Jumat siang pukul setengah dua. Aku mengajak Afghan ke daerah Bantul buat ngambil kaos hasil jahitan. Namun awan mendung telah bergelayut di atas kota Jogja. Firasatku bakalan hujan deres. Tapi apa mau dikata, kemaren aku udah batal ngambil jaitan di sana dan sekarang nggak enak juga kalo ditunda lagi. Ternyata bener. Nggak jauh setelah berangkat dari kampus, kita kehujanan di daerah Samsat. Akhirnya kita berhenti buat pake jas hujan.
“Lanjut nggak ni?” teriak aku ke Afghan.
“Lanjut aja.” Jawab Afghan.
‘Afghan’. Mungkin kalian langsung membayangkan sosok penyanyi berkacamata itu. Itu bukan masalah. Mereka memang sama-sama memakai kacamata, dan itu nggak mempengaruhi cerita.
Rupanya sang malaikat pembawa hujan sedang bawa bekel air yang banyak. Sehingga hujannya tambah deres saat kita memasuki daerah Wirobrajan. Karena jas hujan kita yang dipake satu untuk berdua menimbulkan resiko kebasahan pada bagian bawah celana, maka kita berhenti di suatu mini market.
Hujan semakin deras.
Di sebelah kita ada laki-laki dan perempuan yang sedang berteduh juga. Jarak sekitar tiga meter dari kita, dengan radiasi aura cinta lima meter. Di depan mini market ada warung makan padang.
Dalam hati, aku mempertanyakan maksud Tuhan mendamparkan kami di sini. “Kenapa aku nggak berenti di warung makan padang, tapi malah di minimarket yang ada sepasang kekasih. Berteduh saat hujan merupakan elemen penting dalam menciptakan suasana romantis ‘DUNIA MILIK KITA BERDUA’. Terutama bagi pasangan yang pedekate dan lagi baru jadian. Afghan sama aku bakal jadi kontraktor nih di sini, kataku dalam hati.
Aku langsung duduk karena kelelahan di pinggiran teras mini market tersebut, sementara Afghan duduk di atas jok motor. Kita terdiam beberapa saat. Mencoba menganalisis kondisi lingkungan yang kita tempati. Memandang derasnya air yang turun. Mengamati para pengendara motor yang lewat menerobos hujan.
Aku melihat ada lagi laki-laki dan perempuan yang menerobos hujan dengan motornya.
“Kalo hujan itu, momen romantis bisa dua Gan!” aku mulai pembicaraan.
“Apaan tuh?” jawab Afghan yang tetep sambil memandang ke jalan dengan cool (kedinginan).
“Kalo nggak nerobos hujan ya neduh bareng. Kaya sebelah kita ini gan.” Jawabku.
“Haha iya nih.”
“Cinta emang bisa membuat diri kita jadi kuat.” Kataku lagi.
“Wah itu mau sampe jam 12 malem juga kuat Zen.” Kata Afghan.
“Iyalah kuat. Kalo kita udah males banget kali.”
20 Menit kemudian...
Setelah kita ngobrol nggak jelas. Back to topic.
“Gila lo gan, masnya belum duduk dari kita dateng tadi.” Kataku.
“Eh iya ya.”
“Kita aja yang baru dateng langsung terkapar duduk.”
Hening.
Lima menit kemudian...
“Wah akhirnya duduk Zen.” Kata Afghan.
“Wah iya, udah capek nih.”
*penting banget nggak sih merhatiin sebegitunya.
Sepasang kekasih itu duduk bersebalahan. Romantis.
Hujan tetep deres.
Afghan melihat seorang mas-mas memakai mantel yang neduh juga di mini market ini. Kemudian dia pergi lagi dengan memakai mantel yang lain warna. Apa maksudnya? Berhenti cuma buat ganti warna mantel? Entahlah.
Kemudian ada lagi dua pelajar SMA putri yang duduk di sebelah kita. Sepertinya mau nunggu hujan reda. Mereka habis belanja di mini market ini. Sekitar 10 menit kemudian mereka pergi dengan memakai mantel masing-masing. Apa maksudnya lagi. Udah punya mantel masing-masing ngapain neduh juga. Ironis.
Terus ada lagi. Ada seorang remaja putri yang berhenti di mini market ini. Dia memakai jas hujan. Jadi agak aneh kalau cuma buat neduh berhenti. Nggak lama kemudian. Jas hujan ia simpan di bawah jok motor. Kemudian dia pergi di tengah hujan yang masih lumayan deras tanpa memakai mantel. Hujan-hujanan. Apalagi ini? orang pada neduh nggak punya jas hujan. Ini malah hujan-hujanan.
“Hujan ini bener-bener penuh ironi di atas ironi.” Kata Afghan.
“Iya ya?”
“Lah iya, dari hujan ini kita bisa melihat keegoisan orang-orang. Kayak mas-mas tadi berhenti cuma buat ganti mantel.”
“Padahal di sisi lain, kita cuma punya mantel satu.” Tambah aku.
“Iya, trus tadi mbaknya yang sebelah kita yang pake seragam SMA, udah punya mantel tapi malah neduh.” Kata Afghan. Ia udah pindah duduk di sebelah aku dari jok motor.
“Iya ya. aneh lagi itu.”
Hujan belum mereda. Aku melihat ke arah laki-laki dan perempuan itu lagi. Begitu juga Afghan. Sang lelaki merangkul si perempuan. Semakin romantis dan hangat. Tapi jangan lantas kalian mikir aku bakalan ngerangkul Afghan atau Afghan ngerangkul aku. Nggak.
“Wah, rangkulan gan!” Teriakku. Entah kedengeran pasangan itu atau tidak. Tapi aku yakin nggak. Kalaupun kedengeran, kayaknya mereka juga nggak akan peduli. Aku sama Afghan cuma orang yang ngontrak di dunia ini.
“Semakin memanas Zen.” Kata Afghan.
“Iya, kalo kita.....” balas aku.
“Semakin membeku...” sambung Afghan.
Kita pun tertawa.
Diem lagi beberapa menit. Afghan komentar lagi, “Kalo hujan gini pas lagi sendiri neduh paling enak merenung Zen.”
“Iya ya.” Balas aku.
“Kalo berdua cewek sama cowok enak ngobrol.” Tambah Afghan.
“Kayak yang sebelah kita.” Kata aku lagi.
“Nah kalo berdua cowok-cowok kaya kita paling enak ngomongin orang.”
“Nah, kayak kita ini. Hahahhaaha.” Aku tertawa ironis. Begitu juga Afghan.
Hujan tak jua reda-reda.
Afghan mulai berbicara lagi, “Dari hujan ini aku banyak mendapat pelajaran ni Zen. Ngelihat keegosian manusia. Ironi di atas ironi.”
“Iya gan. Aku juga. Ini rupanya kenapa kita didamparkan di mini market ini.”
“Iya, dari sini aku tau. Bahwa tidak ada setetes hujanpun yang sia-sia.”
“Ini nih yang nama ironi di atas ironi di atas ironi.” Tambah aku.
“Itu kata siapa si ironi di atas ironi?” tanya Afghan.
“Tuh kata Plankton.” Merujuk pada salah satu tokoh di serial kartun Spongebob.
Hujan mulai mereda. Sepasang kekasih itu memutuskan pergi. Aura pun berubah menjadi datar.
“Yah, mereka pulang Zen.”
“Iya e, yah nggak seru.”
“Iyaaa nih nggak seru deh.” Tambah Afghan.
“Yaudah yuk kita berangkat lagi juga.”
“Yuk.” Balas aku.
Akhirnya kita melanjutkan perjalanan. Hujan telah berhenti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H