungan terhadap kehidupan ini, rentannya kehidupan ini yang dipenuhi dengan perubahan yang tidak bisa dihindari. Mulai dari negara berkembang hingga negara maju tak bisa membendung arus pandemi yang begitu dasyat dalam penularannya dan memberikan akibat yang berdampak luas bukan hanya terkait kematian namun juga kesehatan, ekonomi, serta aspek sosial kemasyarakatan.
Berbicara terkait pandem i ini memang telah menjadi pembicaraan yang membosankan, dan bahkan ada yang tidak mau peduli lagi info terkini terkait pademi lantaran akhir dari pademi yang diharapkan belum kunjung tiba. Namun demikian dalam renungan Waisak 2566 BE ini penulis hendak mengajak para pembaca untuk memanfaatkan kejadian yang luar biasa ini menjadi momentum yang baik untuk kita jadikan pembelajaran yang kita bayar mahal dengan segala dampaknya.
Mari kita simak sebuah ungkapan dari Bapak Evolusi Charles Darwin yang mengatakan "Bukan karena kekuatan atau kepintaran spesies dapat bertahan hidup atau tidak punah, namun karena kepiawaiannya dalam beradaptasi terhadap perubahan" dan juga kutipan dari Mahparinibbna Sutta, Digha Nikya 16 dimana guru Agung Buddha menyampaikannya di saat sebelum beliau mangkat, "Vayadhamma Sakra, Appamdena Sampdetha", yang artinya," segala yang terkondisi akan hancur, berjuanglah dengan kesadaran penuh", kedua kutipan ini menjadi landasan yang baik sekali untuk kita gunakan guna menghadapi segala perubahan yang terjadi dalam kehidupan kita baik itu yang terjadi secara mendunia ataupun yang terjadi secara pribadi.
Para pembaca yang penuh kebahagiaan, perubahan tentu sudah pasti kita pahami keberadaannya, di saat kita bertumbuh dan berkembang dari setitik sel hingga menjadi janin dan terus berlanjut hingga usia kita saat ini, perubahan ini sangat jelas dapat kita pahami sebagai sebuah perubahan yang pasti terjadi. Perubahan fisik yang terjadi terkadang tidak menjadi sebuah perenungan yang mendalam bagi batin kita yang kurang sadar atas segala yang terjadi. Inilah yang dikatakan oleh Bapak Charles Darwin dan Guru Agung Buddha bahwa kemampuan beradaptasi terhadap perubahan dengan terus berjuang membangkitkan kesadaran yang penuh.
Lihatlah dan refleksikanlah ketika terjadi perubahan sedikit saja dalam kehidupan kita, misal saja ketika kita mulai sakit kepala, mulai padat pekerjaan, mulai kesulitan ekonomi, mulai mengalami tekanan dari orang atau situasi dan segala bentuk perubahan yang terjadi, lihatlah bagaimana cara kita merespon. Apakah kita masih meresponnya dengan membenci keadaan dengan melakukan segala tindakan untuk menghindar, mengalihkan, merusak penyebab perubahan hingga berencana untuk memusnahkan diri kita?. Banyak pengamat yang melihat dan menyatakan bahwa dampak pandemi covid-19 ini bukan hanya terhadap peningkatan jumlah kematian yang banyak dalam satu waktu, namun dampak panjangnya adalah bagi mereka yang masih hidup, mereka mengalami trauma, depresi, kegelisahan, hingga gejala-gejala lainnya yang mengarah ke gejala gangguan kejiwaan. Dampak panjang inilah yang sangat perlu kita atasi dengan belajar dan mendalami ajaran Guru Agung Buddha khususnya bagaimana kita dapat menghadapi perubahan dengan kesadaran penuh dan akhirnya kita menghasilkan kedamaian dalam diri kita yang dapat kita lanjutkan kedamaian ini ke lingkungan sehingga kehidupan dan sekitar kita menjadi lebih berkualitas dan penuh sukaria kebahagiaan.
Beradaptasi terhadap perubahan dengan melakukan penyadaran penuh atas segala kondisi yang hadir menjadi pekerjaan batin kita yang patut kita latih hari perhari tanpa berhenti agar batin kita penuh dengan kedamaian yang pada akhirnya memberikan dampak kebahagiaan batin yang panjang. Sebelum kita membahas terkait pengelolaan batin agar berkesadaran penuh, mari kita memulai merenungkan kembali 3 peristiwa penting dalam peringatan Waisak yaitu rangkaian perjuangan seorang manusia yang bernama Siddharta seorang anak raja yang pada akhirnya melepas semua kemewahan, kemudahan, fasilitas-fasilitas terbaik sebagai anak raja menjadi pertapa demi menemukan  resep penguat batin agar dapat menghadapi dan menerima segala perubahan yang terjadi di dalam hidup ini seperti menderita sakit, menjadi tua, mengalami kematian. Segala jalan ekstrim telah beliau lalu mulai dari ekstrim dalam menikmati keduniawian di saat beliau sebagai anak raja, hingga ekstrim dalam menyiksa diri yang beliau lakukan di saat menjadi pertapa di hutan Uruvela. Beliau menyiksa diri ini sebagai salah tangkap pengertian beliau saat itu, berikut beberapa hal yang beliau lakukan dalam menyiksa diri beliau di Uruvela:
- Berhenti mengumpulkan dana makanan dan hidup hanya dari buah-buahan yang jatuh dari pohon di hutan Uruvela.
- Bertahan hidup hanya dengan buah yang jatuh dari pohon tempat di mana Beliau tinggal.
- Menjemur di bawah terik matahari pada siang hari dan pada waktu tengah malam
berendam di sungai dalam waktu yang lama. - Menggemeretakkan gigi dan mendecakkan lidah untuk menekan kesadaran-kesadaran
yang tidak baik dengan kesadaran yang baik. - Mengembangkan Appanka-Jhna, yaitu usaha terus menerus menahan napas yang
masuk dan keluar melalui mulut atau hidung sehingga udara tidak dapat masuk atau
keluar.
Hasil dari penyiksaan diri ini berdampak pada lemahnya fisik beliau, dan digambarkan waktu itu beliau sangat kurus sekali sehingga tulang belakang beliau bisa disentuh dari bagian perut beliau. Kulit beliau keriput dan tiada otot yang tampak, dan hal ini menyebabkan beliau dekat dengan kematian. Namun berkat buah latihan yang beliau lakukan dan tekad kuat yang beliau tanamkan agar menemukan resep penguat batin terhadap perubahan, beliau menyadari bahwa praktek esktrim ini tidak membuat batin beliau semakin kuat namun malah membuat beliau semakin lemah. Di sinilah akhirnya beliau memutuskan cara ekstrim ini dan meninggalkan kelima sahabat pertapa yang berjuang dalam penyiksaan diri, walau beliau dianggap gagal oleh para sahabat beliau tersebut, namun Pertapa Gautama tetap teguh dan yakin terhadap langkah beliau untuk keluar dari penyiksaan diri di Uruvela dan akhirnya beliau menuju Bodh Gaya, dan mengambil tempat di bawah pohon Bodhi untuk melanjutkan perenungan dan pelatihan batin beliau serta beliau pun menerima persembahan makanan dan minuman guna memulihkan tubuh beliau yang kurang asupan di masa penyiksaan diri.
Keluar dari penyiksaan diri bukan membuat Guru Agung Buddha berleha-leha beliau tetap berlatih sungguh-sungguh hingga pada waktunya beliau menemukan penembusan batin memahami dengan penuh dan di saat itulah beliau menghasilkan kebuddhaan beliau. Tepat di usia 35 tahun beliau telah mencapai kebuddhaan dan berikutnya memulai untuk membagikan hal yang beliau pelajari dan alami untuk kebahagiaan banyak makhluk baik itu manusia hingga dewa. Beliau mangkat setelah 45 tahun memberikan pembelajaran ke banyak makhluk namun hingga kini ajaran beliau masih dapat kita pelajari selama kurang lebih 2566 tahun.
Peristiwa penting yang diperingati di hari Waisak yaitu kelahiran pangeran Siddharta, pertama Siddharta/Gautama mencapai kebuddhaaan, serta mangkatnya Guru Agung Buddha tentu terus dapat kita ingat dan renungkan guna membangkitkan motivasi hidup kita agar senantiasa bertekad kuat untuk berjuang menghadapi perubahan hidup kita. Kembali kepada sabda Guru Agung Buddha sesaat sebelum beliau mangkat," Segala yang terkondisi akan hancur, berjuanglah dengan kesadaran penuh", memberikan sebuah nasehat yang mendalam lantaran hal ini menjadi bagian sabda beliau di detik-detik sebelum beliau mangkat layaknya sebuah kalimat wasiat yang wajib kita sebagai siswa beliau untuk dapat mengindahkannya dan menjadikannya sebagai pedoman kehidupan kita.
Mari kita kaji lebih mendalam terkait kalimat yang Guru Agung Buddha sampaikan di detik-detik sebelum beliau mangkat. "Segala yang berkondisi akan hancur,..." Segala yang berkondisi apakah yang beliau maksud? Apakah segala hal yang ada di dunia ini akan hancur? Sehingga artinya tiada satupun yang kekal di dunia ini? Beliau mengatakan segala yang berkondisi artinya yang memiliki kondisi/syarat/proses bersyaratlah yang akan hancur dan bukan segala yang tak berkondisi. Sesuatu yang dapat muncul karena satu atau beberapa sebab, maka akan bergerak menuju kehancuran. Mudahnya untuk memahami hal ini mari kita amati diri kita sendiri, lihatlah tubuh kita di pagi hari terasa segar, namun ketika menuju sore hari hingga malam hari tubuh ini mengalami lelah dan perlu istirahat. Ini salah satu hal yang berkondisi. Walau tubuh kita telah mendapat istirahat yang cukup bukan berarti tubuh kita akan awet dalam hitungan micro atau macro, tubuh kita lambat laun mengarah ke ketuaan hingga lapuk dan hancur dalam kematian. Demikianlah suatu hal yang berkondisi muncul, lalu berkembang dan akhirnya hancur. Begitu juga kesenangan yang muncul suatu saat akan hancur/lenyap, termasuk kesedihan yang muncul suatu saat akan hancur/lenyap. Dengan demikian tiada hal yang berkondisi yang bertahan, mereka akan lenyap/hancur.
Jika segala yang berkondisi akan hancur, apakah kita memandang hidup ini dengan hambar, tanpa sukacita, tanpa kegembiraan dan penuh pesimis? Tentu ini menjadi dampak yang salah pengertian terhadap makna yang disampaikan Guru Agung Buddha. Segala yang berkondisi akan hancur itu layaknya sebuah kepastian yang beliau sampaikan, bukan sebuah ancaman atau hal yang menakutkan. Beliau menyampaikan ajaran-Nya dengan kenyataan sebuah kepastian bukan hal-hal yang kira-kira atau hanya omongan saja. Untuk itu hal ini bukan membuat kita menjadi takut dan pesimis, namun membuat kita menjadi pribadi yang dewasa, yang melihat segala yang terjadi sesuai kenyataan, bukan hayalan. Kita boleh bergembira atas kenaikan pangkat, atas perolehan rumah baru, atas kecapaian cita-cita, atas kemenangan dalam perlombaaan, atas apapun yang kita peroleh dengan benar, namun perlu disadari bahwa kegembiraan itu sifatnya sementara dan akan lenyap. Untuk itu kegembiraan yang kita peroleh dengan usaha yang benar dan layak tanpa membuat orang lain terluka atau menderita dapat kita rayakan dengan penyadaran bahwa setelah ini kegembiraan ini akan lenyap karena itu kita perlu berupaya lagi untuk mencapai perolehan yang lebih baik lagi sampai akhir yang kita batasi sendiri.
Begitu juga ketika kesedihan atau penderitaan datang, kita boleh meratapnya, sedih, menangis, dan respon mental lainnya, namun setelah itu sadarilah ini pun akan berlalu, akan hancur dan lenyap. Ini hanya datang karena banyak sebab, dan iapun akan lenyap dan hancur karena banyak hal. Hadapi saja kemalangan yang terjadi bukan hanya meratapinya tapi mencari solusi agar memberi dampak baik untuk diri kita dan banyak orang. Kegagalan dalam pencapaian cita-cita misalnya boleh kita ratapi tapi hanya beberapa saat saja sebagai respon alami emosi kita, namun setelah itu kita perlu bangkit dan mencari sebab kegagalan dan mencari solusi agar kegagalan ini menjadi lenyap dan berbuah keberhasilan.
Sikap realistis yang Guru Agung Buddha ajarakan bukan semata-mata sikap optimis lawan dari sikap pesimis namun beliau ajarakan kita untuk realistik, menerima keadaan yang terjadi lalu kita punya ruang untuk memberikan sentuhan batin dan ketrampilan hidup kita untuk memperbaikinya atau meningkatkannya agar mencapai kebahagiaan yang kita harapkan. Suatu ketika penulis mengikuti retret meditasi 10 hari yang diampuh oleh S.N. Goenka seorang Burma, beliau memberikan sebuah cerita yang sangat mudah untuk memahami sikap realistik. Suatu ketika seorang ibu yang memiliki 3 anak laki-laki memberikan perintah yang sama terhadap ketiga anak laki-laki ini. "Anak-anakku, silakan kalian gunakan botol 2 liter ini untuk membeli minyak goreng curah di 3 warung yang berbeda", ketiga anak tersebut menjawab, "Baik Ibu". Ketiga anak ini pun pulang dan mengalami hal yang sama yaitu isi minyak goreng yang dibeli 2 liter tumpah 1 liter. Anak pertama menangis keras dan menyampaikan ke ibunya, "Ibu....(sambil menangis) maafkan aku ibu, aku tidak berhasil membawa pulang minyak goreng 2 liter, aku terjatuh di saat perjalanan pulang dan aku kehilangan 1 liter minyak goreng". Anak ini boleh kita juluki anak pesimis yang melihat kegagalan sebagai bagian dari hidupnya yaitu menumpahkan minyak 1 liter. Lalu anak kedua datang ke ibunya sambil berteriak gembira dan sangat senang dan berkata,"Ibu... (sambil tertawa bahagia) aku berhasil menyelamatkan 1 liter minyak goreng, aku sangat piawai mempertahankannya hingga sampai ke rumah, yes... aku bisa". Anak kedua ini dapat kita sebut sebagai anak optimis yang selalu melihat satu sisi kehidupan yang baik saja dan melupakan sisi yang tidak baik yang perlu dikoreksi. Selanjutnya anak ketiga pun pulang menghampiri ibunya dengan ketenangan dan berkata," Ibu.... (dengan tenang) Saya minta maaf atas tumpahnya minyak goreng 1 liter, dan saya akan menggantikannya dengan uang jajan yang aku peroleh, namun ibu aku berhasil menyelamatkan 1 liter minyak goreng, aku pun senang bisa menyelamatkan 1 liter ini". Anak ketiga inilah sosok anak realistik. Anak yang menerima perubahan yang buruk maupun yang baik. Ketika mengalami hal yang buruk, seorang yang realistik menerimanya dan mau memperbaikinya karena ini pun akan berubah, hal buruk ini akan berubah dan dengan pemahaman akan berubah inilah kita perlu mencari solusinya agar hal buruk ini berubah, dan ketika mengalami hal baik ini pun akan berubah namun kita dapat mengubahnya menjadi lebih baik dengan segala strategi dan daya upaya, inilah hal yang diharapkan oleh guru Agung Buddha agar kita terus berjuang dengan kesadaran penuh.
Hidup dengan penyadaran penuh dapat kita latih mulai dari memantapkan dahulu pemahaman kita tentang arti perubahan. Jika kita pengertian kita sudah memahami bahwa segala yang berkondisi akan hancur/berubah/lenyap maka kita mudah untuk mau berniat kuat, berjuang gigih untuk memperjuangkan menghadapi segala yang berkondisi ini. Segala yang berkondisi ini tidak serta merta lenyap atau hancur, namun memiliki proses yang memungkinkan kita untuk terlibat dalam proses tersebut. Di saat minyak goreng tumpah 1 liter, kita bisa meratapinya dalam-dalam sehingga kita menjadi sakit dikarenakan 1 liter minyak goreng tersebut, atau kita bisa teriak gembira karena berhasil menyelamatkan 1 liter lainnya. Namun Guru Agung Buddha mengarahkan kita untuk menerima tumpahnya 1 liter minyak goreng itu yang telah terjadi, dan mempelajarinya agar kedepan tidak terjadi lagi, serta mencari solusi untuk menggantikan minyak goreng 1 liter yang tumpah itu, bukan hanya meratap sedih saja.
Hidup realistik yang Guru Agung Buddha ajarkan agar kita dapat hidup berkesadaran penuh adalah salah satu jalan luhur yang dapat kita pelajari dan jadikan pedoman hidup. Menerima yang datang dan mengijinkan yang pergi merupakan sebuah ungkapan yang baik untuk menguatkan penyadaran diri. Buah dari penyadaran diri dengan hidup realistik dengan menerima yang datang, dan mengijinkan yang pergi adalah kedamaian hidup. Hidup kita mudah untuk berdamai, bukan menjadi damai tetapi berdamai dengan segala yang berkondisi yang hadir dalam hidup kita. Berdamailah dengan segala yang berkondisi yang hadir dapat dimulai dari praktik sehari-hari. Di saat cuaca panas, kita menerima panas hadir dan jika kita tidak tahan dengan panas segeralah mencari tempat teduh, atau menggunakan alat untuk membuat panas ini berkurang. Di saat hujan datang dan panas berlalu ijinkan ia berlalu dan ucapkan selamat datang terhadap hujan yang datang. Jika kita ingin tetap kering dalam hujan yang hadir, gunakanlah pelindung hujan dan pergilah untuk berteduh, dengan demikian baik panas dan hujan yang hadir dan pergi kita tetap berdamai dengan semua kondisi ini. Mereka datang bukan untuk membuat kita susah mereka datang sesuai dengan hukum alam yang terjadi, begitu juga keuntungan dan kesialan yang kita peroleh, semua ini adalah bagian dari kehidupan kita yang kita peroleh berkat kepiawaian atau kekurang piawaian kita dalam menjalankan kehidupan, juga berkat buah karma baik atau buah karma buruk yang pernah kita perbuat sebelum hari ini. Keyakinan tentang segala yang hadir dalam hidup kita adalah bagian dari diri kita itu penting kita miliki agar kita mudah berdamai dengan diri kita sendiri. Namun jika kita menyakini bahwa segala yang terjadi dalam hidup ini adalah karena kutukan atau keberuntungan semata yang diberi oleh pihak lain maka kita sulit mendamaikan diri kita, karena kita pasti menyalahkan pihak lain tersebut.
Menerima yang datang dan mengijinkan yang pergi memberikan kita sebuah semangat untuk mengembangkan batin yang mudah berdamai dengan kondisi yang terjadi. Berdamai itu sekali lagi bukan suatu sikap optimis atau pesimis tapi sikap yang realistik, melihat kedua sisi kehidupan bahkan dapat melihat berbagai sisi kehidupan. Teruslah berjuang para penggemar kebajikan, teruslah mengembangkan batin ini agar lebih bajik dan bijak serta mampu terus hidup lebih luhur. Semoga renungan Waisak ini memberi penguat untuk kehidupan kita, mohon maaf jika ada salah kata, akhir kata semoga semua makhluk berbahagia. Sadhu, Sadhu, Sadhu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H