[caption caption="Pantai Teluk Hijau, Banyuwangi. (Dok.Pri)"][/caption]
Kereta Api Sri Tanjung mengantarkan kami bertiga melintasi tiga provinsi, dari D.I Yogyakarta menuju kabupaten paling timur di tanah Jawa, Banyuwangi. Biasanya ketika bepergian ke Timur, orang akan langsung menuju Bali dan melewatkan Banyuwangi, padahal kabupaten di tanah Blambangan ini juga tak kalah menarik ketimbang pulau Dewata.
Rabu pagi 23 Maret 2016, pukul 06:30 kami sudah berdiri manis di peron menanti kereta Sri Tanjung yang tengah dilangsir. Kereta diparkir di jalur II stasiun Lempuyangan dan memiliki konfigurasi enam gerbong ekonomi dengan total penumpang yang dapat terangkut sekitar 600 orang. Empat gerbong di depan ternyata sudah dibooking oleh rombongan siswa SMA yang hendak pergi ke Bali, beruntung kami duduk di gerbong ekor jadi tidak menjadi satu dengan rombongan siswa.
KA Sri Tanjung tidaklah semewah KA Taksaka ataupun Lodaya, dari kelasnya pun sudah jelas kalau KA relasi Jogja-Banyuwangi ini adalah kelas ekonomi. Jauhkan gambaran akan duduk nyaman, rileks dan perjalanan cepat. Dengan duduk tegak, perjalanan selama 14 jam pun dilibas dengan sempurna. Dari matahari terang hingga gelap kami masih duduk di atas kereta, hingga pukul 20:50, sesuai dengan jadwal yang tertera di tiket KA Sri Tanjung pun tiba di stasiun Karangasem, Banyuwangi. Oh ya, untuk perjalanan sejauh 600 kilometer itu cukup membayar Rp 100.000,-
[caption caption="Tampak depan Stasiun Karangasem saat pagi hari (Dok. Pri)"]
Stasiun Karangasem menjadi tempat perhentian terakhir kami, bukan stasiun Banyuwangi Baru. Alasannya, stasiun Karangasem berlokasi paling dekat ke kota, sedangkan Banyuwangi Baru diperuntukkan bagi mereka yang hendak langsung menyebrang ke Bali via pelabuhan Ketapang. Baiklah, dari Stasiun Karangasem inilah perjalanan kami menapaki Bumi Blambangan dimulai.
Banyuwangi, Kota Ramah BackpackerÂ
Pejalan muda seperti kami umumnya berkantong tipis walaupun punya semangat dan daya jelajah yang tinggi. Mengatasi kantong yang kempes itu kami berupaya menekan pengeluaran seminim mungkin, terutama dalam hal penginapan. Bersyukur, karena Banyuwangi sedang membangkitkan geliat pariwisatanya, salah satunya adalah dengan bertebarannya homestay murah yang cocok untuk backpacker.Â
[caption caption="Toko Subur, salah satu rumah toko yang disulap menjadi homestay bagi para pejalan (Dok. Pribadi)"]
Abu Tholib, seorang warga di stasiun Karangasem, tiga tahun lalu menangkap potensi ini. Baginya, Banyuwangi ibarat supermarket wisata, mau naik gunung ada, mau ke laut pun ada. Menangkap potensi ini, ia bersama isterinya menyulap rumah toko di depan stasiun Karangasem menjadi rumah singgah bagi backpacker.Â
Strategi promosi yang dilakukannya tidak banyak, awalnya hanya memasang tulisan bahwa rumahnya menyediakan kamar. Satu hal yang menjadi kunci adalah keramahan, ia bersama isterinya mengutamakan keramahan kepada seluruh tamunya hingga mereka merasa kerasan dan akhirnya menyebarkan kesan tersebut lewat blog ataupun mulut ke mulut.
[caption caption="Bapak Abu Tholib dan Ibu Dewi selaku pemilik dari penginapan Toko Subur "]
Kediaman Abu Tholib, atau dikenal dengan nama Toko Subur menjadi incaran kami. Berbekal informasi nomor telepon dari blogger, kami mencoba menghubungi Toko Subur. "Nggih, ini mas Ary ya? Monggo mas mau berapa malam disini nanti saya carikan juga motornya," sahut ibu Dewi, pemilik toko Subur di telepon.Awalnya kami hanya kirim sms, namun Ibu Dewi yang ramah itu malah balik menelpon.
Singkatnya, perjalanan kami di Banyuwangi diwarnai dengan menginap ala backpacker di Toko Subur. Harga yang dibandrol cukup murah, Rp 20.000,- per orang per malam. Murah dan berkualitas, karena kamarnya rapi, wcnya bersih juga keramahan dari pemilik homestay membuat setiap tamunya merasa betah.
[caption caption="Inilah kamar yang kami tempati. Kamar ukuran sedang ini sangat nyaman untuk ditinggali"]
Homestay-homestay murah ini banyak ditemukan di sekitaran stasiun Karangasem. Harganya beragam, mulai dari Rp 20.000,- hingga Rp 100.000,-. Selain homestay, mereka juga menyewakan sepeda motor seharga Rp 75.000,- per hari. Namun perlu diperhatikan sebelum menyewa, cek dahulu seluruh kondisi motor sebelum tanda tangan di nota. Pengalaman kami adalah lupa mengecek, hingga saat di Taman Nasional Baluran baru sadar kalau lampu motor mati. Akibatnya kami sendiri yang harus mengganti lampu itu.
Taman Nasional Baluran, Afrika Hijau dari Jawa
Hari kedua di Banyuwangi kami canangkan untuk menjelajahi Baluran. Taman Nasional ini terletak di petak batas antara Situbondo dan Banyuwangi. Saran dari beberapa orang adalah ke Baluran saat sore hari supaya binatang liarnya bisa terlihat. Saran sekedar saran, kami tetap mengunjungi Baluran di pagi hari dengan alasan supaya punya waktu lebih lama.
[caption caption="Sejoli Banteng berjalan di tengah terik matahari (Dok. Pribadi)"]
Perjalanan ditempuh sekitar satu jam lewat pelabuhan Ketapang terus ke utara. Jalanan aspal nan mulus terkadang menggoda untuk ngantuk, namun tetap harus waspada karena banyak mobil, bus dan truk yang suka menyalip tanpa aturan. Tak lama selepas gapura selamat jalan dari Banyuwangi, Taman Nasional Baluran menyambut di sisi kanan jalan.
Baluran adalah Taman Nasional yang berarti untuk wisata ke sana dibutuhkan etika, bukan sekedar having fun. Diutamakan untuk tidak membawa makanan secara terbuka karena ribuan monyet berkeliaran bebas di Baluran. Makanan, minuman, kantong indomar*t, bahkan kacamata bisa sewaktu-waktu dirampas monyet jadi usahakan semua disimpan tertutup dalam tas.
Pengunjung dikenakan tarif masuk Rp 15.000,- per orang untuk mengelilingi Taman Nasional Baluran. Tidak perlu kuatir berjalanan kaki karena motor ataupun mobil diperbolehkan memasuki area taman nasional. Dari pos masuk menuju Savana Bekol berjarak 15 Kilometer dan ditempuh hampir satu jam karena jalanan rusak.
[caption caption="Pohon yang berbentuk setengah lingkaran ini menjadi spot favorit untuk berfoto. (Dok. Pribadi)"]
Jalanan rusak terkadang membawa suka. Selain dari laju kendaraan yang harus lambat, nampaknya itu jadi alasan untuk kami menikmati vegetasi hutan hujan khas Baluran. Sesekali, beberapa ekor ayam hutan yang cantik melintasi jalanan, namun sayang tak sempat difoto.
Puas dengan jalanan berlubang yang membuat badan bergetar kami tiba di Savana Bekol yang menjadi ikon Baluran. Jika ingin merasakan sensasi Afrika yang kering, baiknya datang kala kemarau panjang. Berhubung kami tiba saat musim penghujan, maka savana ini menjadi hijau, jauh dari kuning-kuning gersang seperti di Afrika.
[caption caption="Spot foto khusus untuk pengunjung di Savana Bekol"]
Savana Bekol selain menjadi spot favorit pengunjung juga menjadi spot yang diminati gerombolan banteng. Di beberapa bagian terdapat genangan lumpur yang sangat diminati oleh kerbau-kerbau. Sesekali mereka melintasi savana, kemudian hilang kembali ditelan hutan. Menjelang sore sekawanan rusa hutan juga menampakkan dirinya seolah penasaran dengan manusia-manusia yang mungkin mengusik ketenangan mereka.
[caption caption="Tengkorak yang dipajang di sudut Savana Bekol"]
Di tengah siang bolong yang panas, kami berteduh di bawah pohon tengah savana. Pemandangan unik pun terjadi, sejoli kerbau tak kuasa menahan nafsu hingga terjadilah adegan kawin di tengah savana. Pemandangan unik bukan? Inilah alam, dimana proses reproduksi berlangsung secara natural.
[caption caption="Savana Bekol dilihat dari Menara Pandang. Jika tidak musim kemarau, kesan Afrika akan berkurang karena savana berwarna hijau bukan kuning"]
Dari Savana Bekol kami melanjutkan perjalanan ke Menara Pandang. Sebuah menara reyot bertengger di atas bukit, dari atas menara inilah kita dapat mengamati kehidupan liar di Baluran. Perlu berhati-hati karena monyet di sini mengintai bagai bandit sekalipun kita tidak membawa makanan. Di tangga sempit ternyata ada dua ekor monyet memalak kami. Tak perlu kuatir, karena monyet takut dengan sesuatu yang panjang. Cukup ayun-ayunkan tripod dan gertakan maka mereka akan lari menjauh.
Lebih masuk lagi ke Baluran kami tiba di Pantai Bama, sebuah pantai pasir putih yang tenang di laut Jawa. Puluhan monyet kembali menyambut kami. Kali ini mereka lebih garang, tak hanya mendekat mereka bahkan loncat dan duduk-duduk di jok motor.
Lupakan soal monyet, Pantai Bama menyajikan ketenangan yang membawa damai. Pantai beriak tenang ini dikelilingi oleh vegetasi mangrove atau bakau, airnya pun jernih. Beberapa ulasan di blog berkata kalau pantai ini kotor, namun saat tiba disana ulasan itu tidak terbukti. Kami beruntung karena Pantai Bama kala itu sepi, tak ada pengunjung selain kami dan monyet-monyet.
[caption caption="Pantai Bama, destinasi favorit selain Savana Bekol di TN Baluran"]
Berjalan terus mengitari hutan mangrove, Pantai Bama semakin menggoda kami untuk ngantuk. Lirik kanan kiri memastikan tak ada monyet, kami segera tidur siang dalam damai. Dari kesyahduan pantai Bama, hilir mudik kapal-kapal besar terlihat jelas. Mungkin kapal itu akan berlayar ke Bali atau pula ke belahan bumi lainnya.
[caption caption="Pantai Bama merupakan vegetasi alami dari Mangrove"]
Menutup cerita tentang Baluran, sebagai traveler yang baik sudah seharusnya tidak nyampah di manapun kita berada. Jika tidak ada tempat sampah, ya disimpan dulu sampahnya sampai menemukan tempat pembuangan. Baluran yang berstatus Taman Nasional harus dinodai beberapa sisinya akibat ulah orang-orang yang kurang sadar akan lingkungan.
[caption caption="Jika kembali ke Banyuwangi dari Baluran pasti akan melewati Watu Dodol. Inilah potret senja di Watu Dodol"]
Ijen, Potret Ketangguhan IndonesiaÂ
Naik gunung bisa jadi peristiwa jarang bagi sebagian orang, bahkan untuk para pecinta alam sekalipun toh tidak mesti setiap hari naik gunung. Ijen menawarkan fenomena unik juga ironi sosial dimana puluhan warga bertaruh nyawa menambang belerang langsung di bibir kawah yang berbahaya.
Kawah Ijen menjadi tersohor lantaran fenomena api biru atau blue firenya yang digemari oleh turis-turis asing. Di se-antero dunia hanya ada dua lokasi melihat api biru ini, salah satunya di Ijen. Mendaki Ijen pun tak terlampau sulit, gunung berketinggian sekitar 2.300 meter ini bisa didaki secara perlahan oleh pemula sekalipun.
Perjalanan kami menyaksikan kemegahan Ijen dimulai pada Kamis (24/03/2016) malam pukul 23:00. Mengendarai motor dari Stasiun Karangasem menuju Pos Paltuding tidaklah sulit. Jalanan mulus, penanda lokasi ke Ijen juga terpampang di setiap tikungan sehingga tak perlu kuatir tersesat.
[caption caption="Mentari perlahan menghapuskan gulita di Gunung Ijen"]
Seiring dengan jalanan yang menanjak, deretan rumah warga mulai berganti dengan kelebatan hutan. Sesaat sebelum memasuki Paltuding kami dikenakan retribusi dan asuransi Jasa Raharja. "Mas, di atas dingin banget loh kalau naik motor, ini monggo sarung tangannya dibeli sekalian 10 ribu saja," rayu petugas penjaga pos. Hmmm, karena kami juga lupa sarung tangan jadi tak ada salahnya kami beli sarung itu.
Baru beberapa kilometer melanjutkan perjalanan, keputusan membeli sarung tangan tadi adalah keputusan yang super tepat. Di tengah pekatnya malam suhu udara mulai menciut hingga membuat gigi bergemertak dan badan menggigil. Jarak 15 Km menuju Paltuding seolah jauh luar biasa mengingat medan yang belum dikuasai dan motor yang kurang mendukung. Sekalipun motor sewaan ini masih baru, namun karena kurang perawatan tenaganya tak cukup tangguh untuk melibas jalanan Ijen.
[caption caption="Jalanan curam berpasir menuju Puncak Ijen. Jalan ini akan licin dan berbahaya kala kemarau datang"]
Pukul 00:15 kami tiba di Pos Paltuding yang merupakan pos awal untuk mendaki Ijen. Jalur pendakian sendiri baru dibuka pukul 01:00 sehingga kami punya waktu sejenak untuk beristirahat. Malam itu adalah malam Jumat Agung yang berarti long weekend , alhasil Pos Paltuding dipenuhi oleh ratusan manusia yang ingin melihat Ijen dari dekat.
Wisatawan dari Singapura, Jerman, Belanda, juga turis-turis lokal bermunculan. Ada yang lengkap menggunakan atribut mendaki, ada yang seadanya. Ada pula yang sudah menyewa masker belerang seharga Rp 35.000,- sejak dari bawah sekalipun jarak ke kawah masih 3 Km lagi. Hal ini mungkin unik bagi kami, tapi merupakan berkah bagi para penambang belerang.
Sebut saja Maryo, seorang penambang belerang yang berbincang dengan kami. Selama 9 tahun ia tekun menjajaki Ijen setiap tengah malam hingga siang bolong demi menambang belerang. "Kalau mengandalkan hasil belerang saja sih rugi mas, gak cukup. Alhamdullilah sekarang tambah-tambah lewat sewain masker, beberapa teman penambang juga sudah kursus Bahasa Inggris jadi bisa guide turis asing, kan lumayan," paparnya.
[caption caption="Bermodalkan alat seadanya, penambang belerang beradu nasib mengais rezeki"]
Hadirnya turisme di Ijen membawa berkah tersendiri bagi penambang belerang. Uniknya adalah beberapa penambang ketika musim long weekend ini beralih profesi menjadi "Ojek Gerobak". Bermodalkan gerobak kecil pengangkut belerang, mereka menyulapnya jadi angkutan untuk manusia. "Yo, mas mbak yang tidak kuat turun naik ini saja 50 ribu sampai bawah," ucap seorang penambang muda kepada turis yang terlihat lelah.
Jika ada yang bilang rejeki selalu ada, mungkin itu juga berlaku buat Ojek Gerobak. Tak lama, sepasang sejoli yang sudah kelelahan menerima tawaran Ojek Gerobak. Alih-alih kelelahan, nampaknya mereka ingin merasakan sensasi turun gunung naik gerobak. Tongkat GoPro pun disiapkan, mereka berteriak seolah naik roller coaster sementara si penambang muda berjuang mati-matian menahan gerobak di belakang agar tidak terjungkir.
[caption caption="Gerobak belerang yang dilengkapi tuas rem di gagangnya. Gerobak ini beralih fungsi menjadi ojek untuk mengangkut wisatawan yang kelelahan"]
Sebagai pendaki pemula kami menaiki Ijen dengan waktu tiga jam. Berangkat naik pukul 01:00 dan tiba sekitar pukul 04:00. Jalan setapak menuju Puncak menanjak curam sejauh 1,5 kilometer hingga pos Bunder. Di Pos ini terdapat warung dan penimbangan belerang. Selepas Pos Bunder, pendakian menuju puncak umumnya landai namun sempit. Biasanya turis yang sudah putus asa akan mengakhiri pendakiannya di Pos Bunder.
Berpacu dengan waktu, kami mendahului beberapa rombongan untuk tiba di Kaldera Ijen. Tepat pukul 04:00 kami tiba di puncak Kaldera namun tidak sempat melihat si api biru lantaran penuh bagai pasar. Suhu di Puncak Ijen pada moment tertentu dapat menembus hingga 2 derajat Celcius. Satu kawan kami nyaris mengalami hipotermia lantaran tidak menggunakan peranti mendaki yang memadai. Tetap bergerak adalah kunci menjaga badan tetap hangat. Jika hanya duduk, perlahan udara dingin akan menusuk tulang, namun jika bergerak tubuh akan tetap terjaga hangat.
[caption caption="Bakul-bakul pengakgkut belerang yang teroggok di bibir jurang"]
Semburat fajar mulai terlihat menorehkan cahaya keemasan. Saat bersamaan pula asap belerang dari perut kaldera mulai tersingkap. Puluhan turis segera mengeluarkan senjata andalan mereka, tongsis! Berpacu dengan waktu mereka mencoba ribuan gaya dalam ribuan cekrekan foto. Sementara beberapa turis lain cukup merokok, duduk diam, ataupun bermesraan menyaksikan keindahan Ijen.
[caption caption="Kaldera Ijen"]
Lain dengan turis, para penambang belerang tetap bekerja. Mereka seolah tak mau kerjanya diusik oleh turis-turis. Kakinya yang kuat menapak mantap batu-batu Ijen seraya membawa belerang di pundaknya. Bagi kami, penambang belerang inilah yang menjadi mahkota dari Ijen. Sebuah fenomena akan kekuatan manusia menyambung hidup. Demi mengisi takdirnya, mereka tidak menghiraukan asap dan maut yang bisa menjemput kapan saja. Kontradiksi dengan kami, lahir dan besar di kota dengan segala kemudahannya namun sering kali mengeluh dengan apa yang tak kami punya.
[caption caption="Bongkahan belerang yang siap diangkut menuju Bunder"]
Matahari mulai menghangat, seiring itu pula asap belerang mengarah ke puncak kaldera. Bau khas belerang semerbak mampir di hidung para turis sehingga kebanyakan memutuskan segera turun dengan masker menempel di wajah.
[caption caption="Menikmati Ijen di pagi hari"]
Sebelum asap belerang semakin tebal, kami mengheningkan diri. Jumat itu adalah Jumat Agung, dimana dalam Iman kami hari ini adalah hari yang sakral. Mengambil posisi bersila, kami melarutkan jiwa kami dalam harmoni Ijen, memecah hosti dan kemudian berdoa.
[caption caption="Memperingati Jumat Agung di Kawah Ijen "]
Tak lupa, kami membeli beberapa cinderamata belerang dari penambang lokal disana. Tujuannya adalah satu, berbagi rezeki dengan para penambang disana. Setelah kami membeli dua buah ukiran belerang seharga Rp 10.000,- segerombolan turis lain pun turut membeli hingga dagangan sang penambang laris sempurna.
Ijen, lebih dari sekedar gunung berapi. Ia menyajikan sebuah potret akan manusia Indonesia yang sesungguhnya.
Pantai BoomÂ
Selepas Ijen, kami bertiga bak mayat hidup. Fisik kami terkuras habis setelah perjalanan membelah Baluran dan mendaki Ijen. Jumat, 25 Maret 2016 dihabiskan dengan tidur di penginapan Toko Subur. Berhubung kami bukan tipe manusia kebluk, maka tidur cukup sekitar 3 jam saja. Waktu di Banyuwangi yang terbatas harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Motor kembali dipacu, kali ini tujuannya adalah merenung di pantai kota.
Pantai Boom adalah pantai yang menghadap Selat Bali, lokasinya tak jauh dari pusat kota dan bisa diakses dengan mudah oleh kendaraan pribadi. Bau anyir khas pelabuhan menjadi penyambut kami ketika tiba di gerbang retribusi. Tiap pengunjung diwajibkan membayar Rp 2.000,- sebagai retribusi untuk pendapatan daerah.
Hari libur membuat Pantai Boom lebih meriah, lusinan turis lokal memadati bagian pantai yang teduh. Sesekali beberapa turis menginjak pasir pantai, namun karena panas mereka pun kembali mencari tempat teduh. Sekalipun tidak cantik-cantik amat, namun upaya pemerintah kota menata Pantai Boom ini patut diacungi jempol. Tak banyak sampah berserakan, lengkapnya fasilitas menjadi contoh akan keseriusan pemerintah Banyuwangi menanggapi potensi wisatanya.
[caption caption="Pelangi di Pantai Boom "]
Pelangi pun memudar dan waktu beranjak mendekati gelap. Kami bertolak menuju dermaga penyeberangan Ketapang untuk menikmati sunset. Syukurlah pelabuhan Ketapang tak seperti stasiun kereta api yang harus steril dari makhluk-makhluk non penumpang. Kami membayar karcis peron seharga Rp 4.000,- dan berkeliling pelabuhan.[caption caption="Romansa senja di dermaga Ketapang"]
Anak-anak kecil yang tak kenal takut meloncat dari dermaga ke laut. "Ayo mas, lempar koinnya nanti kita tangkep," rayunya. Kami tak punya koin, maka kami balas dengan lambaian tangan dan senyuman. Deru kapal satu persatu lepas dari dermaga menyisakan romansa senja yang indah. Beberapa minggu sebelumnya terjadi tragedi di Selat Bali dimana sebuah Ferry tenggelam dan menyisakan duka mendalam.
Green Bay, Surga di Balik Belantara
Sabtu, 26 Maret 2016 adalah hari terakhir kami untuk menjelajah Banyuwangi. Rencana kami adalah mengunjungi Taman Nasional Meru Betiri yang kesohor dengan pantai Teluk Hijau. Pada 2012 silam, pantai Teluk Hijau ini sempat masuk dalam National Geographic Traveler edisi Lintas Selatan Jawa.
[caption caption="Pantai Batu, sunyi dan sepi"]
Berbekal informasi itu kami memacu sepeda motor dari Banyuwangi ke arah selatan menuju Jember. "Pokoke masnya lurus aja terus sampai ketemu daerah Jajag nanti belok kiri," jelas pak Subur memberi arahan. Mengikuti instruksi beliau, kami tiba di daerah Jajag dan dari sinilah seluruh tanda-tanda direksi menuju Teluk Hijau lenyap.
Tak ada satupun tanda yang menginstruksikan jalan menuju Taman Nasional Meru Betiri ataupun Teluk Hijau, yang ada hanyalah panah menuju Pulau Merah. Okelah, kami ikuti arah menuju Pulau Merah. Namun kami pun ragu, tujuan utama kami adalah Teluk Hijau bukan Pulau Merah maka kami beralih strategi dari mengandalkan insting menuju GPS alias "Gunakan Penduduk Setempat"
GPS ini sangat ampuh walaupun harus berkali-kali putar jalan akibat miskomunikasi. "Masnya dari mana toh kok mau ke teluk hijau? itu bagus mas, tapi adoohhh, sampeyan jam 12 nanti baru bisa sampe sana," jelas seorang ibu tua sambil prihatin. GPS mengantarkan kami dengan selamat di Teluk Hijau, jauh lebih akurat dari GPS besutan perusahaan online raksasa.
Jalan menuju Greenbay adalah mimpi buruk. Etape pertama dilalui dengan jalanan aspal sempit tapi mulus. Selepas pertigaan menuju Pulau Merah jalanan akan memasuki wilayah perkebunan Tebu miliki PTPN, kalau tidak salah namanya Sungai Lembu. Jalanan disini hancur lebur, laju kendaraan hanya bisa dipacu di 20-30 km/jam, bisa lebih cepat jika mau menghancurkan shock breaker.
[caption caption="Menepi sejenak di Sarongan, sekedar mengistirahatkan motor dari trek yang ekstrem"]
Nyaris putus asa, karena tidak ada penanda arah menuju Teluk Hijau. Di gerbang perumahan PTPN barulah terdapat sebuah plang kayu kecil yang menuliskan Teluk Hijau sejauh 9 Kilometer. Semangat kami kembali memuncak, kemudian jalanan kembali beraspal mulus ketika memasuki desa Sarongan.
Selepas Sarongan, jalanan menjadi lebih buruk lagi. Warga menarik retribusi sebesar Rp 2.000,- per orang, kemudian kami terus melaju hingga tiba di pos penjagaan Taman Nasional Meru Betiri. Pengunjung kembali membayar Rp 7.500,- kepada Perhutani selaku pengelola dari Taman Nasional. Di Taman Nasional Meru Betiri terdapat beberapa pantai selain Teluk Hijau, diantaranya adalah Wedi Ireng dan Sukamade. Karena waktu yang terbatas, tujuan kami hanya sebatas Teluk Hijau.
Jalan menuju Teluk Hijau menanjak, berbatu dan berlumpur. Sungguh kasihan motor sewaan yang kami kendarai karena harus menempuh medan ekstrem. Tiba di pos parkir, kami kembali membayar Rp 5.000,- untuk biaya parkir. Perjalanan belum usai, menuju Teluk Hijau masih harus berjalan kami sejauh 1 Kilometer menuruni bukit, ya hitung-hitung hiking.Â
Kondisi hutan masih sangat astri terjaga, terdapat larangan tidak membuang sampah juga mengambil apapun dari dalam hutan. Ekosistem hutan hujan tropis di Meru Betiri menyimpan kekayaan vegetasi, dan dibalik kekayan itulah tersimpan permata berupa pantai Teluk Hijau.
[caption caption="Panorama Stone Beach"]
Kami tiba di bibir pantai. Baju sudah bau keringat dan napas ngos-ngosan, laksana anak kecil kami bersorak girang melihat pantai yang masih asri dan sepi orang. Namun agak kecewa karena pantainya berbatu. Kelelahan, kami pun membuka baju dan tidur siang selama satu jam. Muncul pertanyaan menggantung, "Katanya pantainya Ijo banget yak, kok malah batu doang sih isinya?" gumamku dalam hati.
Kami kembali mengepak ransel dan berjalan mengitari pantai Batu. Waw, kami terbelalak, ternyata di balik pantai Batu tadi tersembunyi Pantai Teluk Hijau yang kesohor itu. Menyesal karena dua jam kami habiskan dengan tidur siang, kami segera menembusnya dengan berenang di laut.
[caption caption="Tersembunyi di balik belantara Meru Betiri, Pantai Teluk Hijau menawarkan keasrian"]
Pantai Teluk Hijau memang berwarna hijau. Karena warnanya itulah banyak orang tertarik dan penasaran mengunjunginya. Tak hanya turis lokal, turis bule juga betah berlama-lama di pantai ini. Sekalipun indah, Teluk Hijau tetap berombak besar jadi harus ekstra hati-hati ketika berenang disini. Lokasi pantai yang jauh dari akses warga menjadikan tempat ini tetap terjaga lestarinya. Tak ada warung ataupun penjaja makanan disini, jadi siapkan bekal jika memang tak tahan lapar.
Pasir putih halus, deburan ombak dan hijaunya air membayar lunas semua kelelahan selama tiga jam perjalanan. Salah satu alasan mengapa tak banyak penanda arah kesini mungkin supaya tak banyak orang yang berkunjung. Pantai nan cantik ini sejatinya harus dijaga dari ulah turis-turis alay yang tak peduli lingkungan.
[caption caption="Musim liburan mendatangkan puluhan turis, perahu nelayan pun disiapkan untuk memenuhi kebutuhan wisata"]
Di tengah keasyikan menikmati pantai, mendung pekat pun turun seolah mengusir kami dari Teluk Hijau. Belum sempat menyentuh parkiran, hujan lebat turun mengguyur. Tanah menjadi becek dan super licin, harus berhati-hati karena kalau terpeleset bisa-bisa langsung jadi almarhum dan masuk jurang.
Perjalanan pulang lebih buruk daripada berangkat, motor terperosok dan kami terguling akibat jalanan licin. Kondisi motor dan badan sudah tidak karuan, jadi kami mencoret Pulau Merah dari daftar destinasi terakhir. Perjalanan dilanjutkan menuju Banyuwangi dengan perut keroncongan.
Beruntung kembali, kami menemukan penjaja buah naga di sepanjang jalan menuju Jajag. Murah bukan main, buah naga disini hanya dijual seharga Rp 2.000,- hingga Rp 5.000,- per kilogram. Padahal di Jogja harganya bisa mencapai Rp 25.000,- per kilo. Kalap, kami memborong lima kilogram buah naga. Belum cukup disitu, sang pemilik kebun sekaligus toko ini menyodorkan buah naga tambahan yang membuat kami kenyang.
"Warga disini sudah kenyang sama buah naga, dikasih pun nggk mau mas. Beberapa buah sih dikirim ke kota, tapi ya banyaknya dijual sendiri di depan rumah seperti ini," ungkap ibu penjual Buah Naga. Mereka kaget ketika kami beritahu kalu di Jogja harganya Rp 25.000 per Kg. Melimpahnya produksi buah naga tidak dibarengi dengan alur distribusi yang baik sehingga pada akhirnya Buah Naga yang merona ini hanya teronggok di pinggiran jalan Jajag-Srono menanti pembeli yang jarang mampir.
Banyuwangi, Kamu Wangi seperti Namamu
[caption caption="Taman Blambangan Banyuwangi"]
Banyuwangi memang harum, seharum namanya. Kota di ujung timur Pulau Jawa ini kerap luput tertelan ketenaran Bali. Di balik potensi alamnya yang indah, Banyuwangi menyimpan manusia-manusia ramah yang menjadi potret sejati dari bangsa Indonesia.
Jadi kawan, siapkan pundi-pundimu dan semangatmu untuk menjelajah Banyuwangi.
Oh ya,ini rincian kasar kami selama di Banyuwangi:
- Tiket KA Jogja - B.wangi     : Rp 100.000,-
Tiket KA B.Wangi - Jogja     : Rp 100.000,-
Penginapan per malam      : Rp 20.000,-
Sewa motor per 24 jam      : Rp 75.000,-
Semua harga di atas bisa menjadi lebih murah ketika kita pergi dalam tim. - Salam hangat dari Jogja
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H