Mohon tunggu...
Aryanto Wijaya
Aryanto Wijaya Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Bekerja sebagai Editor | Jatuh cinta pada Yogyakarta Ikuti perjalanan saya selengkapnya di Jalancerita.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Banda Aceh, Pesona Dibalik Repihan Tsunami

21 Agustus 2015   17:01 Diperbarui: 21 Agustus 2015   17:01 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Bangunan sisa UGD Rs. Meuraxa yang kini dijadikan monumen"][/caption]

Banda Aceh, salah satu kota impian saya sejak kecil. Entah mengapa, saya selalu berharap suatu saat bisa menginjakkan kaki di Bumi Serambi Mekah ini entah bagaimanapun caranya. Pucuk dicinta ulam tiba, bulan Juni 2015 seorang kawan dari Jerman yang bernama Johannes Tschauner mengundang saya untuk bergabung dengannya dalam perjalanan Sumatra Overland Journey atau perjalanan melintasi Sumatra selama 30 hari.

Sebelumnya kami singgah selama beberapa hari di Medan. Sesak, padat, polusi dan teriakan “Hello, Mister!” cukup menganggu perjalanan, sehingga kami memutuskan tidak akan memperpanjang waktu singgah di Medan. Kami pun menuju Bukit Lawang selama lima hari kemudian berpindah ke Banda Aceh.

Saya bergeming ketika tiba di Terminal Bus Banda Aceh. Duduk manis selama 14 jam di kursi bus membuat badan ini serasa remuk. Teriakan puluhan tukang ojek yang bersahutan tak saya pedulikan sembari mata saya jeli mencari sesosok orang yang bernama Trinopi. “Mas Ari, dari Jogja ya? Ayo mas!” sahut sesosok pria berperawakan sedang seraya menarik lengan saya.

Lega rasanya, ketika tiba di Banda Aceh dan disambut oleh seorang rekan yang bekerja sebagai volunteer dari sebuah lembaga non-profit yang berkedudukan di Jawa. Sebelumnya, saya dan Trinopi tidaklah saling mengenal, hanya berdasarkan rekomendasi dari beberapa teman di Jogja dan Bandung akhirnya saya diberikan nomor handphone dan disuruh untuk menghubunginya.

Trinopi Haryanto (33) telah tinggal dan menetap di Banda Aceh selama lebih dari enam tahun. Pekerjaannya sebagai volunteer memang telah menjadi passion dan panggilan hidupnya. Pria yang berasal dari Solo, Jawa Tengah ini mengaku bersyukur bisa menjadi bagian dari masyarakat Aceh untuk pulih dan membangun kembali kotanya selepas terpaan bencana Tsunami.

Menaiki sebuah mobil Colt L-300 milik Yayasan tempat Trinopi bekerja, kami berkeliling Banda Aceh. Kami juga diajak singgah sejenak di rumah Trinopi yang terletak di area pelabuhan Ulee-Lheue. Wilayah ini termasuk salah satu wilayah yang paling parah terdampak tsunami karena lokasinya yang tepat berada di depan garis pantai.[caption caption="Bersama keluarga Trinopi di Ulee-Lheue"]

[/caption]

Suasana siang itu terik dan sepi, tampak beberapa anak sedang bermain dan sontak berteriak “Hei Mister! Bule! Bule!,” ketika kami melintas. Ada satu yang menarik perhatian dari Ulee-Lheue yaitu terdapat sebongkah bangunan bertingkat yang nyaris hancur total akibat gempuran gelombang Tsunami sebelas tahun silam. Bangunan yang dahulu adalah UGD Rumah Sakit Meuraxa kini dijadikan monumen oleh Pemerintah Aceh.

Tak jauh dari monumen, terdapat lapangan berumput yang teduh. Namun, siapa sangka di tengah lapangan tersebut terbaring sekitar 14.000 syuhada Tsunami yang gugur dan tak bisa lagi dikenali. Berdiri menghadap lapangan tersebut, saya terdiam, saya merinding bukan karena takut hantu tetapi pikiran saya melayang, membayangkan peristiwa minggu pagi sebelas tahun silam.

[caption caption="Pemakaman massal Syuhada Tsunami di Ulee-Lheue"]

[caption caption="Helikopter yang rusak di Ulee-Lheue"]
[/caption][/caption]

Terbayang kepanikan, jerit tangis, kehilangan yang mendalam dan juga keputusasaan dari setiap mereka yang selamat. Mereka yang tak sempat meloloskan diri pada akhirnya tergulung ganasnya gelombang dan harus gugur menghadap sang Khalik.

Peristiwa Tsunami tentunya kisah pilu tak hanya bagi masyarakat Aceh, namun juga bagi Indonesia dan dunia. Ratusan ribu nyawa melayang akibat alam yang bergejolak, namun tak dipungkiri juga karena minimnya infrastruktur manajemen bencana.

Berkaca dari peristiwa tersebut, kini terdapat bangunan megah yang dibangun di sekitar Ulee-Lheue. Tsunami Evacuation Centre dibangun atas kerjasama Indonesia dengan lembaga internasional. Bangunan ini ditujukan sebagai bangunan penyelamat kala Tsunami menyerang dan juga sebagai musem, sarana edukasi bagi masyarakat untuk menyelamatkan diri.

[caption caption="Banda Aceh dari Ulee-Lheue"]

[/caption]

Namun, sayang, bangunan tersebut tidaklah terawat seutuhnya. Jalan masuk menuju gedung bagian atas dipalangi oleh kursi panjang. Tak ada pengunjung, tak ada murid sekolah, hanya beberapa satpam yang menjaga disana. Setelah meminta izin, kami menaiki gedung tersebut dan tiba di bagian teratasnya.

Pemandangan kota Banda Aceh terhampar luas. Menara-menara masjid berdiri kokoh mengumandangkan kebesaran Pencipta dan garis pantai nan biru menghiasi ujung kota. Dari kejauhan terlihat juga sepucuk menara dari Masjid Raya Baiturahhman yang tetap berdiri kokoh kala tsunami menyerang.

“Sepi sih disini kalau tidak ada simulasi bencana, tapi kalau ada pun, hanya sedikit warga yang mau ikut,” tutur Yuliana (30) warga Ulee-Lheue seraya menceritakan lebih lanjut kisah dirinya dan keluarga kala Tsunami datang. Mungkin masih ada trauma yang tersisa sehingga ada warga yang enggan mengikuti simulasi, padahal sejatinya simulasi itu penting manakala bencana serupa terjadi maka bisa diantisipasi.

[caption caption="Kapal PLTD Apung yang terdampar di darat kota Banda Aceh"]

[/caption]

Selain Ulee-Lheue, di tengah kota juga terdapat monumen PLTD Apung yang adalah sebuah kapal besar milik PLN. Gelombang Tsunami telah menghanyutkan kapal tersebut dari lepas pantai ke tengah kota. Saat gelombang mulai surut, kapal yang bobotnya 2.600 Ton pun kandas di tengah kota. Akibat terlalu besar, maka kapal tersebut kini dijadikan monumen dan sekaligus objek wisata.

Bertolak dari peninggalan pedihnya Tsunami. Di pusat kota, tampak kesibukan yang lumrah terjadi di kota-kota besar. Aktivitas perdagangan, kegiatan keagamaan di Masjid Baiturahman dan juga penjaja makanan dadakan di bulan Ramadhan mewarnai Banda Aceh.

[caption caption="Sentra kuliner Peunayong"]

[/caption]

Pasar Peunayong, salah satu pasar yang terdampak bencana pun kini telah kokoh menatap masa depannya. Kegiatan jual beli ramai dilakukan dan jika malam, pasar ini berubah menjadi sentra kuliner pinggir jalan. Beragam makanan dijual disini dan tentunya dengan harga terjangkau.

Saya dan Johannes memesan sepiring nasi goreng khas Aceh seharga Rp 12.000,- per porsi. Tak banyak yang bisa kami cicip karena dompet telah menipis. Seraya menyantap makan malam, kami menutup perjalanan kami di Banda Aceh sebelum kembali merayap turun ke selatan menuju Takengon.

[caption caption="Ikon sejati Banda Aceh, Masjid Raya Baiturrahman"]

[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun