Mohon tunggu...
Arya Penangsang
Arya Penangsang Mohon Tunggu... profesional -

ananing merga ana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mbah Karyo dan Mbah Satuman, Potret Kakek Tangguh

13 Oktober 2014   16:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:13 869
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebut saja namanya, Mbah Karyo, usianya kira-kira sudah 70an. Badannya yang cukup kecil kurus serta terbalut celana dan kaos yang dilapisi baju lusuh tipis sehingga tak terlihat kurus. Wajahnya yang keriput dan ompong tak menunjukkan sebuah beban berat yang harus dipikulnya, sekalipun ia baru saja mengayuh becaknya sejauh 2 km dikepadatan lalulintas kota Malang yang sering macet.

Di usianya yang seharusnya beristirahat untuk menikmati sisa hidup dengan penuh ketenangan, Beliau masih bekerja sebagai tukang becak. Kakek yang telah bercucu enam orang ini, tinggal bersama anaknya di sebuah perkampungan kumuh di belakang stasiun Kota Lama Malang.

Putra-putrinya, sebenarnya sudah melarang untuk menarik becak yang memerlukan tenaga besar. Namun, sebagai seorang ayah yang tak bisa membawa anak-anaknya untuk lebih sejahtera selain sebagai pegawai toko dan pedagang di emperan, Mbah Karyo merasa tak pantas untuk membebani anaknya yang harus merawat putra-putrinya.

Beliau pun merasa tak krasan jika hanya duduk-duduk tanpa pekerjaan di rumah anaknya. Maka dengan sisa tenaga yang dimiliki Beliau tetap mengayuh becak untuk sekedar memenuhi keinginan untuk mengisi perut dengan makanan kesukaannya. Bahkan, jika ada uang sisa ia tak segan memberi uang saku untuk cucu-cucunya.

Tak banyak yang diperolehnya setiap hari, hanya sekitar lima belas ribu rupiah. Cukup untuk satu kali sarapan dan makan siang serta segelas kopi. Makan malam, Mbah Karyo ikut putranya sebagai rasa penghormatan atas kerja keras anaknya.

“ Saged mawon kula narik ngantos angsal selangkung ewu. Nanging kula mboten ngaya. Cekap damel nedha saben dinten.” Bisa saja saya mengayuh hingga dapat uang dua puluh lima ribu. Tetapi saya tidak memaksakan diri. Cukup untuk makan tiap hari. Itulah semboyan Mbah Karyo dalam menikmati hidup.

0 0 0 0 0

14131658842104881070
14131658842104881070

Tak beda jauh keadaannya dengan Pak Satuman seorang kakek dengan 8 cucu yang menjadi penjual kacamata bekas dan kacamata baca yang harganya hanya sekitar dua puluh lima ribu rupiah.Pria asal Madura yang telah berusia sekitar 75an setiap hari bisa menjual sekitar 3 – 5 buah dengan keuntungan sekitar lima ribu perkacamata. Setiap hari Pak Satuman membeber dagangannya di bawah pohon kenari tak jauh dari Mbah Karyo mangkal. Tempat ini memang cukup strategis bagi para pedagang loak kaki lima karena dekat dengan Pasar Klojen yang jaraknya hanya 1 km dari gedung Balai Kota Malang.

0 0 0 0 0

Hidup memang indah jika diterima dengan penuh rasa syukur tanpa keluh kesah dan tanpa merasa kurang. Bukankah semua yang diberikan Allah, Tuhan kita adalah baik?

14131659211945129022
14131659211945129022

* Sumber foto: koleksi dan foto sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun