Rasanya mendaki gunung itu gak enak banget. Nanjak gak sampai-sampai, hujan kehujanan, bawa bawaan berat lagi, turun serasa dengkul mau copot, pulang-pulang badan dan kaki sakit semua. Padahal lebih enak duduk manis di rumah sambil nonton TV, ini malah milih nginep di tenda sambil menggigil kedinginan. Kapok pisan euy. Begitu sih rasanya derita saat di gunung. Tapi yakin kapok??
*****
Pagi itu, warna langit di ufuk timur mulai merona merah, Puncak Gunung Gede dan Gunung Salak terlihat gagah dari kejauhan. Meskipun beberapa hari sebelumnya hujan turun deras, tetapi sabtu itu tampak cerah. Mobil yang kami tumpangi meluncur melewati kawasan Puncak menuju Cipanas. Kami berenam, 2 laki-laki dan 4 perempuan, akan mendaki Gunung Gede. Sengaja kami pilih jalur berbeda, yaitu berangkat lewat jalur Gunung Putri dan pulang lewat Cibodas.
Saya sendiri meskipun sudah bolak-balik main ke curug-curugnya, belum pernah mendaki sampai ke puncaknya. Bahkan dulu tidak terlalu berminat ke sana. Jadi buat saya ini pendakian pertama. Biasanya saya lebih suka tektok, karena yang didaki gunung semacam Papandayan, Kawah Ijen, Dieng atau Bromo hehe.
Sekitar jam 8.30 kami sampai di pintu gerbang Gunung Putri. Tempatnya tidak seluas gerbang jalur Cibodas tetapi cukup banyak pendaki yang memilih memulai pendakian dari sini. Setelah mengecek semua perlengkapan, kami bergegas menuju pos penjagaan untuk melapor. Sebenarnya jarak dari gerbang ke pos penjagaan tidak terlalu jauh, tapi terasa sangat melelahkan, terutama dengan bawaan tas keril di punggung yang lumayan berat. Hmm...padahal ini belum ada seberapa ya.
Di pos penjagaan, petugas taman nasional melakukan pengecekan standar pada setiap rombongan yang akan naik, dan mengakhiri dengan kalimat yang membuatku tersenyum. Intinya begini “Selamat mendaki, jangan lupa bawa sampahnya turun dan semoga kalian kapok naik gunung”.
Tak berapa lama mendung semakin menebal, kabut mulai menyelimuti pepohonan pinus dan rintik hujan mulai turun. Bergegas kami mempercepat langkah dan berhenti di pos pertama (Legok Leunca). Sebagai informasi, jalur Gunung Putri memiliki 5 pos sebelum sampai ke Puncak Gede yaitu Legok Leunca – Buntut Lutung – Lawang Saketeng – Simpang Maleber – Alun Alun Suryakencana dengan jarak tempuh sekitar 8,5 km. Nah, Alun-alun Suryakencana itulah tujuan kami menginap malam itu.
Ternyata cuaca cerah tidak berlangsung lama, kami harus segera memakai jas hujan karena hujan semakin deras. Di sana kami bertemu pendaki lain yang sedang berteduh dari berbagai macam usia. Ada pendaki, mungkin tepatnya pelari, yang bikin kami melongo karena dalam 5 jam sudah sampai puncak dan balik lagi ke pos 1, dan katanya dia akan turun lagi lewat jalur Cibodas. Ada juga pendaki cilik yang ikut serta orang tuanya mendaki. Bahkan ada seorang pendaki pria yang menggendong anak balita di punggung.
Karena hujan tidak kunjung mereda, mau tidak mau kami harus kembali berjalan. Untunglah meskipun becek, akar-akar pohon dan batu-batu yang menjadi pijakan kami tidak begitu licin. Tapi tetaplah berhati-hati, beberapa kali betis saya kram saat melewati batang pohon tumbang yang agak tinggi.
Lama-kelamaan perjalanan menjadi terasa berat, dan saya selalu tertinggal jauh di belakang ketimbang 5 orang teman saya yang lain. Entah karena oksigen yang makin menipis, rasa mual dan mengantuk kian menjadi. Coklat dan perbekalan yang saya bawa bahkan jarang sekali tersentuh, inginnya cuma duduk sambil selonjoran.
Bagi pendaki pemula macam saya, jalur ini terasa agak sadis, soalnya jarang bonusnya. Apalagi hujan seolah-olah tumpah dari langit, semakin deras sehingga terpaksa saya mengeluarkan payung supaya kacamataku tidak terlalu basah. Semakin menanjak, semakin banyak bertemu rombongan pendaki lain yang sedang beristirahat di sepanjang jalur pendakian.
Setelah berhenti beberapa kali, kami memutuskan beristirahat agak lama untuk menyantap makan siang dari perbekalan yang dibawa. Lumayanlah mengurangi beban di punggung. Akhirnya di bawah flysheet dan guyuran hujan kami berteduh, wuih kayaknya so sweet banget hehe. Sayangnya gak punya foto yang bagus, udah gak kepikiran buat foto-foto.
Tak terasa sudah jam 2 lewat, kami harus melanjutkan perjalanan. Setengah perjalanan berhasil kami lewati. Entah sudah melewati berapa pos, saya tidak terlalu memperhatikan lagi karena posnya pun sudah tidak jelas. Ternyata makan siang itu cukup memberi energi bagi saya, jadi lebih kuat berjalan.
Mungkin posisi kami saat itu setelah melewati pos Lawang Saketeng. Namun, medannya semakin terjal sehingga langkah kaki kembali melambat. Kami harus melewati akar-akar pohon dan kemiringannya sekitar 35-40 derajat. Sepanjang jalan banyak rombongan pendaki lain yang bertebaran untuk beristirahat, terkadang kami saling dahulu mendahului, suasananya sudah mirip pasar. Saling canda, sapa, dan menyemangati sudah jadi hal biasa di antara para pendaki untuk mengalihkan rasa lelah.
Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore, tapi perjalanan seakan tidak ada ujungnya. Entah sudah berapa kali kami berhenti. Waktu itu yang ada dalam pikiran saya hanya ingin tidur. Karena takut tidak keburu sampai alun-alun sebelum maghrib, akhirnya saya dan 2 orang teman lain yang tertinggal memutuskan untuk sholat ashar saat itu juga.
Benar saja, kami tiba di Alun-alun Suryakencana saat hari sudah gelap, tepatnya jam 7 malam. Berarti total waktu yang kita tempuh dari pos penjagaan mencapai 10 jam, molor 2-4 jam dari estimasi perjalanan normal yang memakan waktu 6-8 jam. Udah gitu kami masih harus berjalan menyusuri alun-alun ke arah barat sampai tempat kami mendirikan tenda, dan kami sengaja mencari tempat yang tidak terlalu jauh dari sumber mata air. Jaraknya mungkin seperti berjalan dari satu sisi Kebun Raya Bogor ke sisi lainnya, kalian bayangkan saja sendiri.
*****
Setelah mendirikan tenda, makan minum seadanya ala anak gunung seperti mie instan, cemilan dan minum teh hangat, kamipun beristirahat. Udara di alun-alun terasa dingin menusuk tulang tapi menurut saya tidaklah terlalu ekstrim. Di luar, hujan gerimis kembali turun menjelang tengah malam. Sayup-sayup masih terdengar suara teriakan dan canda tawa orang-orang di luar tenda.
Waktu seakan berjalan merayap, saya tidak benar-benar bisa tertidur malam itu. Rencana memotret milkyway gagal total, karena langit sedang mendung, sama sekali tidak ada bintang. Menjelang subuh, terdengar suara orang mengumandangkan adzan dari tenda lain, saya bergegas sholat.
Pagi itu di Alun-alun Suryakencana dilalui tanpa sunrise, pokoknya kabut melulu deh judulnya. Sementara menunggu hari terang, kami kembali masak-masak. Bekal makanan yang seabreg-abreg banyak yang tidak sempat dimasak, hanya nugget dan kebab saja jadi sarapan kami saat itu.
Asal tau saja, kami terlalu banyak membawa bekal makanan, mulai dari beras, wortel, kentang, brokoli dan bahan-bahan buat sayur sop, kacang hijau dll, tapi banyak yang akhirnya diberikan ke pendaki lain atau tukang jualan di Puncak Gede. Hmm... itu sebenarnya ide dari dari salah satu rombongan kami, tapi ternyata pada males makan apalagi masaknya hehe. Saya hanya tertawa dalam hati, kayak mau nginep beberapa hari aja, bikin beban bawaan makin berat.
Menjelang jam 10 pagi kami bersiap-siap ke Puncak Gede. Sebelumnya tak lupa berfoto-foto ria, meskipun gak dapet sunrise setidaknya bisa mejeng di antara bunga edelweis yang masih kuncup. Kami juga sempat mengambil air minum langsung dari mata airnya, rasanya seger banget ngalahin rasa air mineral merek ternama.
Perjalanan dari alun-alun ke Puncak Gede gak kalah capeknya. Beda ketinggiannya hanya sekitar 200 m, tetapi kemiringannya luar biasa. Fisik yang sudah kelelahan membuat saya terduduk berkali-kali dan serasa ingin muntah. Setelah hampir 2 jam akhirnya saya sampai di puncak.
Di sanapun ternyata pemandangan 3 kawah Gunung Gede dan Puncak Pangrango tertutup kabut, begitu juga dengan gunung-gunung di sekitarnya. Untungnya pemandangan Alun-alun Suryakencana masih kelihatan. Ya sudah, lupakan foto-foto ciamik, yang penting sudah berhasil sampai di ketinggian 2958 m dpl.
Apesnya lagi karena saya pakai sepatu trekking yang kurang nyaman, dengan alasnya agak tinggi terutama di bagian tumitnya. Otomatis ketika posisi jalan menurun ujung jari-jari kaki terutama jempol akan terbentur ke bagian ujung sepatu meskipun saya berusaha mendarat dengan tumit, apalagi saya tidak memakai tongkat untuk menahan beban tubuh dan itu berlangsung terus sepanjang perjalanan turun.
Ditambah lagi jalur Cibodas yang kontur jalannya dibuat berbatu-batu, membuat langkah demi langkah kaki terasa menyiksa. Hujanpun seakan tak mau ketinggalan untuk mengiringi perjalanan kami turun.
Jalur Cibodas sebenarnya lebih landai dibanding Gunung Putri, tetapi jarak tempuh lebih panjang sekitar 11 km dengan 14 shelter (dari bawah menuju puncak : Tarengtong-Telaga biru - Panyangcangan (Simpang Cibereum) - Rawa denok 1 - Rawa denok 2 - Batu kukus 1 - Batu kukus 2 - Batu kukus 3 - Pondok Pemandangan - Air panas - Kandang batu – Panca Weleuh - Kandang Badak).
Banyak banget ya, pantesan gak sampai-sampai. Ada beberapa tempat bagus seperti curug (air terjun Panca Weuleuh) dan sumber air panas. Tetapi jujur saya tidak bisa menikmati perjalanan turun itu dengan baik karena menahan sakit di jari-jari kaki. Yang saya pikirkan gimana bisa cepat sampai di bawah dan menaruh beban bawaan keril.
Di jalur ini hanya diberi pegangan berupa seutas tali, dan pijakan batu, padahal jalurnya licin dan sempit dengan sisi kiri jurang. Di Pos Rawa denok 2, saya dan 3 orang teman menunaikan sholat Ashar dengan air wudhu dari air pada daun-daun yang tersiram air hujan, sedangkan 2 orang lainnya sudah jalan duluan. Waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore ketika kami mulai melanjutkan perjalanan kembali. Saya kembali tertinggal jauh di belakang dibanding teman saya yang lain padahal hari sudah mulai gelap.
Berkali-kali saya didahului oleh pendaki lain. Saya cuma bisa pasrah sambil berjalan perlahan sembari berdoa. Lutut saya yang lunglai membuat langkah kaki menjadi kurang kokoh untuk menahan beban tubuh. Saya terjatuh sampai dua kali, dan untunglah pada saat itu beriringan dengan rombongan lain.
Alhamdulillah pertolongan Allah selalu datang tepat pada waktunya, mereka baik semua, ada yang bersedia membawakan keril saya sampai turun di Cibodas. Bahkan ada yang memakaikan pembalut di jari kaki saya, tapi sudah tidak berpengaruh karena jempol kaki saya sudah terlanjur sakit. Terima kasih ya bu, pak, mas yang tidak saya ketahui namanya siapa.
Di perempatan Cibereum saya kembali bertemu 4 orang teman saya, sedangkan 1 orang lagi sudah sampai duluan di Cibodas. Sepanjang jalan saya berpegangan pada tangan salah seorang teman karena sudah tidak sanggup menahan beban tubuh saat melangkah turun. Jarak yang tidak sampai 3 km dengan kontur landai berbatu terasa jauh dan lama.
Alhamdulillah menjelang jam 9 malam akhirnya kami sampai juga di Pos Cibodas. Jadi total perjalanan turun ditempuh dalam waktu 10 jam. Saya bersyukur karena masih diberi kekuatan untuk berjalan meskipun kepayahan. Waktu itu saya dengar ada pendaki lain yang sampai ditandu karena tidak bisa berjalan lagi.
*****
Sehari setelah pulang mendaki, tepatnya saat bangun tidur, rasanya badan tidak bisa digerakkan. Saya juga baru sadar bahwa jempol kaki saya berdarah karena pinggiran kukunya terangkat dari kulit, serta warnanya membiru.
Bahkan hingga tulisan ini dibuat, sudah 3 minggu berlalu setelah pendakian, kuku jempol/jari tengah kaki saya masih cenat-cenut, dan warnanya nano-nano seperti diberi kutek alami biru (mirip kena tinta pemilu), oranye dan kuning kecoklatan. Ya anggaplah sebagai kenang-kenangan. Tetapi rasanya gak mau deh kalau disuruh mengulang naik Gunung Gede lagi. Entahlah kalau kaki saya sudah pulih. Konon katanya orang naik gunung itu kapoknya bikin ketagihan :-)
Salam pendaki amatiran
Bogor, 25 Oktober 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H