Mohon tunggu...
Aryanto Husain
Aryanto Husain Mohon Tunggu... Freelancer - photo of mine

Saya seorang penulis lepas yang senang menulis apa saja. Tulisan saya dari sudut pandang sistim dan ekonomi perilaku. Ini memungkinkan saya melihat hal secara komprehensif dan irasional.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Covid-19 dan Krisis Ilmu Pengetahuan

14 April 2020   15:05 Diperbarui: 14 April 2020   15:33 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sampai hari ini vaksin Virus Sars-Cov 2 yang kita nanti tak kunjung tersedia. Padahal sudah lebih dari 20 vaksin saat ini sedang dikembangkan menurut WHO. 

Salah satunya telah diuji coba pada manusia setelah uji coba pada hewan. Relatif cepat dan mempertaruhkan keefektifan dan keamanan vaksin. Umumnya tahapan pengujian sebuah vaksin cukup panjang. 

Kalaupun berhasil, kita baru bisa melihat keberhasilannya pada akhir tahun. Artinya dalam 9 bulan kedepan, kita masih diombang-ambing ketidakpastian mengakhiri pandemi ini.

Temuan vaksin ini sangat ditunggu. Vaksin corona tidak hanya untuk menyembuhkan pasien positif. Namun juga untuk menghentikan ketidakpastian akibat pandemic Covid-19. 

Semakin hari magnitude ketidakpastian semakin besar. Shock yang ditimbulkannya juga sangat besar.  Tidak hanya di bidang kesehatan namun juga perekonomian.

Richard Baldwin dan  Beatrice Weder dalam Economics in the Time of COVID-19 menggambarkan tiga shock ekonomi yang terjadi. Pertama, pandemic ini menyebabkan para pekerja diistirahatkan. 

Kedua, kesiapan pelayanan kesehatan untuk melandakan kurva epidemiologis. Dan ketiga, expectations shock terkait posisi wait-and-see yang diambil perusahaan seluruh dunia. Berbeda dengan masa-masa krisis sebelumnya, krisis kali ini menghantam sistim yang lebih kompleks dalam sekali hentakan.

Ancaman terhadap kesehatan, keamanan, bahkan eksistensi manusia oleh pandemi Covid-19 berlangsung dalam wilayah luas. Kecepatan penyebarannya luar biasa dahsyat. 

Pada Jumat (10/4) jumlah kasus adalah 1.697.533 dengan kematian mencapai 102,687. Pada Minggu (12/4) melonjak menjadi 1.795.747 kasus dengan kematian mencapai 110,005. Tidak heran, banyak yang khawatir pandemic Covid-19 dapat bermuara pada krisis kemanusiaan.

Pada saat itu terjadi dimana ilmu pengetahuan? Krisis adalah peralihan keadaan lama menuju keadaan baru yang belum pasti. Pada saat peralihan itu metode lama ditinggalkan, Pada saat bersamaan, metode baru juga belum sepenuhnya dapat digunakan.

 Akibatnya terjadi kebingungan. Dan itu yang kita hadapi saat ini. Ketidakberdayaan menghentikan dan menemukan vaksin virus corona. Sekaligus gambaran bahwa ilmu pengetahuan seperti tidak berdaya menjawab persoalan kemanusiaan saat ini dan mungkin masa datang.

Saint Simon dan Auguste Comte mengatakan bahwa pengetahuan manusia berkembang secara evolutif. Sebelum tiba pada pengetahuan positif, manusia melewati tahap teologis dan metafisik. 

Positivisme merupakan puncak pengetahuan manusia yang hari ini kita kenal sebagai pengetahuan ilmiah. Berbeda dengan kebenaran metafisik yang sulit dibuktikan dalam kenyataan, aliran positivism bertumpu kepada isi dan fakta-fakta yang bersifat materi (materialism). Krisis pandemi Covid-19 seakan melecut positivisme masih perlu terus berkembang untuk menjawab kompleksitas yang kian berkembang.

Saya teringat wejangan ilmu pengetahuan seorang tokoh ilmu pengetahuan yang juga anggota AIPI (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia), Ary Muchtar Pedju. 

Dalam diskusi itu, sang tokoh menjelaskan distorsi ilmu pengetahuan yang terjadi saat ini. Ilmu pengetahuan berkembang namun tidak bisa menyelesaikan permasalahan kemanusiaan.

 Ekonom Jeffrey D. Sachs dalam bukunya Common Wealth: Economics for a Crowded Planet mengingatkan kita banyaknya tantangan yang dihadapi. Mulai dari kemiskinan, degradasi lingkungan hingga konflik.  

Pandemi Covid-19 adalah salah satu masalah dunia dengan efek spiral yang luar biasa. The Guradian mewartakan, pandemic kali ini akan mendorong peningkatan kemiskinan global ke masa 10 yang lalu. Beberapa wilayah bahkan kembali ke masa 30 yang lalu. Peran ilmu pengetahuan menjadi keniscayaan untuk menyediakan solusinya.

Ilmu pengetahuan dan teknologi juga bisa menimbulkan keresahan dan ketakutan baru bagi kehidupan manusia. Kalau benar dugaan banyak pihak tentang tentang rekayasa kemunculan virus Sars-Cov-2 maka ilmu pengetahuan tidak hanya sulit menghindarkan kita dari krisis kemanusian tapi juteru menjadi penyebab krisis kemansusiaan. 

Bayangkan jika letupan senjata dan dentaman bom diganti dengan senjata biologis seperti virus berapa besar biaya yang harus kita tanggung. Baik kesehatan, ekonomi maupun kemanusiaan. 

Bayangkan jika pengembangan rekayasa genetik terus berlanjut tanpa protocol pengembangan yang benar. Maka betapa banyak perubahan yang terjadi pada kehidupan manusia yang tidak bisa kita kendalikan.

Menurunnya kondisi biosfer bumi makin menambah kompleksitas persoalan kemanusiaan. Bumi mengalami penipisan lapisan ozon, asidifikasi lautan, pelepasan nitrogen dan fospor, polusi akibat bahan kimia, berkurangnya debit air tawar, polusi udara, perubahan iklim hingga hilangnya keanekaragaman hayati. 

Dalam teorinya tentang "Donat Ekonomi", Kate Raworth mengibaratkan kesembilan isu tadi sebagai lingkaran terluar donat yang menjadi pelindung semua proses dalam bisofer bumi.

Dan kita sudah melampaui empat kali dari yang seharusnya dalam hal menipisnya alih fungsi lahan, pelepasan nitrogen dan fospor, perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati. Semua itu terjadi bersamaan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan. What a paradox!

Mahatma Gandhi pernah memberikan pandangan filosofisnya tentang ini. Bumi ini cukup untuk tujuh generasi, namun tidak akan pernah cukup untuk tujuh orang serakah. Ilmu pengetahuan seharusnya bisa mengantar manusia merubah cara pandang tentang mengeksploitasi bumi. Setidaknya tidak menjadikan manusia semakin serakah demi mengejar pertumbuhan dan kesejahteraan.

Persoalanpun makin kompleks dan saling bertautan saat solusi ilmu pengetahuan berjalan parsial. Kemiskinan adalah buah tidak produktifnya SDM. Ini disebabkan skill dan knowledge yang dimiliki tidak memadai. 

Keduanya disebabkan karena sarana pendidikan dan pelatihan tidak cukup optimal menyediakan wahana pengembangan SDM berkualitas. Ilustrasi kompleksitas ini mengambarkan persoalan sistemik yang tidak bisa lagi dijawab dengan solusi hasil dari pemikiran monodisiplin ilmu. Segregasi ilmu pengetahuan terlihat misalnya pada kotak-kota yang memisah-misahkan basic sciences and engineering / technology dengan humanity and social sciences.

AIPI mengingatkan pemecahan masalah kompleks yang dihadapi masyarakat tidak cukup mengandalkan pendekatan monodisiplin yang sangat terspesialisasi. 

Permasalahan ini butuh pendekatan multidisiplin, antardisiplin, dan transdisiplin pada pusat-pusat penelitian dan kajian, baik di universitas maupun di masyarakat. Keterpisahan secara tradisional terpisah (segregated) harus dijembatani. 

AIPI mengusulkan pendekatan STS (Science, Technology and Society) atau Science and Technology Studies. Dengan pendekatan ini para antropolog, filsuf, sejarawan, literature, sosiolog, serta practicing scientists and technologist dipertemukan. Mereka dibekali kemampuan memecahkan masalah-masalah dengan tingkat kompleksitas tinggi di dunia nyata.

Apakah itu yang sedang terjadi saat kita menghadapi Pandemi Covid-19? Mari kita lihat seberapa cepat ilmu pengetahuan menemukan solusinya.

Seperti kata Ian Winchester pada 1993. "Science is dead. We have killed it, you and I"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun