Mohon tunggu...
Arya Paramita
Arya Paramita Mohon Tunggu... Penulis - Dreamer

Traveler

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Energi untuk (Mau) "Move On"

26 Maret 2019   13:28 Diperbarui: 26 Maret 2019   15:13 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendakian Papandayan, our quality time | dokpri

Dulu kita sering bilang Indonesia kaya minyak. Iya bener sih. Sampai sekitar tahun 1990an kita memang iya. Dimana angka produksi minyak kita jauh di atas konsumsi. Ya memang waktu itu, populasi mobil dan motor enggak sebanyak sekarang juga kali ya. 

Tapi, sekarang zaman sudah berubah. Sudah enggak sama lagi. Sekarang, orang jualan mobil dan motor di kaki lima udah kayak jualan sendal jepit.. malahan udah bisa beli dari hp pintar di pasar onlen tuh.. hehe.. 

Sejak tahun 2000an ke atas, trendnya memang sudah berubah. Kita semakin makmur, jumlah kendaraan bertambah, otomatis konsumsi energi pun naik, tapi produksinya turun secara alamiah. Kenapa turun alamiah? Ya kan minyak itu energi fosil yang tidak bisa diperbarui. Sementara, untuk memenuhi kebutuhan domestik ya kita beli alias impor. 

Trus gimana supaya enggak tergantung sama impor? 

Gampang. Pertama cari tau dulu apa yang kita impor? Ada impor bahan baku alias minyak buminya dan ada impor produk BBM.

Supaya kita bisa mengurangi impor minyak mentah alias bahan bakunya, ada beberapa cara. Pertama, menggiatkan pencarian cadangan baru (eksplorasi) di sektor hulu. 

Kedua, peningkatan produksi minyak melalui pemboran maupun pendekatan teknologi yang tidak biasa termasuk pengurasan minyak tahap lanjut. 

Ketiga, ini cara yang quick win, yaitu membeli minyak jatah kontraktor migas asing untuk diolah di kilang Indonesia. 

Nah, bagaimana caranya mengurangi impor BBM? Caranya ya bikin pabrik pengolahan minyak alias kilang. Kemampuan produksinya dibuat dua kali lipat. Sekitar tahun 2025 deh bisa selesai pembangunannya. Kenapa? Soalnya angka konsumsi sudah melampaui angka kemampuan produksi pabrik yang ada. Jangan kaget ya.. 

Selain itu ada sih yang bisa cepet alias quick win juga yaitu pemanfaatan biosolar. Hanya dengan mencampur 20% nabati ke dalam setiap liter solar, hasilnya bisa mengurangi setidaknya 20% dari keseluruhan impor solar. Matematika sederhana aja kan? 

Selain itu ya banyak lagi yang bisa dilakukan. Seperti beralih ke listrik. Di Cina konon sejak tahun 1995 sudah beralih menggunakan sepeda motor listrik. Gak bising dan gak ada polusi. Bagaimana dengan mobil? Ya mobil listrik juga. Pemerintahnya bikin kebijakan subsidi terbatas untuk mendukung mobil listrik. Industri mobil nasionalnya pun berlomba menggarap mobil listrik. Bentuknya keren lho. Fasilitas pengisiannya ada di tempat parkiran umum juga. Kok bisa? Ya bisa lah. Tinggal mau apa enggak. 

Sekarang gak usah muluk-muluk dulu, coba ke kita sendiri aja. Apakah kita memilih naik kendaraan pribadi apa naik kendaraan umum. 

Saya pernah ngobrol ke teman. Apa bedanya fasilitas mobil pribadi dan taksi online? Nyaris gak ada bedanya. 

Suatu hari kami diantar ke sebuah lokasi tujuan. Turun dari mobil kita pesan ke supir nanti jemput disini lagi ya. Seringnya kita tinggalin uang juga untuk dia nunggu sambil makan atau ngopi. Setelah urusan selesai, kita telpon supirnya kalau kita sudah di titik janjian dan mobil datang dan seterusnya. 

Coba bandingkan dengan taksi online. Mirip deh. Titik lokasi disepakati lewat dialog digital melalui apps di hp pintar. Malah lebih hemat, gak perlu ngasih uang makan, gak bayar parkir, dan simple. Mobil ganti-ganti jadi gak bosen. Tips pun cukup dengan bintang dan beberapa rupiah. Kalau mau direimburse tinggal kirim struk digital aja. Beres. Banyak hematnya. Misal  gak usah bayar maintenance mobil, gaji supir, pajak kendaraan, dll. Hemat dan everybody happy. Mau lebih cepat? Ada layanan ojek online juga kan. 

Masih penasaran? Coba aja bandingkan lagi dengan naik bis, MRT, apalagi sepeda. Pasti tau deh hasilnya. Badan sehat, perut kempes, bisa enjoy life, cuci mata, rekreasi murah, dan lebih bersosialisasi dengan lingkungan. 

So, bicara energi itu gak usah ketinggian. Gak usah berat. Biasa aja. Mulai dari kita aja dulu. Iya kita. Kamu yang membaca dan saya yang menulis. Tinggal mau apa enggak. Kita bukan ahli energi. Kita bukan ahli geologi geofisika yang bisa cari minyak. Kita bukan pakar teknik kimia yang bisa bikin bahan bakar. Apalagi kalau disuruh mengurus pengirimannya. 

Masalah bagaimana industri hulu dan hilir energi, itu sih udah banyak ahlinya. Mereka pinter bin jago.. mereka pasti gak akan membiarkan kita kehabisan minyak, gas, atau energi lain. Mereka akan terus mencari, memproduksi, dan menyediakannya. 

Nah kita bagaimana? "Kite mah taunye cuma make doang", samber emak-emak yang lagi ngantri di warung nasi uduk di ujung gang. 

Tapi bagaimana cara menggunakan energi yang sudah susah payah mereka cari dan dapatkan? Itu baru urusan kita sebagai penikmat energi. Harus bijak lah. Kuncinya satu, yuk MOVE ON. 

Tinggalin kebiasaan ala ala borju yang gak sensitif. Mimpi? Iya ini mimpi. Tapi setidaknya gue udah berbuat sesuatu dimulai dengan bermimpi, menulis, mengajak, dan melakukannya. Kalau lu sendiri gimana? Cuma baca doang? Lu jawab aja sendiri ya. 

Positively thinking, we might live for another million years to come. Let's share the world a barrel of hope called energy sustainability. Share it for your future generations, your own children and perhaps your grand children.


Ditulis disebuah perjalanan, naik kendaraan umum dari daerah produsen minyak ke daerah pengguna minyak

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun