Mohon tunggu...
Aryani_Yani
Aryani_Yani Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Lahir di kota hujan yg sejuk, dari ortu yg asli Jawa, tp belum pernah bisa berkomunikasi dlm bahasa Jawa, pernah 10 tahun terdampar di Banjarbaru yg panas, tp balik lg ke kota kelahiran tercinta...I am just the way I am, a little dreamer, agak pemalu tp gak malu-maluin koq :-), melankonlis kuat tp sedikit koleris, pecinta tanaman & lingkungan, mudah terharu, senang fotografi, design & art, handycraft, travelling & ecotourism, pokoknya yg serba alami dech alias naturalist, a lot of friendship...hmm apa lagi yaaa....kalo nulis kyknya belum jd hobi dech, makanya gabung di kompasiana :-D. Jd job creator adalah 'impian' tp belum kesampaian tuh. Email : ryani_like@yahoo.com. Instagram : aryaniyani21

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Mengunjungi Museum Tjong A Fie di Medan

28 Desember 2015   05:37 Diperbarui: 30 Desember 2015   03:39 868
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Tjong A Fie (Dok. Yani)"][/caption]“There on the earth where I stand, I hold the sky. I hold the sky. Succes and glory consist not in what I have gotten but in what I have given” (Mr. & Mrs. Tjong A Fie).

Begitulah bunyi quote yang tertulis di balik selembar tiket masuk salah satu museum yang terkenal di Medan. Kota ini memang memiliki sejuta daya tarik dari sisi historis. Salah satu yang membuat saya penasaran yaitu Rumah Tjong A Fie (Tjong A Fie Mansion). Tepat setahun yang lalu akhirnya saya berkesempatan berkunjung ke sini. Tempat tersebut tak lain adalah rumah seorang konglomerat dermawan asal Tiongkok di abad ke-19 yang dijadikan museum. Karena letaknya di daerah Kesawan (Jalan A.Yani) dan berada di jantung kota Medan, kita akan dengan mudah menemukannya.

[caption caption="Letaknya di pinggir jalan (Dok. Yani)"]

[/caption]

Dari kejauhan, sudah terlihat papan namanya beserta gapura berkepala naga lengkap dengan lampionnya. Kebetulan waktu itu teman saya yang beberapa hari ini mengantar berkeliling Medan tidak mau ikut masuk. Akhirnya saya harus masuk sendirian. Tak apalah, daripada penasaran. Di depan Restoran Tip-Top yang bernuansa kuno, saya berjalan menuju sisi seberang.

Halaman Rumah Tjong A Fie cukup luas. Saat itu sedang tak banyak pengunjung di sana. Saya langsung mendekati sebuah meja untuk membeli tiket. Saya harus mengeluarkan uang sebesar tiga puluh lima ribu rupiah untuk sekali kunjungan. Harga tersebut bukanlah termasuk murah jika dibandingkan museum lain yang dikelola oleh pemerintah. Saya berharap ini akan sebanding dengan apa yang akan didapat di dalamnya.

[caption caption="Halaman depan Tjong A Fie Mansion (Dok. Yani)"]

[/caption]

[caption caption="Tiket masuk museum (Dok. Yani)"]

[/caption]

Setiap rombongan pengunjung mendapatkan seorang pemandu. Dialah yang akan mengantarkan kami melihat-lihat ruang demi ruang di dalam rumah tersebut. Tak hanya itu, iapun akan menjelaskan tentang sejarah Tjong A Fie secara garis besar. Berhubung saya hanya sendirian, sayapun diminta untuk bergabung dengan rombongan lain. Pemandu kami tak lain seorang pemuda yang masih berstatus sebagai mahasiswa USU. Ia mengaku baru beberapa bulan bergabung sebagai guide di Rumah Tjong A Fie. Dengan penuh keramahan dan semangat gaya khas anak muda, ia mulai memimpin para pengunjung untuk melihat-lihat bagian dalam museum.

Nuansa horor mulai terasa saat memasuki melewati pintu utama. Hmm, pantaslah teman saya tidak mau diajak ke sini. Di ruangan bagian depan terpajang foto Tjong A Fie dalam ukuran besar, beserta foto-foto keluarga besarnya. Namun pengunjung tidak diperkenankan memotret dengan menggunakan flash. Menurut si pemandu, dulu pernah ada kejadian yang memotret menggunakan flash malah ada penampakan yang aneh-aneh di fotonya. Entahlah benar atau tidaknya.

[caption caption="Ruang depan (Dok. Yani)"]

[/caption]

[caption caption="Foto keluarga (Dok. Yani)"]

[/caption]

[caption caption="Piano kuno(Dok. Yani)"]

[/caption]

[caption caption="Botol minuman anggur (Dok. Yani)"]

[/caption]

[caption caption="Koleksi buku-buku (Dok. Yani)"]

[/caption]

[caption caption="Mesin jahit yang digunakan oleh Nyonya Tjong A Fie (Dok. Yani)"]

[/caption]

[caption caption="Ranjang yang terbuat dari kayu jati (Dok. Yani)"]

[/caption]

[caption caption="Ruang Dansa di lantai dua (Dok. Yani)"]

[/caption]

[caption caption="Ruang makan lengkap dengan peralatannya (Dok. Yani)"]

[/caption]

[caption caption="Ruang butik (Dok. Yani)"]

[/caption]

Bangunan tua yang terdiri dari 40 ruangan ini memang sangat luas. Berdiri di atas tanah seluas 6000 meter persegi. Namun hanya sekitar sepertiga bagian saja yang dijadikan museum yaitu di sayap kiri dan ruang utama di lantai satu dan dua. Sedangkan sisanya masih dihuni oleh pihak keluarga. Kami dibawa memasuki ruang demi ruang mulai dari ruang tamu, ruang makan, ruang pertemuan, ruang tidur, ruang dansa dan masih banyak lagi.

Saking banyaknya ruangan yang dimasuki, saya hampir tidak bisa mengingat secara detil. Yang jelas semua barang dan perabot beserta pernak-perniknya masih terawat dengan baik dan tersusun rapi. Mulai dari meja, kursi, buku-buku, ranjang, lemari, baju bahkan sampai botol minuman anggur. Sebagian besar dinding di setiap ruangan terpajang foto-foto dokumentasi yang mengisahkan tentang Tjong A Fie, keluarga serta semua yang berkaitan dengan aktivitas semasa hidupnya.

Eitts...tapi kita tidak diperbolehkan untuk memotret fotonya satu per satu lho. Ada juga ruang persembahyangan di lantai satu dan dua, ini pun tidak boleh difoto, pamali kalau kata orang Sunda.

Ada satu barang yang menarik perhatianku, yaitu sebuah piano yang berada di salah satu ruang di lantai 1. Piano itu terlihat sangat kuno dan tampaknya sudah tidak dipakai lagi. Menurut pemandu kami, rekannya sesama pemandu yang sudah lebih lama bekerja di sana pernah bercerita. Waktu itu kebetulan selepas maghrib, temannya itu masih berada di museum. Tak lama, terdengar suara piano yang merdu sekali dari dalam, seperti ada yang sedang memainkannya, padahal tidak ada siapa-siapa di sana. Sontak saja temannya itu langsung kabur. Kami yang mendengar cerita itu tiba-tiba menjadi bergidik ngeri.

Di lantai dua, ada sebuah ruangan yang sudah bernuansa modern dan diperuntukkan sebagai butik. Kalau tidak salah dengar, salah satu cucunya ada yang menikah dengan seorang model, dimana baju-baju yang dijual di butik ini merupakan hasil rancangannya. Rumah ini bergaya arsitektur khas Eropa, Cina dan Melayu.

Banyak sekali memiliki jendela terutama di bagian tengah rumah yang langsung menghadap ruang terbuka. Banyaknya jendela akan memasukkan banyak cahaya dan dalam tradisi cina dianggap mendatangkan rezeki. Banyak hal yang bisa kita pelajari di museum ini terutama mengenai sejarah dan kebudayaan Melayu-Cina. Intinya di sini kita akan dibawa mengenal siapa itu Tjong A Fie dan hasil karyanya semasa hidup.

[caption caption="Memiliki banyak jendela (Dok. Yani)"]

[/caption]

[caption caption="Pintu di bagian tengah rumah (Dok. Yani)"]

[/caption]

[caption caption="Pengunjung sedang melihat-lihat baju di dalam butik (Dok. Yani)"]

[/caption]

[caption caption="Ruang butik (Dok. Yani)"]

[/caption]

Tjong A Fie merupakan sosok orang kaya di masanya. Semasa hidupnya ia menikah sebanyak tiga kali. Yang diceritakan di Museum Tjong A Fie ini hanya kehidupannya setelah menikah dengan istri ketiganya dari Langkat. Dari pernikahan tersebut, ia dikaruniai tujuh orang anak. Kekayaan yang dimilikinya meliputi perkebunan, pabrik kelapa sawit, pabrik gula, bank dan perusahan kereta api. Meskipun kaya raya, Tjong A Fie merupakan sosok yang dermawan dan pandai bergaul, ia banyak menyumbang untuk orang yang kurang mampu tanpa membeda-bedakan agama dan suku.

Sosoknya yang jauh dari candu, judi, mabuk-mabukan dan pelacuran menjadikannya tokoh teladan yang sangat disegani oleh semua kalangan dan berpengaruh di Medan. Beberapa jasanya yang dikenal yaitu menyumbang pembangunan Istana Maimoon, Mesjid Raya Medan dan Mesjid lama Gang Bengkok, meskipun ia sendiri bukanlah seorang muslim.

Di akhir kunjungan ke museum ini, kita akan masuk ke sebuah ruangan dimana di dindingnya tertempel silsilah keluarga dan wasiat bagi anak cucunya. Ada lima wasiat yang tertera, salah satu di antaranya berbunyi : “memberikan sedekah/santunan kepada yang berkepentingan tanpa membedakan golongan bangsa yang oleh karena cacat badan, buta, sakit panjang atau penyakit-penyakit lain dan tidak mampu menghidupi dirinya sendiri”.

[caption caption="Si pemandu sedang menjelaskan silsilah keluarga Tjong A Fie (dok. Yani)"]

[/caption]

[caption caption="Wasiat Tjong A Fie untuk keluarganya yang tertempel di dinding (Dok. Yani)"]

[/caption]

Bagi saya, museum ini sangat recommended untuk dikunjungi. Harga tiket masuk yang agak mahal sebanding dengan apa yang didapat di dalamnya. Selain menarik dari sisi desain interiornya yang klasik dan artistik, museum ini cocok sekali untuk belajar sejarah. Dokumentasinya lengkap sekali. Kita seolah-olah akan dibawa menyusuri suasana di awal tahun 1900-an.

Dan paling penting lagi, kita bisa belajar tentang nilai-nilai kerja keras, kejujuran, toleransi dan kedermawanan dari sosok Tjong A Fie. Seperti yang tertulis di balik tiket masuknya “Dimana langit dijunjung, di situ bumi dipijak. Sukses dan kemuliaan bukan apa yang telah saya dapat tapi apa yang telah saya berikan.”

Bogor, 28 Desember 2015

Referensi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun