Aku berada disana atas panggilan jiwa dan sebagai cahaya untuk mereka namun mereka tidak menginginkan cahaya itu.
Sehingga aku memutuskan untuk mencari tempat yang lebih membutuhkan cahaya itu.
Mereka itu hanya bocah-bocah polos yang belum mengerti apa itu kehidupan. Mereka hanya bocah-bocah polos yang mendebat gurunya untuk berlindung dibalik kesalahan yang mereka lakukan. Masih terlalu dini untuk menyadarkan mereka.
Aku begitu prihatin dan menderita dengan keadaan mereka. Mereka itu tunas yang berusaha hidup di tanah kering namun mereka tidak bisa bertumbuh ataupun berkembang, mereka hanya bisa merambat kemudian menjadi gulma yang menghiasi tanah yang kering itu lalu layu dan mengering dikekang panasnya terik di musim kemarau, mereka tidak menginginkan embun yang menyejukkan jiwa. Mereka itu sudah mati sekarang namun baru bisa dikuburkan 60 tahun kemudianÂ
Ada keindahan dalam pengorbanan, tapi juga kebijaksanaan dalam mengetahui kapan harus berhenti dan memberikan apa yang kita miliki kepada mereka yang benar-benar menginginkannya atau membutuhkannya.
Pada akhirnya aku hanya bisa berkata "biarkan mereka berkembang seperti pucuk-pucuk pohon yang aku temui di hutan itu.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H