Mohon tunggu...
Tirta Bayu
Tirta Bayu Mohon Tunggu... -

Menuangkan isi hati, pemikiran, dan ide...adalah sangat indah

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Korupsi, Bunuh dari Embrionya!

25 September 2012   02:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:46 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap Senin pagi, perusahaan yang merupakan milik pemerintah provinsi ini menetapkan aturan supaya mengadakan rapat koordinasi untuk membicarakan evaluasi pekerjaan pada minggu sebelumnya dan rencana kerja untuk seminggu ke depan. Terus terang saja, sebagian besar karyawan tidak merasakan manfaat rapat ini karena dimpimpin oleh seorang General Manager wanita yang arogan, berusia hampir 40 tahun, dan selalunya membahas tentang “keluhan” pribadinya serta tidak segan-segan menghadang karyawan yang dianggap “tidak manut” kepadanya.

Seperti hari ini. Divisi HRD dan pengadaaan memberi masukan kepada beliau agar tidak semena-mena mengikuti prosedur jika ingin membeli aset perusahaan dan harus sepengetahuan divisi pengadaan. Lalu apa jawabannya? “Ya suka-suka saya pak” lalu dia menebarkan muka arogannya untuk kesekian kalinya pada kami dan melanjutkan ancaman “Kalau diantara kalian ada yang tidak suka dengan saya, silakan melapor ke atasan saya, tapi saya yakin saya masih dibutuhkan disini”. Saya melihat reaksi karyawan lainnya lebih kurang sama dengan saya, antara menahan jengkel sekaligus muntah. Wanita satu ini sadar apa tidak ya, bahwa ucapannya sudah menumbuhkan embrio tindakan “Korupsi”?

Kejadian di atas adalah sepenggal alasan mengapa korupsi bisa menjamur. Saya berpendapat bahwa tindakan korupsi adalah salah satu “bahaya laten” bagi negara ini. Artinya, efek dari tindakan korupsi tidak akan langsung terasa dalam waktu singkat, namun pada satu saat tertentu mengakibatkan kerusakan yang luar biasa hebatnya. Korupsi sudah menjadi budaya, bahkan sudah terjadi pembenaran disana sini, akhirnya korupsi tidak bisa dideteksi sejak awal. Analoginya seperti penyakit kanker yang rata-rata disadari “efeknya” setelah memasuki stadium lanjut. Nah, demikian hal nya yang terjadi dengan kasus korupsi.

Anehnya …… orang-orang terpelajar dengan sederetan gelar dan prestasi serta mengerti tentang agama, malah turut serta menyumbangkan perilaku yang merusak moral dan finansial. Seperti penggalan kejadian di atas, kekuasaan dan wewenang sering disalahgunakan untuk memenuhi tujuan tertentu baik bagi pribadi itu sendiri maupun orang-orang yang ada disekitarnya.Pada saat itu mereka lupa dengan gelar, prestasi, dan harapan orang terhadap mereka. Bayangkan, ketika kalimat “suka suka saya” itu dianggap suatu kewajaran untuk melakukan hal sesuka hati hanya karena mereka merasa “berhak” untuk melakukannya, wajarlah buntutnya terjadi penyimpangan.

Misalnya : si A adalah seorang Top Manager di suatu instansi, dan karena jabatannya, maka dia merasa berhak atas mobil dinas, lalu langsung menghubungi showroom hari itu juga dan melakukan pemesanan melalui telepon. 3 hari kemudian mobil dinas yang “diinginkan” sudah terparkir di halaman gedung kantor. Kendaraan dinas itu hadir tanpa melalui prosedur pengadaan barang dan jasa. Kalimat “suka-suka saya” berlaku disini, bayangkan jika kebijakan lainnya pun diberlakukan “suka-suka” juga. Jika kita klasifikasikan, mungkin tindakan semacam ini masih tergolong kelas teri, tetapi bayangkan jika yang melakukan hal seperti ini (dalam satu perusahaan pemerintah ataupun instansi) lebih dari satu orang dan dilakukan berkali-kali ……akhirnya menjadi kelas kakap juga.

Meskipun pemerintahsudah membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menangani kasus korupsi, tetapi tanpa dukungan dari berbagai pihak, maka siap-siaplah menerima kenyataan bahwa Indonesia tanpa korupsi hanya tinggal mimpi. Dukungan yang Saya maksudkan disini adalah kesadaran untuk menolak dan tidak melakukan tindakan korupsi, dan tidak takut untuk melaporkan apabila menyaksikan terjadinya penyelewengan kepada pihak yang berwenang. Untuk saat ini KPK lebih mengutamakan pemberantasan berbagai kasus kelas kakap yang menyangkut kerugian negara minimal sebesar Rp 1 miliar. Itu pun ternyata lumayan berat. Lalu bagaimana dengan praktek korupsi yang masih tergolong “teri? Siapa yang akan menangani? Tindakan korupsi skala kecil dan menengah ini ratusan kali lebih banyak dari kasus besar, dan yang pasti probabilitas untuk menjadi kelas kakap itu sangat besar.

Oleh karena itu, kita perlu berbicara soal sanksi. Bagi koruptor kelas kakap, sudah seharusnya dijatuhi hukuman berat, dimulai dari pengasingan dan dimiskinkan (termasuk keluarga-karena rasanya tidak mungkin mereka tidak mengetahui dan tidak menikmati),lalu berakhir dengan hukuman mati. Sementara untuk tindakan korupsi pada skala kecil, mereka layak diberi sanksi PHK dan penjara.

Terlepas dari itu semua, pencegahan terjadinya tindakan penyelewengan adalah lebih bijaksana. Bunuh semua peluang tumbuhnya embrio korupsi. Benahi sistem, perketat pengawasan, dan timbulkan rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. Bagi para pemimpin, mulai dari kepala keluarga hingga pimpinan besar di berbagai instansi pemerintahan (maupun swasta), sadari bahwa apa yang dilakukan dan diputuskan akan ada konsekuensinya dunia akhirat.

Bagi para penegak keadilan, hendaknya terpanggil hati nurani mereka untuk memberikan hukuman yang pantas terhadap para perusak sendi bangsa ini dan memastikan hukuman itu memang dijalankan, sehingga kelak para pemimpin dan tiap pribadi tidak akan berani mengeluarkan kata “suka-suka saya” untuk setiap hal yang akan dilakukannya. Karena mereka sadar, perbuatan penyelewengan adalah kezaliman terhadap diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. Jangan rusakkan masa depan generasi muda dan anak-anak kita, hanya demi kekuasaan, materi, dan kesenangan sesaat. Namun akhirnya harus berakhir di hotel prodeo dan hujatan tak berkesudahan.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun