Kebijakan Pemerintah selalu menarik perhatian publik. Ada yang senang dan menyambut gembira. Ada juga yang mendebatnya, terutama jika kebijakan itu dianggap tidak "pro" rakyat. Polemik Perpu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dan berbagai peraturan lainnya yang hingga kini masih berlanjut, bisa menggambarkan hal ini.
Kebijakan publik memang selalu menjadi polemik. Kebijakan itu sendiri sejatinya hadir karena ada kepentingan negara didalamnya, yakni untuk kesejahteraan rakyat. Publik pun ikut berkepentingan. Â Hal ini karena obyek kebijakan dan berbagai jenis peraturan berkaitan langsung dan tidak langsung dengan kehidupannya. Baik buruknya hasil pelaksanaan suatu kebijakan, masyarakat yang paling merasakannya.
Polemik mengenai kebijakan pemerintah tidak hanya terjadi saat ini. Juga tidak hanya di Indonesia. Resistensi ini utamanya karena masyarakat mengganggap kebijakan tidak memihak, tidak pro rakyat. Protes dilontarkan karena kebijakan hanya menguntungkan dan mendukung kepentingan tertentu.
Kalaupun tidak ditolak, banyak kebijakan yang mandul, tidak berjalan di lapangan karena apatisnya penerimaan publik. Karenanya, penerimaan publik menjadi penentu efektifitas sebuah kebijakan. Semakin diterima semakin efektif sebuah kebijakan. Maka menyusun sebuah kebijakan tidak lepas dari pertimbangan kepuasan masyarakat.
Sayangnya, walaupun melalui bottom up process, banyak kebijakan yang diprotes karena penyusunannya hanya berdasarkan perspektif penyusunnya, atau mengikuti kepentingan pihak-pihak tertentu. Publik sebagai penerima kebijakan, diasumsikan memiliki perspektif yang sebangun. Kondisi ini adalah false concensus yang sering melanda penyusun kebijakan, menganggap publik setuju dan cenderung mengabaikan apa yang sesungguhnya dirasakan masyarakat.
Efektivitas kebijakan tidak hanya karena adanya false concesus. Bias kognitif yang ada pada individu manusia juga ikut mempengaruhi. Â Bias ini menggambarkan keinginan individu yang seringkali berbeda dengan realitasnya.
Para penyusun kebijakan seringkali terperangkap dengan apa yang telah mereka yakini sebelumnya. Confirmation bias ini mendorong mereka cenderung menerima apapun informasi yang sesuai dengan informasi awal yang diterima mereka yakini, meski belakangan tidak sesuai dengan keinginan publik yang lebih besar. Akibatnya, "keinginan' yang sebenarnya dari publik tidak terterima dengan baik.
Keinginan yang sering berbeda dengan kebutuhan adalah gambaran bias perilaku yang sering melanda individu manusia. Kita adalah makhluk sosial yang sering berfikir dan bertindak tidak selalu rasional pada setiap situasi. Â Fakta tentang manusia adalah individu yang tidak rasional dipahami dengan baik dalam ekonomi perilaku. Para ekonom kemudian menambahkan elemen psikologi ke model ekonomi klasik untuk lebih memahami motif pengambilan keputusan dan perilaku manusia yang sering bias. Â
Manusia seringkali membuat pilihan yang tidak rasional (homo sapiens). Apa yang mereka katakan belum tentu apa yang diinginkan. Sebaliknya, apa yang sebetulnya diinginkan kadang tidak tersampaikan. Contoh, mengapa orang miskin bisa membeli rokok tapi sulit membelikan anaknya buku pelajaran. Mengapa kita banyak mengkonsumsi junk foods, padahal itu berbahaya bagi kesehatan? Atau, mengapa subsidi saprodi justeru semakin membuat petani tidak mandiri? Â
Kebijakan yang mengabaikan bias perilaku (behaviour insight) umumnya berjalan tidak efektif, bahkan tertolak di lapangan. Sebaliknya kebijakan yang mempertimbangkan fakta tentang perilaku akan berjalan efektif. Dia memperoleh dukungan dan partisipasi publik karena sejalan dengan kepentingannya.
Kebijakan publik tidak sekedar melibatkan publik secara bottom up. Sebaliknya, kebijakan ini harus mampu menyelami keinginan yang tidak rasional dari individu (behaviour insight). Selama proses penyusunan, para penyusun kebijakan perlu melihat sikap dan perilaku individu pada masyarakat. Bias perilaku perlu diidentifikasi dan dipetakan sejak awal untuk memahami alasan mengapa mereka bersedia melakukan tindakan tertentu dan tidak untuk yang lainnya.
Pendekatan ini telah digunakan dibanyak lembaga global dan negara-negara maju. Mereka bahkan membentuk lembaga khusus, Behaviour Economic Unit yang merumuskan dan mendesain kebijakan strategis yang berdasarkan pada ekonomi perilaku individu. Aplikasinya meluas dalam berbagai sector pembangunan mulai dari lingkungan hidup, ekonomi, energi hingga persoalan-persoalan pada tingkat individu.
Kebijakan publik yang baik tidak sekedar tentang pemenuhan kebutuhan masyarakat. Dia harus mampu menyelami hati dan perasaan publik yang sebenarnya. Di tengah pendekatan partisipatif dan bottom up, kebijakan publik perlu mengenali dan mempertimbangkan behavior insight dalam proses penyusunannya.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H