Dalam bukunya, Silent Sprint, 1962, Rachel Carson menggambarkan dampak revolusi industri. Penggunaan pestisida yang tidak terkontrol dan teruji di saat itu merugikan, membunuh binatang dan burung, bahkan manusia. Masyarakat Amerika saat itu kehilangan keceriaan saat musim semi tiba. Penyebabnya adalah rusaknya ekosistem alami akibat polusi. Pepohonan layu, batang dan dedaunan yang menghitam kecoklatan. Tidak ada kicauan burung. Semuanya sepi, senyap seakan tidak ada kehidupan.
Awal tahun ini, Majalah Tempo mengabarkan pecahnya salah satu bongkahan es terbesar di laut Antartik. Ini hanya mengikuti lelehan es kutub yang terus mencair dan menyebabkan paras air laut naik. Kita perlu sangat khawatir. Dampaknya sangat luar biasa, bisa mengubah bumi menjadi tidak seperti yang kita lihat sekarang.
Pecahnya bongkahan-bongkahan es abadi ini akibat pemanasan global yang belum terkendali. Dalam bukunya The Unhabitable Earth (2020), Wallace-Wells menggambarkan optimistic view yang dihasilkan pada pertemuan IPCC pada 2018 bahwa suhu bumi akan terus meningkat hingga 3.2o C sebelum global warming berhenti. Pada kondisi ini es akan terus mencair menyebabkan Hongkong, Shanghai, Miami kebanjiran. Saat kawasan selatan Eropa mengalami kemarau permanen, kebakaran lahan di AS meningkat hingga 600%.
Pada 2020 ini bumi sedang mengalami adalah fase middle crisis. Dalam teorinya tentang "Donat Ekonomi", Kate Raworth menggambarkan kondisi ini dengan semakin rusaknya 9 pilar pendukung bumi. Menggunakan metafora kue 'Donat', Raworth mengibaratkan kesembilan isu ini sebagai lingkaran terluar donat yang menjadi pelindung semua proses dalam biosfer bumi. Dan bumi sudah melampaui 4 kali dari yang seharusnya yakni dengan menipisnya alih fungsi lahan, pelepasan nitrogen dan fosfor, perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Kita bisa melihat betapa pentingnya kesepakatan ini berjalan optimal tanpa embel-embel. Kerusakan Bumi tidak bisa menunggu hadirnya kesadaran manusia. Perlu segera langkah cepat dan maju membangun kesepakatan di atas kesadaran bersama untuk mempertahankan keberlangsungan kehidupan di bumi.
Pademi COVID-19 seharusnya dapat mendorong kesadaran itu
Dunia masih menunggu bagaimana akhir Pandemi COVID-19. Berbeda dengan kejadian pandemi sebelumnya, kegagapan kita begitu nyata. Korban masih terus berjatuhan, gelombang penularan masih terus berlangsung, beberapa negara bahkan sedang mengalami the 3rd wave. Di saat bersamaan kita masih berpolemik tentang strategi menghentikan penularan. Apakah dengan vaksin, terapi imunitas lainnya atau membiarkan penjangkitan mencapai tahap terbentuknya herd immunity.
Kegagapan ini mengkhawatirkan. Belum selesai Pandemi COVID-19, Sekjen WHO telah memperingatkan kemungkinan datangnya pandemi lain, yang mungkin bisa lebih dahsyat. Terlepas nantinya apakah penyebaran virus sebagai bentuk 'konspirasi atau persaingan' kemungkinan pandemi lanjutan terhubung dengan kondisi bumi saat ini.
Wallace-Wells mengingatkan dampak buruk lainnya dari global warming. Peluruhan es akibat pemanasan global akan melepas bakteri yang membeku puluhan tahun dalam bongkahan es. Para pakar juga memprediksi lapisan salju abadi di kutub ini menyimpan varian flu seperti strain flu yang tersimpan dalam Es Alaska yang pada 1918 membunuh 80 juta orang. Artinya jika pemanasan global tidak dihentikan sekarang, dunia harus bersiap dengan pandemi berikutnya yang akan menyerang tanpa harus menunggu siklus 70-100 tahunan.
Dunia harus belajar dari serangan Pandemi COVID-19. Tidak seperti krisis-krisis sebelumnya, outbreak Virus Sars-Cov 2 menyerang sistem kesehatan, sosial dan perekonomian secara serentak. Negara-negara maju sekelas AS tidak bisa berbuat banyak. Eropa menyerukan pentingnya kerjasama global untuk mengatasi dampak Pandemi COVID-19.