Mohon tunggu...
Aryanto Husain
Aryanto Husain Mohon Tunggu... Freelancer - photo of mine

Saya seorang penulis lepas yang senang menulis apa saja. Tulisan saya dari sudut pandang sistim dan ekonomi perilaku. Ini memungkinkan saya melihat hal secara komprehensif dan irasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

ICMI dan Bangsa yang Sedang Tidak Akur

18 Januari 2022   19:50 Diperbarui: 18 Januari 2022   20:51 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tanpa gegap gempita ICMI, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, memilih Ketua barunya. Dalam Silatnas 2021, Arif Satria terpilih menggantikan Jimly Asshiddiqie memimpin ICMI hingga 2026 nanti. Munas yang dihadiri berbagai utusan dari daerah itu berlangsung tertib, lancar dan relatif senyap.

Kesenyapan mewarnai perjalanan ICMI akhir-akhir ini. Dalam beberapa tahun terakhir, suara cendekiawan muslim relatif tidak terdengar. Tidak banyak pergulatan suara dan fikiran ICMI dalam diskursus kebangsaan. Ada geliat organisasi, tapi terbatas pada isu internal terkait kelembagaan. Kalaupun ada relatif terbatas dan tidak memiliki magnitude untuk mempengaruhi kondisi nasional.

Kelahiran ICMI menandai kebangkitan intelektualis Muslim. Suara dan fikiran mereka mulai terdengar. Ketua pertama, B. J. Habibie menjadi tangan sempurna menggerakan transisi demokratisasi, memberi ruang kebebasan berfikir. Habibie menjadi corong suara umat Islam dalam hegemoni Orde Baru.

Kehadiran Habibie sebagai orang dekat Suharto dianggap sebagai upaya Orde Baru merangkul kelompok-kelompok Islam. ICMI dipersepsikan sebagai lembaga think tank pada akhir kekuasaan Orde Baru. Keberadaan ICMI seolah menjadi jaminan bagi Orde Baru untuk memastikan tidak ada potensi radikalisme dari kelompok Islam.

Stigma "kaki dua"


Disisi lain, bergabungnya suara cendekiawan dibawah ketokohan Habibie menjadi corong lahirnya suara demokratis. ICMI dianggap bermain dua kaki saat ikut serta mempromosikan konsep masyarakat madani yang dianggap sebuah wacana pembangkangan secara halus terhadap korporatisme Orde Baru.

Stigma bermain dua kaki itu sepertinya melekat dalam perjalanan ICMI.


Masa setelah Habibie ICMI diwarnai kepemipinan tokoh-tokoh partai politik. Masa-masa itu, para operator mesin partai tersebut terlihat sibuk dengan mesin-mesinnya sendiri. Hal itu terjadi ditengah-tengah adanya kebutuhan pengkondisian sistem demokrasi pasca orde baru.


Kecenderungan para pengurusnya terlibat dalam politik di saat semua elemen bangsa berupaya bersinergi mendukung dan mengisi masa reformasi dianggap sebagai penyebab stagnasi dan senyapnya suara para cendekia dan ICMI saat itu. Sebagian bahkan menganggap sebagai penyebab kemunduran ICMI.

Warna "politik" sulit untuk dihilangkan bahkan pada kepepimpinan Jimly Assidiqi. Dalam sebuah statement, dia meminta ICMI untuk tidak ragu mendukung pemerintahan Presiden Joko Widodo selama 10 tahun. Pernyataan itu menuai respons negatif dari kalangan internal ICMI dan disebut tidak mewakili organisasi ICMI.

Stigma ini tentu saja bukan wajah ICMI yang sebenarnya. Sejak jaman Habibie kiprah ICMI dalam pembangunan bangsa cukup menyolok. ICMI membidani lahirnya Bank Muamalat. Bank Islam pertama di Indonesia ini mengadopsi sistem perbankan syariah bagi akomodasi ummat Islam dalam bidang ekonomi berbasis syariah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun