Lama-kelamaan perjalanan menjadi terasa berat, dan saya selalu tertinggal jauh di belakang ketimbang 5 orang teman saya yang lain. Entah karena oksigen yang makin menipis, rasa mual dan mengantuk kian menjadi. Coklat dan perbekalan yang saya bawa bahkan jarang sekali tersentuh, inginnya cuma duduk sambil selonjoran.Â
Bagi pendaki pemula macam saya, jalur ini terasa agak sadis, soalnya jarang bonusnya. Apalagi hujan seolah-olah tumpah dari langit, semakin deras sehingga terpaksa saya mengeluarkan payung supaya kacamataku tidak terlalu basah. Semakin menanjak, semakin banyak bertemu rombongan pendaki lain yang sedang beristirahat di sepanjang jalur pendakian.Â
Setelah berhenti beberapa kali, kami memutuskan beristirahat agak lama untuk menyantap makan siang dari perbekalan yang dibawa. Lumayanlah mengurangi beban di punggung. Akhirnya di bawah flysheet dan guyuran hujan kami berteduh, wuih kayaknya so sweet banget hehe. Sayangnya gak punya foto yang bagus, udah gak kepikiran buat foto-foto.
Tak terasa sudah jam 2 lewat, kami harus melanjutkan perjalanan. Setengah perjalanan berhasil kami lewati. Entah sudah melewati berapa pos, saya tidak terlalu memperhatikan lagi karena posnya pun sudah tidak jelas. Ternyata makan siang itu cukup memberi energi bagi saya, jadi lebih kuat berjalan.Â
Mungkin posisi kami saat itu setelah melewati pos Lawang Saketeng. Namun, medannya semakin terjal sehingga langkah kaki kembali melambat. Kami harus melewati akar-akar pohon dan kemiringannya sekitar 35-40 derajat. Sepanjang jalan banyak rombongan pendaki lain yang bertebaran untuk beristirahat, terkadang kami saling dahulu mendahului, suasananya sudah mirip pasar. Saling canda, sapa, dan menyemangati sudah jadi hal biasa di antara para pendaki untuk mengalihkan rasa lelah.
Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore, tapi perjalanan seakan tidak ada ujungnya. Entah sudah berapa kali kami berhenti. Waktu itu yang ada dalam pikiran saya hanya ingin tidur. Karena takut tidak keburu sampai alun-alun sebelum maghrib, akhirnya saya dan 2 orang teman lain yang tertinggal memutuskan untuk sholat ashar saat itu juga.Â
Benar saja, kami tiba di Alun-alun Suryakencana saat hari sudah gelap, tepatnya jam 7 malam. Berarti total waktu yang kita tempuh dari pos penjagaan mencapai 10 jam, molor 2-4 jam dari estimasi perjalanan normal yang memakan waktu 6-8 jam. Udah gitu kami masih harus berjalan menyusuri alun-alun ke arah barat sampai tempat kami mendirikan tenda, dan kami sengaja mencari tempat yang tidak terlalu jauh dari sumber mata air. Jaraknya mungkin seperti berjalan dari satu sisi Kebun Raya Bogor ke sisi lainnya, kalian bayangkan saja sendiri.
*****
Setelah mendirikan tenda, makan minum seadanya ala anak gunung seperti mie instan, cemilan dan minum teh hangat, kamipun beristirahat. Udara di alun-alun terasa dingin menusuk tulang tapi menurut saya tidaklah terlalu ekstrim. Di luar, hujan gerimis kembali turun menjelang tengah malam. Sayup-sayup masih terdengar suara teriakan dan canda tawa orang-orang di luar tenda.Â
Waktu seakan berjalan merayap, saya tidak benar-benar bisa tertidur malam itu. Rencana memotret milkyway gagal total, karena langit sedang mendung, sama sekali tidak ada bintang. Menjelang subuh, terdengar suara orang mengumandangkan adzan dari tenda lain, saya bergegas sholat.
Pagi itu di Alun-alun Suryakencana dilalui tanpa sunrise, pokoknya kabut melulu deh judulnya. Sementara menunggu hari terang, kami kembali masak-masak. Bekal makanan yang seabreg-abreg banyak yang tidak sempat dimasak, hanya nugget dan kebab saja jadi sarapan kami saat itu.Â