Mohon tunggu...
Aryanto Husain
Aryanto Husain Mohon Tunggu... Freelancer - photo of mine

Saya seorang penulis lepas yang senang menulis apa saja. Tulisan saya dari sudut pandang sistim dan ekonomi perilaku. Ini memungkinkan saya melihat hal secara komprehensif dan irasional.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Set Tone at The Top

20 Mei 2022   13:08 Diperbarui: 20 Mei 2022   13:24 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mencegah korupsi, mungkinkah?

Pertanyaan ini sangat retorik, susah menjawabnya. Kalaupun ada yang optimis, setidaknya hanya bisa bergumam, mmmhhh. Selebihnya pesimis. Kasus OTT pejabat yang tidak berkurang  mengunci pertanyaan di atas. Mungkinkah korupsi dapat di cegah?

Kata korupsi berasal dari bahasa Latin "corruptio" atau "corruptus" atau "corrumpere" yang berarti buruk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, atau menyogok. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara maupun korporasi untuk keuntungan pribadi atau orang lain.

UU KPK No.20/2001 mempertegas bahwa korupsi adalah hal yang mengakibatkan kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi.

Jeremy Pope dalam bukunya "Strategi Memberantas Korupsi"  mengatakan korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan dan kepercayaan untuk kepentingan publik atau perilaku tidak mematuhi prinsip mempertahankan jarak.

Apapun batasannya, korupsi adalah kejahatan luar biasa, ekstra ordinary crime. Prakteknya tidak terbatas ruang dan waktu dan bisa dilakukan siapa saja. Selama 2021 saja, ada 553 kasus dengan 1.173 tersangka dengan potensi kerugian negara sebesar Rp 29,438 triliun. 6 kasus OTT Kepala Daerah belakangan ini melengkapi Laporan Tren Penindakan Korupsi KPK untuk 2021.  

Banyak yang pesimis, korupsi sangat sulit diberantas karena magnet ingin memperkaya diri begitu kuatnya. Kasus OTT menjadi penanda para koruptor begitu rakus dan tamak. Betapa tidak, mereka rata-rata adalah pejabat yang memiliki jabatan strategis, tentu saja telah memiliki sejumlah harta kekayaan yang cukup bagi kehidupannya. Namun, masih tergiur untuk memperkaya diri dengan cara yang tidak baik.

Saking pesimisnya, ada kalimat yang mengolok, 'kita semua melakukan korupsi'. Dari pejabat hingga ke stafnya. Bahkan, masyarakat umumpun tidak luput dari stigma ini.

Batasnya memang sangat tipis. Ada yang terang-terangan meminta sejumlah imbalan diawal jasanya. Jabatan dan kekuasaannya memungkinkan untuk itu. Nominal hasil korupsi seperti ini cukup signifikan. Namun ada juga tidak kentara. Baik karena jumlahnya sangat kecil atau karena sekedar balas jasa. Yang memberi dan menerima saling rela menerimanya. Tentu saja hal ini tidak bisa dibiarkan berlangsung terus. Praktek korupsi, setipis dan seringan apapun tetap harus dicegah.

Upaya memberantas korupsi sudah lama dimulai. UU No. 3/1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah regulasi awal yang mengatur pemberantasan korupsi.  UU ini kemudian dirubah menjadi No.31 Tahun 1999 dan terakhir kalinya diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001. Sayangnya, waktu yang lama dan berbagai regulasi yang terus diperbaharui terbukti belum cukup menurunkan kejahatan korupsi.

Pesimis? Tentu saja tidak. Apapun alasannya, korupsi harus diberantas ke akar-akarnya. Dampaknya sangat luar biasa. Banyak negara yang bangkrut karenanya. Bangkrut karena tidak bisa membayar hutang.

Yunani, Argentina, Zimbabwe, Venezuela dan Ekuador adalah contoh dari banyak negara yang bangkrut karena memiliki utang yang sangat besar. Sebagian bahkan mempunyai sejarah kelam gagal membayar utang atau default, dan menjadi mimpi buruk berkepanjangan bagi rakyatnya.

Yang lebih parah dialami Zambia. Presiden baru Zambia, Hakainde Hichilema, berteriak negaranya tidak memiliki uang lagi. Kas keuangan negara kosong akibat korupsi parah. Uang dicuri dan dipindahkan pada menit-menit terakhir pada akhir masa kekuasaan Presiden sebelumnya.

Di Srilanka, Presiden Gotabaya Rajapaksa mengumumkan keadaan darurat pada Maret 2022, sehari setelah ratusan warga mencoba menyerbu kediamannya. Warga menumpahkan kemarahannya karena krisis ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Warga menuntut mundur Presiden Gotabaya karena pemerintahannya dianggap banyak dipenuhi korupsi dan nepotisme.

Set tone at the top

Talcott Parsons mengatakan korupsi menjadi sistim karena korupsi memiliki cara memelihara merawat dirinya sehingga prakteknya bisa bekerja berkelanjutan. Dibutuhkan political will dan kemauan luar biasa untuk mencegahnya. Hanya dengan leaderhip dengan integritas yang kuat yang bisa menghentikannya.

Manusia adalah mahluk homo  economicus. Pandangan neoklasik ini mengatakan bahwa manusia akan selalui bertindak rasional.  Tindakannya senantiasa dilandasi oleh keinginan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya (maximising utility).

Korupsi terjadi karena adanya perilaku maximising utility dari setiap individu. Jika kasus-kasus besar terjadi karena ketamakan, maka kasus korupsi yang kecil dan ringan  terjadi karena tidak adanya integritas. Efek bandwagon ikut bekerja menggerus integritas individu. Korupsi, apapun ukurannya tidak akan terjadi jika kita memegang teguh integritas. Prinsip yang dipegang teguh Baharuddin Lopa semasa menjabat Jaksa Agung atau oleh Jenderal Hoegeng saat menjadi Kapolri.

Integritas adalah modal utama tidak melakukan korupsi. Apalagi bagi Aparat Penegak Hukum. Integritas menjadi ukuran moral utama. Tidak heran, pejabat KPK, sekelas Lili Pintauli Siregar tidak luput dari sorotan. Lili satu-satunya Komisioner KPK yang paling banyak diadukan terkait dengan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku.

Lili tentu saja tidak bisa dituduh sedang melakukan korupsi namun perbuatannya menodai integritasnya, yang menjadi modal utama untuk mencegah korupsi itu sendiri.

Pelajaran pentingnya, mencegah dan memberantas korupsi harus diawali contoh dari atas. Set tone at the top. Nyatakan, ekspresikan, ucapkan keinginan mencegah korupsi mulai dari pimpinan puncak.

Set tone at the top memudahkan penularan virus anti korupsi secara berjenjang kebawah. Pemimpin yang men-set tone at the top terbuka mengkomunikasikan praktek transparan kepada siapa saja, dalam dan luar organisasinya. Secara otomatis ini membangun integritas sang pemimpin dan sekaligus mencegahnya berbuat korupsi.

Setting tone of the top harus seiring sejalan dengan walk the talk,  yakni konsistensi antara yang diucapkan dengan yang dijalankan. Seorang pemimpin harus bisa mempraktekkan apa yang dia ucapkan dengan perbuatan.  

Bawahan mencari arahan dari atasannya. Seorang pemimpin harus sadar akan sinyal yang dikirimkan kepada bawahannya. Menciptakan good tone at the top akan mengurangi risiko munculnya korupsi. Mencegah korupsi adalah awal yang baik memberantas korupsi, dan itu harus dimulai dari atas.

Set tone at the top.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun