Mohon tunggu...
Aryanto Husain
Aryanto Husain Mohon Tunggu... Freelancer - photo of mine

Saya seorang penulis lepas yang senang menulis apa saja. Tulisan saya dari sudut pandang sistim dan ekonomi perilaku. Ini memungkinkan saya melihat hal secara komprehensif dan irasional.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Adaptability

23 April 2020   20:15 Diperbarui: 23 April 2020   20:26 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu keunggulan manusia bisa bertahan hidup adalah kemampuannya beradaptasi. Semua makhluk memiliki itu. Namun manusia melakukannya dengan kesadaran. Berbeda dengan hewan yang proses adaptasinya secara alamiah. 

Manusia beradaptasi seringkali karena sesuatu yang dialaminya. Adaptability, kemampuan beradaptasi inilah yang membuat manusia selalu bisa survive dalam setiap kondisi.

Kecuali saat ini, ketika pandemic COVID-19 mendera. Kali ini kita menyerah. Virus Sars-Cov2 ini benar-benar digdaya. Terus bermutasi dengan perkembangan yang menakjubkan. 

Di awal penyebaraan, saat sang virus masih di kandangnya di Wuhan, analisis pakar mengatakan masa inkubasi sang virus berlangsung dalam kurun waktu 1-14 hari. 

Beberapa saat kemudian, banyak laporan mengungkapkan PDP yang positif setelah 14 hari. Bahkan yang sudah divonis negatif dalam kurun waktu itu, justeru positif di hari ke 21.

Media penularannya juga membuat manusia menggelengkan kepala. Di awal hanya melalui droplet terutama saat kita bersin. Sekarang dari laporan medis tentang pasien-pasien positif, penularan sudah lewat udara (airborne). 

Sang virus melayang di udara lebih lama dari sebelumnya. Salah satu studi terbaru menemukan penularan bisa melalui kulit dan mata. Karena perkembangan dan mutase ini, semua tentang virus corona menjadi makin tidak pasti.  

Ketidakpastian memang mengkhawatirkan bagi yang takut mengambil resiko. Sebaliknya menjadi tantangan bagi yang kreatif. Franck Zenasni, seorang psikolog, menemukan orang-orang yang mau menerima ketidakpastian adalah orang yang sangat positif. 

Orang-orang ini mampu bekerja dalam situasi yang kompleks dengan hasil yang kadang tidak memuaskan. Mereka menjadi pembelajar sejati, agile learner. 

Dalam masa pandemic COVID-19 ini kita bisa menemukan mereka di laboratorium, di rumah-rumah sakit. Mereka adalah ilmuan dan para dokter yang terus tertantang mencari solusi menghentikan penyebaran virus corona.

Jonathan Fields dalam bukunya Uncertainty. Turning Fear and Doubt into Fuel for Brilliance (2011) mengatakan, ketidakpastian sering menuntun langkah kita berujung pada novelty dan inovasi. Kita sering tidak puas dengan status quo dan selalu ingin melakukan perubahan. 

Karenanya, jika seseorang siap mengambil resiko berarti dia komitmen terhadap mencoba sesuatu. Proses ini hanya dimiliki oleh mereka yang memiliki dan mempertahankan growth mindset. Fikiran yang mau belajar dan berkembang. Mereka akan terus belajar dan beradaptasi terhadap setiap kondisi yang berkembang.

Virus Sars-Cov 2 bukan virus yang tidak bisa dihentikan. Penyebarannya ada dalam 3 fase kurva epidemic. Mulai dari Fase ke-1 pembendungan (containment), Fase ke-2 penularan (community transmission) hingga Fase ke-3 saat wabah (outbreak). Adaptasi kita terhadap setiap fase berbeda-beda, kalaupun tidak disebut tergagap-gagap. 

Mulai dari yang tegas dan keras hingga yang lebih lembut dan persuasive.  China, Italia dan India, misalnya, segera melakukan lockdown saat wabah virus corona melanda. 

Singapura dengan keunggulan teknologinya, lebih soft melakukan early contact tracing saat data penularan di negeri itu mulai dilaporkan. Berbeda dengan Korea Selatan yang melakukan serangkaian test, identifikasi, isolasi, Hongkong justeru terus mengkampanyekan kedisplinan menggunakan masker dan social distancing.

Pemerintah Indonesia walaupun tertatih-tatih akhirnya menempuh jalan yang lebih moderat dari lockdown, menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). 

Banyak pihak menganggap keputusan ini terlambat. Virus Sars-Cov 2 terlanjur masuk ke Indonesia, menyebar kemana-mana tanpa bisa dicegah lagi. Pemerintah Indonesia terjebak dalam ruang gelap saat harus mengambil kebijakan akibat kompleksitas masalah yang dihadapi, a full --spectrum decision.

Kondisi ini pernah dialami George Washinton saat perang revolusi di Amerika Utara pada 1776. Dalam ketidakpastian, Washinton berusaha keluar dari hegemoni Inggris.

Saat yang bersamaan tentara Inggirs mulai masuk ke New York. Meskipun yakin serangan akan diluncurkan, tidak ada yang tahu kapan sesungguhnya hal itu akan dilakukan. 

Washington berfikir keras. Dimana kapal Inggris akan berlabuh, dan apakah arus East River berpengaruh dalam pergerakan para prajurit? Melalui perang revolusi ini Washington dikenang dalam sejarah America. Dia membuat keputusan yang sulit dalam ketidakpastian.

Sejarah dan peristiwa masa lalu seringkali menjadi arena pembelajaran yang baik. Kita hanya perlu beradaptasi, agar bisa mengambil keputusan yang tepat, cepat dan bisa diterapkan.

referensi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun