Mohon tunggu...
Arya PrimatamaEffendi
Arya PrimatamaEffendi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa semester 7 jurusan Hubungan Internasional di Fisip UIN Jakarta.

Saya merupakan seorang mahasiswa jurusan Ilmu Hubungan Internasional semester 7 di Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik

Laut China Selatan: Klaim Wilayah Berujung Perselisihan

31 Mei 2024   13:51 Diperbarui: 31 Mei 2024   14:00 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Laut China Selatan merupakan wilayah yang terletak pada kepulauan Natuna provinsi Kepulauan Riau, wilayah ini terdapat sangat banyak kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan sebagai salah satu aset dari negara yang dapat mendongkrak pendapatan negara namun hal ini tentunya memiliki pandangan lain dari berbagai negara di sekitar wilayah tersebut, negara yang berdekatan dari wilayah laut china selatan. Wilayah ini sangat strategis posisi geografisnya karena berdekatan dengan beberapa negara, sehingga hal ini rawan menimbulkan gesekan antara satu sama lain.

Klaim ekspansif Tiongkok atas Laut China Selatan, yang didasarkan pada peta "sembilan garis putus-putus" atau nine dash line, telah menimbulkan perselisihan dan ketegangan di kawasan Asia Tenggara. Peta ini mencakupi hampir 90% wilayah laut, tumpang tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) negara-negara tetangga seperti Indonesia, Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei. Hal ini memicu kekhawatiran terkait pelanggaran kedaulatan maritim dan akses terhadap sumber daya laut bagi negara-negara tersebut.

Tiongkok mendasarkan klaimnya atas Laut China Selatan pada dua pilar utama: sejarah panjang perdagangan dan eksplorasi maritim, serta upaya untuk memperkuat pengaruh dan kontrol strategis di kawasan. Namun, klaim ini menuai penolakan dari banyak negara dan dinyatakan tidak memiliki dasar hukum yang kuat oleh Pengadilan Arbitrase Permanen (PCA) di Den Haag pada tahun 2016. Putusan PCA menegaskan bahwa klaim hak-hak historis Tiongkok di wilayah tersebut tidak sesuai dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS).

Perselisihan Laut China Selatan berdampak luas, mengguncang stabilitas regional dan kedaulatan negara-negara di kawasan. Negara-negara seperti Filipina dan Vietnam menentang klaim Tiongkok secara terbuka, bahkan terlibat dalam insiden militer dan diplomatik di wilayah tersebut. Indonesia, meskipun tidak terikat langsung dengan klaim yang tumpang tindih, dihadapkan pada ancaman terhadap kedaulatannya di wilayah perairan Natuna Utara, yang kerap menjadi lokasi pertemuan dengan kapal-kapal Tiongkok. Sektor perdagangan juga berpengaruh terhadap konflik ini dikarenakan Laut China Selatan merupakan jalur penting bagi perdagangan internasional dengan nilai perdagangan yang mencapai triliunan dolar setiap tahunnya dan dipastikan akan terus bertambah lagi, konflik yang terjadi di wilayah ini sangat dapat menggangu arus perdagangan serta berpotensi mengancam keamanan maritim.

Negara-negara ASEAN berupaya untuk merumuskan Kode Etik Laut China Selatan yang diharapkan dapat membuat suatu batasan perilaku negara-negara yang memiliki kepentingan serta mencegah terjadi gesekan yang akan menimbulkan konflik bersenjata, namun hal ini sangatlah rumit dikarenakan adanya proses negosisasi yang sangat berlarut dan kepentingan nasional yang berbeda dari setiap negara yang mengakibatkan proses ini mengalami tantangan yang begitu kompleksnya.

Berpegang teguh pada prinsip politik luar negeri bebas dan aktif, Indonesia mengambil peran diplomatik penting dalam menengahi sengketa Laut China Selatan. Melalui berbagai forum regional dan internasional, Indonesia mendorong penyelesaian konflik secara damai dan berlandaskan hukum internasional. Selain itu juga karena didorong oleh peningkatan ketegangan di Laut China Selatan, Indonesia merespon dengan memperkuat pertahanan maritimnya melalui modernisasi angkatan laut. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Indonesia telah mengalokasikan dana yang lebih besar untuk pengadaan kapal perang, kapal selam, dan pesawat pengintai maritim. Menanggapi meningkatnya ancaman di Laut China Selatan, Indonesia secara aktif meningkatkan frekuensi dan intensitas latihan militernya. Latihan-latihan ini melibatkan berbagai matra angkatan, termasuk angkatan laut, angkatan udara, dan pasukan darat yang beroperasi di wilayah pesisir. Guna memperkuat pertahanan yang berada pada wilayah perbatasan yaitu Laut China Selatan, Indonesia juga membangun infrastruktur militer yang berada pada Kepulauan Natuna dan sekitarnya, pembangunan pangkalan militer  seperti fasilitas radar dan pusat pemetaan maritim merupakan bagian dari strategi untuk semakin memperkuat hadirnya militer di wilayah yang rawan klaim dari Tiongkok. Hal ini memiliki tujuan untuk menunjukan sisi kedaulatan indonesia atas wilayahnya. Meskipun banyak langkah serta percobaan yang sudah diambil, Indonesia masih harus menghadapi tantangan yang selalu mengikuti demi menjaga keamanan wilayah maritimnya, luasnya perairan Indonesia sangat memerlukan strategi dan koordinasi antar pihak yang berpengaruh dan harus efektif dari berbagai instansi yang berwenang seperti TNI AL, Bakamla serta Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun