Mohon tunggu...
Aryanto Wijaya
Aryanto Wijaya Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Bekerja sebagai Editor | Jatuh cinta pada Yogyakarta Ikuti perjalanan saya selengkapnya di Jalancerita.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Penasaran Isi Surga? Datang Saja ke Danau Toba!

21 Agustus 2015   12:51 Diperbarui: 21 Agustus 2015   12:56 621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Danau Toba dilihat dari Jalan Trans Medan-Pangurururan"][/caption]

Sebagai orang Indonesia, sering kita mendengar kalimat “Tuhan menciptakan Indonesia ketika sedang tersenyum.” Kalimat tersebut bisa jadi kita aminkan meskipun belum pernah mengelilingi dan melihat secara langsung keseluruhan Indonesia dari Sabang hingga Merauke. Namun, tak perlulah mengayun kaki jauh-jauh, toh dari sajian televisi dan internet kita pun bisa mengakui kalau alam Indonesia memang indah.

Membentang di sepanjang khatulistiwa dengan 17.000 pulau dan 260 juta lebih penduduk memang menjadi nilai lebih Indonesia. Ditambah lagi dengan sabuk pegunungan berapi yang melintasi Indonesia menjadikan tanah di negeri ini subur.

Di sebelah barat Indonesia, tepatnya di Sumatra Utara, Danau Toba hadir sebagai saksi atas peristiwa mahadahsyat jutaan tahun lalu. Berawal dari gunung api purba Toba yang meletus dahsyat, terbentuklah sebuah danak tektonik raksasa yang kini menjadi danau terbesar di Indonesia. Uniknya, di tengah danau tersebut terselip sebuah pulau yang dinamai Samosir.

Dinas Pariwisata setempat memiliki slogan untuk pulau Samosir, yaitu Negeri Indah Kepingan Surga. Kepingan surga? Memangnya sudah pernah lihat surga? Nah, menginjakkan kaki ke Samosir seolah menegaskan kembali sebuah statement yang mengatakan kalau Indonesia diciptakan ketika Sang Maha Agung sedang tersenyum.

Perjalanan menuju Samosir saya tempuh dari Berastagi menggunakan angkutan umum. Dengan ransel berbobot 15 kilogram di punggung, perjalanan dimulai dengan menaiki angkot dari depan Wisma Sibayak Berastagi menuju Terminal Kabanjahe (Rp 4.000,0). Setibanya di Terminal, lanjut menaiki bus (mobil elf) yang dioperasikan oleh P.O Sepadan menuju Pematang Siantar (Rp 28.000,-). Singkirkan sejenak gambaran kalau bus disini itu nyaman seperti bus eksekutif AKAP di Jawa.

[caption caption="Bus umum P.O Sepadan trayek Siantar-Kabanjahe. Foto diambil saat bus masih lowong, belum sesak penumpang"]

[/caption]

Perjalanan ke Siantar ditempuh selama empat jam. Bus yang kecil ini tetap menaikkan penumpang sekalipun seluruh kursi sudah penuh, alhasil banyak penumpang berdiri sembari membungkuk. Uniknya, sang kenek, pinggang sampai kakinya berada dalam bus tetapi sisa badannya mencuat keluar jendela, sungguh berbahaya. Suasana sesak masih diperparah oleh penumpang yang merokok bagai kereta api. Untuk menyempurnakan kesesakan perjalanan ini, tak lupa sang sopir memutar lagu-lagu berbahasa Batak yang bisa dibilang cukup menghibur perjalanan.

Setibanya di Siantar, saya beralih menaiki bus P.O Sejahtera menuju Parapat (Rp 15.000-). Perjalanan ditempuh selama satu jam, dan setibanya di Parapat, wajah yang sudah lesu akibat sesaknya perjalanan mulai bisa tersenyum tatkala melihat Danau Toba yang menghampar luas.

[caption caption="Menjemput Senja naik kapal Ferry seharga Rp 15.000 dari TIgaraja-Tuktuk "]

[/caption]

Memandangi Danau Toba hanya dari Parapat saja tidak cukup, naiklah perahu dari pelabuhan Tiga Raja yang berangkat setiap jam ke Tuk-tuk. Cukup membayar Rp 15.000,- kita bisa mendarat di Tuk-tuk, Pulau Samosir. Tersedia banyak penginapan mulai dari kelas backpacker  seharga Rp 40.000,- per malam hingga kelas elite yang berharga jutaan.

Tuk-tuk, aktivitas penduduk disini bergantung pada sektor pariwisata. Kehadiran turis-turis baik domestik maupun asing mendongkrak perekonomian warga dengan membuka hotel, restoran, sewa motor, sepeda dan juga warung-warung kecil lainnya. Berada di Tuk-tuk sungguh damai. Tak ada kebisingan, tak ada polusi udara apalagi kemacetan. Jika berjalanan ke sisi utara kita bisa duduk-duduk di bukit berumput hijau seraya memandang luas dan eloknya Danau Toba.

[caption caption="Masakan spesial khas Samosir"]

[/caption]

Saya cukup beruntung karena ketika di Tuk-tuk bertemu dengan orang tua dari seorang kawan yang sama-sama berkuliah di Jogja. Restoran Elios namanya, sebuah restoran yang menyajikan masakan khas Samosir sangat recommended untuk dikunjungi. Saya beruntung, berbekal modal sok kenal dan mujurnya, dijamu makan gratis oleh pemilik dari Restoran Elios. 

 

[caption caption="Dari atas bukit di Tuk-tuk, kita bisa melihat panaroma nan indah"]

[/caption]

Jika masih memiliki cukup waktu dan tenaga, ada baiknya menyewa sepeda motor. Biasanya pihak homestay akan menyediakan motor seharga Rp 90.000,- per hari sudah termasuk bensin. Setelah meminta peta wisata, berangkatlah menuju kota Pangurururan yang merupakan pintu masuk Samosir via jalur darat. Perjalanan ke Pangururuan ditempuh dalam dua jam melewati Tomok dan Ambarita.

Sepanjang perjalanan mengitari danau, kita bisa melihat rumah-rumah khas Batak yang berjejer rapi. Jalan raya pun sudah diaspal dengan baik, hanya di beberapa bagian saja yang mengalami kerusakan. Setibanya di Pangurururan, terdapat sebuah Gereja Katolik Inkulturasi yang menarik perhatian karena arsitekturnya yang menggunakan style Batak. Siapapun bisa masuk ke pelataran Gereja, baik itu mau beribadah ataupun sekedar mengagumi dan foto-foto, dipersilahkan asalkan sopan.

[caption caption="Gereja Katolik yang dibangun dengan memadukan budaya lokal"]

[/caption]

Selepas dari Pangururuan, pacu kembali sepeda motor menuju Bukit Tele yang berjarak sekitar 30 kilometer. Perjalanan menjadi semakin menarik karena jalanan yang semula hanya mengitari danau kini mulai menanjak dan mengitari bukit. Danau Toba terlihat dari ketinggian dan sungguh elok.

Sebelum mencapai Menara Pandang Tele, kita bisa singgah di Air Terjun Efrata. Lokasinya berada di jalan utama Pangururuan – Medan dan tersedia papan penunjuk yang memadai. Dari jalan utama, menuruni kelokan-kelokan tajam, kemudian menanjak lagi melewati jalan berbatu. Pastikan motor dalam kondisi prima, karena jika mogok siap-siaplah mendorong motor melewati jalanan menanjak.

Air Terjun Efrata terlihat dari kejauhan. Mengalir deras dari kekarnya perbukitan, air terjun ini memiliki dua tingkatan. Namun, pengunjung hanya bisa melihat dari dekat di tingkat bawahnya saja. Tak banyak turis yang berkunjung kesini, sekalipun pada musim Lebaran. Ketika berada di sini saya hanya menjumpai beberapa turis domestik dari Medan yang selalu sibuk dengan tongsisnya.

[caption caption="Sejuknya menikmati Air Terjun Efrata"]

[/caption]

Puas merasakan segarnya air terjun, motor kembali dipacu menuju bukit Tele. Tak perlu terburu-buru untuk sampai ke tujuan karena perjalanan untuk menuju Bukit Tele terlalu indah untuk dilewatkan. Danau Toba dari sisi utara begitu elok, bagaikan replika surga buatan Sang Maha Agung. Bukit-bukit berpohon cemara mengitari danau nan tenang disertai hembusan angin sejuk yang merayap turun dari puncak-puncak bukit.

[caption caption="Danau Toba nan tenang"]

[/caption]

Setibanya di Menara Pandang Tele, pengunjung diwajibkan membayar retribusi sebesar Rp 2.000,-. Namun, sayang seribu sayang, kondisi menara Tele tidak terlalu baik. Kaca-kacanya sudah buram dan beberapa bagian atapnya sudah jebol. Menara Tele cukup sempit sehingga untuk menaikinya harus bergantian jika tidak mau berdesakan selama diatas.

Dari atas menara Tele, subur dan hijaunya tanah vulkanik di sekitar Toba sungguh menawan. Jalan raya yang berkelok mengitari bukit terlihat kecil bak ular yang sedang melata. Tak ada yang ingin beranjak pergi dari Menara Tele, panorama yang disuguhkan begitu luar biasa sehingga wajar saja jika Dinas Pariwisata Kab. Samosir menjuluki negerinya sebagai “Negeri Indah Kepingan Surga”

[caption caption="Panorama dari Menara Tele"]

[/caption]

Matahari nampaknya sudah lelah, sinarnya telah meredup dan memaksa saya untuk kembali ke Tuk-tuk. Perjalanan saya di Samosir, saya habiskan selama 13 hari bersama kawan-kawan dari Jerman, Inggris dan Perancis. "Negeri Indah Kepingan Surga", bukan hanya slogan belaka. Mari datang ke Samosir, nikmati ketenangannya dan berbangga dirilah karena menjadi bagian dari Indonesia. 

 

Baca juga :

Traveling bersama Bule-bule 

Ikuti juga kisah perjalanan kami di Instagram: #SumatraOverlandJourney

[caption caption="Sumatra Overland Journey!"]

[/caption][caption caption="Yanto dan Paijo di Gunung Sibayak. Follow our Journey on Instagram: #SumatraOverlandJourney"]
[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun