Mohon tunggu...
Denox
Denox Mohon Tunggu... Lainnya - juru tulis serabutan

verba volant, scripta manent

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Al-Azhar, Pusat Intelektual di antara Gejolak Doktrin

23 Januari 2025   12:26 Diperbarui: 23 Januari 2025   16:58 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ribuan tahun silam, tepatnya di masa pemerintahan Fatimiyah al-Mu'izz (932–975 M), Mesir merupakan destinasi baru bagi para pencari ilmu. Adalah Dinasti Fatimiyah, sebuah dinasti yang berdiri di bawah panji Syi’ah Ismailiyah. Salah satu monumen penting yang lahir dari masa ini adalah Al-Azhar. Namun, siapa sangka, lembaga yang kini dikenal sebagai pusat pemikiran Ahlusunah wal Jama’ah ini, dulunya adalah pusat penyiaran ideologi Syi’ah?  

Ketika Al-Azhar Memeluk Syi'ah
Cerita bermula saat Jauhar al-Siqili, panglima perang kepercayaan Dinasti Fatimiyah, berhasil menaklukkan Mesir pada tahun 969 M. Tak cukup puas dengan kemenangannya, ia mendirikan sebuah kota baru bernama al-Qahirah (Kairo), yang akan menjadi ibu kota dinasti ini. Di tengah-tengah al-Qahirah, berdirilah sebuah komplek masjid megah bernama Masjid Al-Azhar, yang konon namanya dikutip dari putri bungsu Nabi Muhammad, Fatimah, yang bergelar Az-Zahra’.

Adapun sebelumnya, Mesir berada di bawah kendali Daulah al-Akhsyidiyah, sebuah dinasti yang berafiliasi dengan aliran Sunni. Daulah al-Akhsyidiyah memerintah Mesir atas mandat kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad. Kendati demikian, hubungan antara keduanya perlahan merenggang akibat ketidakpuasan sebagian politisi dan masyarakat Mesir terhadap kebijakan politik Abbasiyah. Ketika Baghdad memutuskan untuk mengangkat Muhammad Raiq sebagai penguasa Mesir, beberapa pejabat Daulah al-Akhsyidiyah menolak keputusan tersebut. Mereka-mereka yang menolak akhirnya menyatakan diri keluar dari pemerintahan dan diam-diam merajut loyalitas dengan Fatimiyah di Tunisia.

Al-Azhar sendiri merupakan upaya Fatimiyah untuk menyaingi lembaga pendidikan Bait Al-Hikmah yang didirikan Abbasiyah di Baghdad. Bahkan, Fatimiyah tak tanggung-tanggung untuk mendanai langsung para ulama yang diangkat sebagai pengajar di Al-Azhar. Dalam perkembangannya, tiga kelas dibuka untuk masyarakat umum, yakni kelas Al-Qur’an dan tafsir, kelas akidah dan hukum Islam, serta kelas formal yang mengajarkan ilmu-ilmu sekuler. Sebanyak 35 ulama pilihan dikumpulkan untuk menyelenggarakan halaqah keilmuan. Seiring waktu, aula Masjid Al-Azhar dipadati jamaah. Saking ramainya, sejarah mencatat ada insiden puluhan orang meninggal karena berdesakan di majelis ilmu Syi'ah yang diadakan Muhammad bin Nu’man.

Perpustakaan besar mereka, Dar al-Ulum, menyimpan lebih dari 1,6 juta buku dan ribuan manuskrip Al-Qur’an. Selain itu, perpustakaan juga melakukan penerjemahan buku-buku berbahasa asing ke dalam bahasa Arab. Pun kenyamanan pengunjung tidak luput diperhatikan, terlihat dari keberadaan tikar khusus musim panas, permadani musim dingin, juga air minum yang ditawarkan cuma-cuma.

Namun, seiring waktu, langkah-langkah Fatimiyah juga menerima resistensi. Beberapa kebijakan mereka dianggap berbahaya bagi eksistensi Sunni yang sudah mengakar lama di Mesir. Perubahan lafaz azan dari “hayya ‘alal falah” menjadi “hayya ‘ala khairil amal”, penghapusan shalat tarawih, hingga perayaan Ghadir Khum sebagai hari besar, semuanya menjadi bukti. Tak ayal, era Fatimiyah di Mesir menjelma menjadi kekuatan besar yang hampir menenggelamkan Sunni, menjadikan Al-Azhar episentrum segala macam aktivitas keilmuan bercorak Syi’ah.

Perubahan Ideologi
Namun, roda sejarah berputar, dan kuasa Fatimiyah tak selamanya abadi. Datanglah Shalahuddin al-Ayyubi, yang kemudian menggulingkan Dinasti Fatimiyah pada 1171 M, mengawali berdirinya Dinasti Ayyubiyyah. Bersamaan dengan itu, Al-Azhar pun mengalami perubahan besar. Shalahuddin yang merupakan seorang Sunni garis keras, tak ingin Al-Azhar terus menjadi corong Syi’ah. Langkah pertamanya adalah meniadakan shalat Jum'at di Masjid Al-Azhar. Ini karena Shalahuddin berpegang pada fatwa qadhiya yang menetapkan bahwa tidak boleh mendirikan dua shalat Jum'at di dua masjid dalam satu kota, sehingga shalat Jum'at dipindahkan di Masjid Al-Hakim bi Amrillah (sekarang adalah Masjid Al-Anwar yang terletak di El-Gamaliya, Kairo, Mesir).

Kemudian, Shalahuddin memusnahkan ribuan sampai jutaan buku yang mengandung ajaran Syi'ah, dengan membakar sebagian besar koleksi perpustakaan istana dan membuang sisanya ke lereng Gunung Muqattam dan Sungai Nil. Namun, beberapa sumber menyatakan bahwa Shalahuddin justru menjual sebagian manuskrip dari gudang istana dan mendirikan pasar di Qasr Al-Aini untuk menjual buku-buku tersebut, yang artinya tidak semua buku dimusnahkan.  

Transformasi ideologi Al-Azhar dari Syi'ah ke Sunni adalah salah satu babak paling dramatis dalam sejarah Islam. Upaya Shalahuddin untuk mengembalikan Al-Azhar ke pangkuan Sunni membuahkan pengaruh penting dalam khazanah Islam. Meskipun Syi’ah akhirnya tergeser oleh Sunni, denyut intelektual Al-Azhar sebagai pusat pembelajaran tetap hidup. Di masa Dinasti Mamalik, khususnya ketika Raja Al-Dzahir Ruknuddin Baibars al-Bunduqdari berkuasa, Masjid Al-Azhar mulai digunakan kembali sebagai tempat menunaikan shalat Jum'at serta menjadi pusat pengajaran berbagai macam ilmu.

Ada dua faktor besar yang menggerakkan perubahan itu. Yang pertama, pasukan Tartar yang menginvasi Khilafah Abbasiyah di Baghdad, memaksa banyak ulama dari Timur untuk hijrah ke Mesir. Kemudian, di Andalusia, umat Islam juga semakin terisolasi oleh Perang Salib yang dikibarkan kerajaan-kerajaan Eropa. Banyak ulama dari Barat pun berbondong-bondong hijrah ke Timur, dan Kairo menjadi tujuan utama. Dari situlah Al-Azhar kembali dipenuhi oleh para pencari ilmu, tak hanya dalam bidang agama dan bahasa, tapi juga ilmu-ilmu sekuler seperti matematika, falak, kimia, kedokteran, logika, sejarah, dan sosial.

Zaman berganti, dan ketika Turki Utsmani berkuasa, perjalanan intelektual Al-Azhar sempat mengalami kemunduran. Ilmu-ilmu eksakta pun tersingkir, hanya yang berkaitan dengan perhitungan faraid dan penentuan waktu shalat yang dipelajari. Ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah Utsmani yang cenderung memusatkan perhatian pada bidang militer dan ekspansi wilayah. Selain itu, pandangan konservatif terhadap pendidikan agama membuat pemerintah Utsmani mengabaikan ilmu-ilmu lain di luar agama.

Sampai akhirnya, pada tahun 1869, datanglah Jamaluddin al-Afghani yang di tengah pengajarannya, kembali merutinkan pembelajaran ilmu-ilmu sekuler. Tak hanya mereformasi Al-Azhar dari dalam, Jamaluddin juga mendirikan madrasah Darul-Ulum pada 1871. Sejak itu, Al-Azhar semakin berkembang menjadi universitas besar yang mengajarkan berbagai disiplin ilmu, dari agama hingga sains.

Upaya Merangkul Keberagaman  
Meski kini identik dengan Sunni, Al-Azhar tak pernah menutup keran-keran dialektika dari aliran-aliran lain. Pada era Syaikh Mahmud Syaltut (1893–1963), wacana pendekatan antar-mazhab (taqrib al-madhahib) sempat mencuat. Ia mengambil langkah berani dengan mengeluarkan fatwa yang mengakui mazhab Syi’ah Ja’fari sebagai mazhab yang sah dalam Islam, sejajar dengan mazhab-mazhab Sunni lainnya. Meskipun pada akhirnya, di masa Grand Syaikh Al-Azhar, Muhammad Sayyid Thanthawi, kerjasama antara Al-Azhar, Iran, dan Hizbullah sempat dihentikan. Beliau juga melarang mahasiswa dan akademisi Al-Azhar untuk meneliti semua buku yang ditulis oleh ulama-ulama Syi'ah.

Perdebatan seperti ini memang tak jarang memicu kontroversi, misalnya, ketika Grand Syaikh Al-Azhar, Syaikh Ahmad Muhammad ath-Thayyib, berkunjung ke Indonesia pada 2016. Beliau sempat mengeluarkan pernyataan kontroversial bahwa Sunni dan Syi'ah adalah saudara. Pernyataan ini menuai respon negatif dari masyarakat, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan tegas menolak pandangan itu.

Namun, di balik pernyataannya itu, jelas Syi'ah tidak bisa digeneralisasi. Memang ada segelintir pengikut Syi'ah yang mencela tokoh-tokoh ahlusunah, tapi menurutnya, hal itu berakar dari pengkultusan Ali bin Abi Thalib. Kitab-kitab Syi'ah klasik pun banyak menunjukkan penghormatan pada para sahabat. Baginya, perbedaan Sunni-Syi'ah bukan soal iman atau kafir, melainkan isu politik dan kepemimpinan.

Terkait dinamika doktrin Sunni-Syi'ah yang penuh gejolak, Al-Azhar juga mengalami pasang surut, terombang-ambing antara pro dan kontra. Namun, keberadaannya menjadi bukti bahwa perbedaan mazhab tidak semestinya dilihat sebagai jurang pemisah, melainkan sebagai kekayaan intelektual peradaban Islam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun