Pada 2017, pendudukan Israel atas Palestina akan berusia 50 tahun. Fakta suram ini ditegaskan dalam resolusi Majelis Umum (MU) PBB nomor 71/20 yang disahkan pada akhir November lalu.
Banyak inisiatif telah dilakukan untuk mengakhiri pendudukan Israel. Pada 2002 misalnya, dibentuk Kelompok Quartet, beranggotakan Amerika Serikat (AS), Rusia, PBB, dan Uni Eropa, untuk membantu proses perdamaian. Dewan Keamanan (DK) PBB, yang bertanggung jawab atas perdamaian internasional, telah mengesahkan 90 resolusi mengenai Palestina dan pendudukan Israel. Hasilnya? Tidak ada. Hingga kini Israel masih bercokol di Palestina.
Sulit membayangkan DK PBB akan menjatuhkan sanksi kepada Israel, mengingat AS adalah salah satu anggota tetapnya. Menurut arsip PBB, AS telah menggunakan hak veto sebanyak 42 kali untuk mencegah DK mengesahkan resolusi yang merugikan Israel.
Demi mewujudkan supremasi hukum internasional dan stabilitas global, perlu ada terobosan dalam penyelesaian konflik Palestina-Israel. Satu terobosan yang layak dipertimbangkan adalah memperkuat peran aktor non-pemerintah.
Dekati masyarakat
Selain berbagai inisiatif di atas, sejumlah perundingan telah dilakukan untuk mendorong perdamaian, seperti proses Oslo, Madrid, dan perundingan yang difasilitasi AS pada 2013-2014. Namun demikian, proses tersebut lebih berkarakteristik diplomasi track-1, yang hampir selalu hanya melibatkan kalangan pemerintah sehingga sulit diterapkan dalam konflik Palestina-Israel.
Di antara rakyat Palestina dan Israel terdapat ketidakpercayaan yang dalam. Jajak pendapat yang dilakukan Israel Democracy Institutedan Palestinian Center for Policy and Survey Research pada Agustus 2016 mengungkapkan bahwa 89% warga Palestina tidak percaya kepada Yahudi Israel sementara 68% warga Yahudi Israel memiliki sikap yang sama terhadap warga Palestina. Lebih jauh, sekitar 65% warga Israel menyatakan takut terhadap Palestina sementara 45% warga Palestina takut terhadap Israel.
Kekerasan yang terus terjadi di antara warga Palestina dengan warga dan aparat Israel semakin memperkuat rasa bermusuhan.
Sikap di atas tidak dapat mendukung perundingan. Politisi Israel dan pejabat Palestina tidak akan mendapat insentif politik apapun jika mereka menampilkan sikap yang dianggap mendukung pihak lawan.
Untuk menciptakan perdamaian, perlu pendekatan yang sifatnya menyeluruh, yang menjangkau dan melibatkan pemerintah maupun masyarakat. Di sinilah peran aktor non-pemerintah harus dikedepankan.
Potensi aktor non-pemerintah di dalam diplomasi telah diakui banyak kalangan. Dr. Louise Diamond dan Dubes John McDonald dahulu memperkenalkan konsep diplomasi multi-track, yang menuntut adanya sinergi antara pemerintah dan non-pemerintah, seperti LSM, akademisi, media, agamawan, usahawan, atau orang-perorangan.
Dalam konflik Palestina-Israel, aktor non-pemerintah harus dapat memperkuat semangat perdamaian di kalangan masyarakat sehingga akhirnya dapat mempengaruhi proses penyusunan kebijakan. Perlu diingat, kesepakatan Oslo, yang hasil utamanya adalah saling pengakuan antara PLO dan Israel, diawali dengan dialog yang melibatkan akademisi Palestina, Israel, dan Norwegia.
Banyak aktor non-pemerintah yang aktif menyebarkan pesan perdamaian, seperti Just Vision dan Active Stills (media), Combatants for Peacedan Breaking the Silence(anggotanya adalah para mantan tentara Israel dan pejuang Palestina), Physicians for Human Rights(profesional), Wasatia Movement(akademisi), dan B’Tselem (aktivis HAM).
Satu LSM di AS misalnya, Seeds of Peace, memiliki kegiatan yang unik, yaitu penyelenggaraan kamp musim panas bagi generasi muda Palestina dan Israel. Di kamp ini para peserta tidak hanya “dipaksa” untuk bergaul tetapi juga untuk saling mendengar berbagai pandangan tentang konflik Palestina-Israel. Program ini dapat membantu membentuk generasi masa depan yang mendukung perdamaian.
Namun demikian, nampaknya masih sulit bagi aktor non-pemerintah untuk mempengaruhi pendapat publik. Selain karena terus terjadinya kekerasan, pengaruh kelompok garis keras juga sangat kuat.
Oleh karena itu, perlu memperkuat sinergi di antara aktor non-pemerintah agar penyebaran pesan perdamaian dapat lebih terarah. Upaya ini dapat dilakukan berbagai pihak, khususnya PBB dan Palestina sendiri.
PBB memiliki banyak kegiatan yang berkaitan dengan Palestina. UNESCO, misalnya, pernah menyelenggarakan program ‘Civil Societies in Dialogue’, yaitu dialog antara LSM Israel dan LSM Palestina. Komite Palestina MU PBB bahkan mengembangkan jejaring kerja dengan lebih dari 1000 organisasi non-pemerintah dari berbagai penjuru dunia. Besar sekali potensinya bagi perdamaian jika kekuatan ini dapat disinergikan.
Palestina juga perlu mengedepankan pendekatan ke aktor non-pemerintah di Israel, AS, Rusia, dan negara-negara kunci lainnya. Pendekatan ini bernilai strategis karena potensinya untuk mempengaruhi opini publik setempat, yang akhirnya diharapkan mempengaruhi proses penyusunan kebijakan.
Pendekatan kepada aktor non-pemerintah juga memiliki nilai tambah bagi diplomasi Palestina, yaitu membentuk citra Palestina sebagai pihak yang mengedepankan upaya non-kekerasan. Banyak pihak di negara Barat, khususnya media, yang pro-Israel dan menganggap Palestina pro-terorisme sehingga perlu strategi tersendiri untuk menghadapinya. Dengan besarnya pengaruh media dalam pembentukan opini publik, perlu disadari bahwa aksi-aksi kekerasan, apapun alasannya, dapat kontra-produktif bagi diplomasi.
Aktor non-pemerintah Indonesia juga perlu mengambil peran dalam menyebarkan pesan perdamaian, melengkapi bantuan kemanusiaan yang sudah rutin diberikan kepada Palestina. Para aktor nasional ini dapat menjangkau aktor di Palestina dan Israel, dan mengangkat identitas Indonesia sebagai negara multikultur dan menjaga kerukunan berkat kuatnya semangat saling menghormati. Hal ini dapat mendukung diplomasi yang dilakukan Pemerintah Indonesia, yang terbatas aksesnya ke Israel karena tidak mengakui negara itu.
Di masa mendatang, pelibatan aktor non-pemerintah untuk membangun opini yang supportive terhadap perdamaian perlu diprioritaskan dalam proses politik yang digagas dunia internasional, termasuk konferensi internasional yang sedang diupayakan Perancis.Kenapa? Karena pembentukan sikap yang pro-perdamaian butuh waktu lama dan peran banyak pihak, tidak hanya unsur pemerintah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI