Mohon tunggu...
Denox
Denox Mohon Tunggu... Lainnya - juru tulis serabutan

verba volant, scripta manent

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Bahwa Akting Bukan Sekedar Sandiwara

24 Januari 2025   08:00 Diperbarui: 24 Januari 2025   09:47 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: iStock

Menyaksikan sinetron sehari-hari di rumah adalah hobi masa kecil saya. Entah mengapa di usia SD sampai SMP, menonton sinetron adalah rutinitas yang tidak pernah bablas di malam hari menjelang Maghrib atau setuntas Isya. Sampai-sampai saya diocehi oleh ayah sendiri kalau saya lebih cocok ikut grup ibu-ibu sosialita dibandingkan bermain sepak bola. Saya tidak tahu mengapa saya begitu tertarik dengan intrik-intrik yang ditawarkan oleh sinetron. Selepas menonton, biasanya kami berdialog, antara saya dengan saudara-saudara saya. Kadang-kadang obrolan santai tadi bisa bereskalasi menjadi debat panjang hanya karena perbedaan pendapat soal ending di episode berikutnya. Saking kecanduannya dengan sinetron, tokoh-tokoh utama sampai yang cuma menjadi figuran berhasil dihapal di luar kepala, bahkan aktris dan aktor yang memerankannya pun ikut terhapalkan.

Di momen inilah saya mulai berpikir, mengapa tidak semua aktor-aktris sinetron itu bisa bermain di layar lebar? Hanya segelintir saja yang saya temukan pernah bermain baik di sinetron maupun film bioskop. Disini saya menyadari bahwa kemampuan akting-lah yang menjadi jurang pemisah antara aktor-aktris sinetron dengan aktor-aktris film. Aktor-aktris yang bermain di film bioskop biasanya lebih berpengalaman dan memiliki jam terbang yang cukup dibandingkan aktor-aktris sinetron. Akting, seperti yang saya tahu, adalah pura-pura menjadi orang lain. Tetapi, penafsiran saya soal akting berubah drastis semenjak menonton film "Lincoln" karya Steven Spielberg. Saya menonton film itu ketika masih duduk di bangku SMA. Ketika melihat tokoh utama, Abraham Lincoln, saya begitu terkejut sekaligus terkagum-kagum dengan pembawaan karakter dan akting yang dilakukan oleh sang aktor, Daniel Day-Lewis. Abraham Lincoln, seorang tokoh sejarah yang sudah wafat kurang lebih seratus tahun yang lalu, bisa dihidupkan kembali oleh Daniel Day-Lewis. Dia berhasil merekonstruksi tokoh itu baik secara visual, aksen, ekspresi emosi, hingga cara berjalan, dengan sangat akurat dan representatif. Apakah ini yang namanya akting?

Seketika, terjadi revolusi kognitif dalam kerangka berpikir saya. Film itu membuat saya lebih dewasa dalam menilai sebuah karya seni, terkhususnya akting. Dari sini saya berkesimpulan, bahwa akting sejatinya tidaklah sesederhana itu. Ia bukan hanya unjuk kemampuan berbohong dan menipu. Ia juga bukan hanya unjuk dalam mengekspresikan tangisan-tangisan buaya. Akting mempunyai definisi dan teknik. Ia adalah seni non-materiil yang melibatkan mimik wajah, gerak tubuh, dialog, dan intuisi sebagai bentuk ekspresi kreatif untuk memeragakan seorang tokoh dalam merealisasikan sebuah cerita. Tentu tidak adil jika kita membandingkan Daniel Day-Lewis dengan aktor-aktris sinetron, tetapi itu bisa menjadi benchmark penilaian kita terhadap kemampuan akting seorang aktor atau aktris. Karena mau tidak mau kita mesti mengakui bahwa Hollywood adalah kiblatnya industri perfilman dunia.

Melalui Daniel Day-Lewis, saya menyadari bahwa jam terbang yang cukup bukan jaminan seorang aktor atau aktris mempunyai kapabilitas yang mumpuni dalam berakting. Pengaruh dari genre film yang dibintangi itu juga turut mengasah kemampuan berakting. Seorang aktor-aktris yang tidak pernah lintas genre, meskipun jam terbangnya cukup, belum tentu kemampuan aktingnya berkembang. Dan ini terjadi pada aktor-aktris sinetron, yang mana mereka terlalu lama terkungkung di dalam zona nyaman. Beberapa kali saya perhatikan aktor-aktris film lokal, kemampuan aktingnya masih jauh dari cukup, bahkan dibawah cukup. Ini baru aktor-aktris film, bagaimana kalau sinetron? Mungkin ini agak kasar, tetapi aktingnya terlihat palsu, ada juga yang bagus (untuk ukuran sinetron) tetapi tidak banyak.

Berbicara soal akting tentu tidak boleh melupakan salah seorang tokoh yang pertama kali mempeloporinya, ialah Thespis. Ia adalah seorang penyair, penyanyi, dan dramatur Yunani di abad ke-6 SM. Inovasi besar yang dibawa olehnya telah merubah bagaimana seni teater ini dipertontonkan. Sebelum masyarakat Yunani mengenal drama, musik dan paduan suara adalah hiburan yang umum dinikmati. Ketika seni teater pertama kali dipentaskan, ia adalah sintesa dari musik dan paduan suara, yang penampilannya didasarkan pada pertunjukan koral. Di mana aktor hanya berperan sebagai bagian dari paduan suara yang menyanyi secara kolektif tanpa dialog antar tokoh. Kemudian, Thespis merubah paradigma ini dengan memperkenalkan aktor yang bisa berdialog secara langsung, membuka ruang untuk berbicara dan bertindak secara independen. Konsep inilah yang kemudian melahirkan seni teater modern, yang kini berevolusi menjadi teater digital atau kita mengenalnya sebagai film.

Akting sangat menentukan kesuksesan sebuah film, terutama film drama. Karena rangkaian plot dan adegan yang tersusun rapi dapat rusak setitik sebelangga jikalau tokoh yang dilakoni kurang bisa menjiwai. Momen ini ternyata pernah terjadi di salah satu trilogi legendaris. Meskipun tidak merusak keseluruhan cerita trilogi ini, klimaks adegan yang seharusnya didapatkan menjadi kurang terasa. Ya, film itu berjudul "The Godfather III". Banyak kritikus yang berpendapat kalau film yang satu ini tidak bisa memberikan sentuhan yang atraktif seperti dua film sebelumnya. Salah satu yang disoroti adalah kemampuan akting Sofia Coppola. Chemistry-nya yang kurang dengan Al Pacino membuat hubungan ayah-anak yang semestinya intim menjadi kaku dan impersonal. Kemudian, emotion delievering yang disampaikan juga terlihat mati rasa. Saya sebagai penonton benar-benar tidak bisa merasakan point of view dari karakter Mary Corleone, dan akhirnya, ending pun menjadi kurang menggigit.

Kasus di atas menjadi contoh bahwa akting adalah nyawa dari sebuah film. Tanpa aktor dan aktris, bagaimana film itu bisa dinikmati? Bahkan film kartun pun ada voice actor yang ikut menyumbang suara dibelakang layar. Dalam film, aktor dan aktris adalah instrumen utama untuk menyampaikan narasi dan dinamika emosi, maka dari itu kemampuan dalam berakting adalah elemen fundamental yang harus dikuasai oleh seorang bintang film.

Sebelum syuting, tentu aktor atau aktris harus mengenali karakter yang akan diperankannya terlebih dahulu. Mereka harus melakukan penelitian terhadap karakternya supaya ekspresi yang ditampilkan terlihat detail dan natural. Dan setiap karakter tentunya berbeda-beda, maka metode yang digunakan juga menyesuaikan dengan karakter yang akan diciptakan. Ini yang disebut dengan teknik dalam berakting. Adapun saya sendiri bukanlah orang yang pernah mempelajari akting secara teoritis, saya hanya pengamat sinema. Maka, apa yang akan saya jelaskan merupakan kutipan dari sumber-sumber yang lebih dipercaya. Dalam dunia perfilman, setidaknya ada 3 mazhab besar yang biasa digunakan, terutama di Hollywood. Yang pertama, Character Acting. Prioritas utama dari mazhab ini adalah kreativitas. Aktor yang menganut mazhab ini dituntut untuk mengandalkan kreativitasnya dalam menciptakan karakter. Ada dua teknik akting yang terkenal dari mazhab ini, yaitu Chekhov Technique dan Stella Adler Technique.
Chekhov Technique adalah metode akting yang diperkenalkan oleh Michael Chekhov, salah satu murid dari Konstantin Stanislavski, maestro akting Uni Soviet. Metode ini berfokus pada gerak fisik dan imajinasi, yang mana aktor menggunakan stock of knowledge yang dimilikinya untuk menciptakan karakter dengan mengambil beberapa referensi. Semakin liar imajinasinya, semakin eksentrik karakter yang dieksplorasi. Salah satu aktor yang pernah menggunakan teknik ini adalah Johnny Depp dalam film "Pirate of the Caribbean". Melansir dari wawancaranya dengan Rolling Stone, Depp menjelaskan bahwa ia menciptakan karakter Jack Sparrow melalui imajinasi yang dipikirkannya tentang bajak laut, mulai dari gaya jalan, postur tubuh, penampilan fisik, penggunaan aksen, dan ekspresi wajah. Depp juga mengungkapkan bahwa salah satu inspirasi utama dari karakter Jack Sparrow adalah gitaris Rolling Stones, Keith Richards.

Adapun Stella Adler Technique, seperti namanya adalah metode akting yang diperkenalkan oleh Stella Adler. Menurutnya, akting adalah seni yang membebaskan. Karena itulah seorang aktor tidak boleh terbelenggu oleh ingatan pribadinya ketika memproyeksikan diri pada suatu karakter. Imajinasi dalam membayangkan dunia karakter adalah kemampuan yang esensial. Selain imajinasi, interpretasi naskah adalah kunci dari teknik ini. Supaya karakter yang diciptakan terlihat autentik, aktor harus mempelajari profil dari karakter tersebut melalui interpretasi naskah. Ini juga menuntut aktor untuk merasakan bagaimana karakter mereka akan bertindak dan bereaksi dalam situasi yang diberikan. Salah satu aktor yang pernah menggunakan teknik ini adalah Robert De Niro dalam film "The King of Commedy". Dalam buku "The Films of Martin Scorsese: Gangsters, Greed, and Guilt", De Niro menjelaskan bahwa ia mempelajari profil dari beberapa komedian dan ciri khas yang dibawakannya, salah satunya Jerry Lewis, untuk menciptakan karakter Rupert Pupkin. Ia juga mengambil inspirasi dari kehidupan nyata beberapa penggemar fanatik selebritis yang menunjukkan perilaku ekstrem untuk mengaktualisasikan perannya.

Yang kedua, Method Acting. Aktor yang menganut mazhab ini menjadikan pengalaman personal dan fenomenologi karakter sebagai fokus utama. Berbeda dengan Character Acting, aktor metode dituntut untuk mengandalkan memori emosional mereka dalam menciptakan karakter. Salah satu teknik yang terkenal dari mazhab ini adalah Lee Starsberg Method. Dalam pandangannya, seorang aktor tidak hanya diharapkan untuk menghidupkan karakter secara fisik di atas panggung, tetapi juga secara spiritual. Menurutnya, akting adalah perjalanan mendalam menuju inti jiwa manusia, di mana aktor harus menyelami dan mengalami dunia batin karakter dengan sepenuh hati. Misalnya, ketika seorang aktor harus berperan sebagai tukang sampah, ia akan mempersiapkan karakter itu secara matang bahkan sejak jauh-jauh hari. Ia tidak segan untuk mengganti gaya berpakaiannya, menurunkan atau menaikkan berat badannya, hingga menjalankan rutinitas sehari-harinya dengan bekerja selayaknya tukang sampah. Seekstrim apapun yang dilakukannya, karakter yang diperankan harus tampil realistik. Itulah aktor metode.

Salah satu aktor yang menggunakan teknik ini adalah Eddie Redmayne dalam film "The Theory of Everything". Untuk mendalami perannya, ia mewawancarai dokter yang pernah merawat Stephen Hawking dan beberapa pasien yang menderita penyakit Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS). Ia juga menjalani pelatihan fisik yang intensif untuk meniru pergerakan tubuh Hawking. Bahkan, ia sampai ditegur oleh dokter karena metode yang digunakannya terlalu ekstrim, berpotensi membahayakan tulang punggungnya. Dan usaha itu tidak sia-sia. Aktingnya ditanggapi secara positif oleh Hawking sendiri. "Ketika melihat Eddie, seolah-olah saya sedang melihat cermin", kurang lebih itulah pujian yang diterimanya. Tidak hanya itu, Piala Oscar juga berhasil digenggam olehnya. Intinya, Method Acting adalah upaya dari seorang aktor untuk menghidupkan pengalaman emosional dan eksistensial karakter secara utuh, menyatukan tubuh dan jiwanya dalam setiap detik penampilan. Oleh karena itu, tidak semua aktor bisa menggunakan teknik ini secara konsisten, mayoritas hanya aktor-aktris kelas Oscar saja yang menguasainya.

Yang ketiga, Classic Acting. Atribut utama dari mazhab ini adalah kecakapan dalam berdialog dan improvisasi. Karena itu, aktor yang menganut mazhab ini dituntut untuk menggunakan intuisinya dalam membangun koneksi antar karakter. Adapun mazhab ini adalah mazhab akting tertua dalam industri perfilman. Konon akarnya, ia berasal dari pementasan drama Shakespeare di Inggris sekitar akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17. Karena berawal dari teater, teknik yang digunakan dalam mazhab ini tergolong kaku. Yang mana ketika aktor tampil di depan layar, dialog dan gerak-gerik yang disampaikan cenderung sama dengan yang tertulis di atas naskah. Ini yang kita lihat pada aktor-aktris Hollywood di era klasik, aktingnya masih terlihat baku.

Sampai setelah perilisan film "On the Waterfront" dan "A Streetcar Named Desire", sang bintang utama, Marlon Brando, mengejutkan publik Hollywood dengan penampilan aktingnya yang revolusioner. Itu adalah penampilan akting yang belum pernah dilihat sebelumnya. Brando berani melanggar norma-norma akting klasik dengan memberikan sedikit ruang untuk improvisasi dan penyimpangan dari naskah. Gaya akting inilah yang kemudian diadopsi oleh aktor-aktris di era New Hollywood.

Sebenarnya jauh sebelum Brando dikenal sebagai aktor revolusioner, Stanford Meisner, salah satu murid dari Konstantin Stanislavski, sudah memperkenalkan terlebih dahulu teknik akting yang lebih modern. Teknik itu disebut Meisner Technique. Menurutnya, akting adalah seni untuk menjalani hidup dengan jujur. Aktor yang baik adalah aktor yang bisa merespon adegan per adegan secara organik, tanpa mengikuti pola yang sesuai dengan skenario yang telah ditulis. Namun, teknik ini tidak begitu diperhatikan di era Classic Hollywood, karena dunia perfilman di saat itu masih didominasi oleh norma-norma klasik teater. Dan performa Brando di film-filmnya menyumbang kontribusi terhadap eksistensi teknik ini. Brando sendiri bukanlah aktor yang akrab dengan Meisner Technique, justru ia adalah salah satu maestro aktor metode. Tetapi, apa yang dilakukannya di masa itu membuat orang-orang meninjau ulang standar akting yang semestinya. Dapat dikatakan, bahwa secara tidak langsung, performa akting Brando turut berpengaruh terhadap perkembangan Meisner Technique.

Salah satu aktor yang menggunakan teknik ini adalah Matthew McConaughey dalam film "The Wolf of Wall Street". Meskipun McConaughey tidak pernah secara eksplisit menjelaskan teknik apa yang digunakannya, jika dianalisis, improvisasi yang dilakukannya di hadapan Leonardo DiCaprio di meja makan pada awal-awal scene adalah indikasi penggunaan teknik ini secara tidak langsung. Seperti yang telah dijelaskan, Meisner Technique berfokus pada improvisasi dan reaksi spontan terhadap lawan main tanpa memikirkan terlebih dahulu apa yang akan mereka lakukan. Dan ini tampaknya diterapkan oleh McConaughey dalam adegan tersebut.

Itulah teknik-teknik akting yang umum digunakan dalam dunia perfilman. Adapun dalam praktiknya, nyaris tidak ada aktor ataupun aktris yang secara ketat atau tekstual mengikuti satu mazhab akting tertentu. Mereka biasanya menggabungkan berbagai teknik untuk menyempurnakan karakternya. Dan teknik-teknik itu juga menyesuaikan dengan genre film dan karakter yang diperankan. Itulah akting yang sebenarnya. Bahwa ia bukan hanya seni berpura-pura, bukan juga kontes pamer tampang, melainkan seni yang kompleks dan mendalam. Bahwa akting bukan sekedar sandiwara.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun