[caption id="attachment_94559" align="aligncenter" width="640" caption="Tangga menuju komplek pasarehan Gunung Kawi (Dokumen pribadi Aryani)"][/caption] Sebenarnya ini perjalanan lama, sekitar dua tahunan lalu (November 2008), sewaktu aku pergi survey umbi-umbian ke Malang. Tetapi baru kutulis sekarang, jadi agak lupa-lupa ingat. Maklum baru senang nulisnya sekarang sih. Lho ngapain ke Gunung Kawi??? Memangnya mau cari pesugihan?!! Eitts, jangan salah sangka, memangnya yang datang ke sana hanya karena cari pesugihan saja. Ceritanya waktu itu aku dapat info kalau di sana banyak terdapat telo ungu (ubi ungu). Ya sudah, akhirnya aku dan temanku berinisiatif untuk pergi ke sana, sekalian jalan-jalan. Soalnya penasaran juga dengan Gunung Kawi. Emang ada apa ya sampai orang berbondong-bondong pergi ke sana. Yuk kita lihat!!! Gunung Kawi letaknya lumayan jauh dari Kota Malang, sepertinya ditempuh hampir 2 jam perjalanan, melewati Kota Kepanjen Kabupaten Malang. Sesampainya di sana, mobil diparkir, dan kamipun memasuki kawasan ‘Wisata Religi’ Gunung Kawi dengan berjalan kaki. Sesaat setelah kami keluar mobil, orang-orang yang ada di sekitar tempat parkir banyak yang menawari paket penginapan/hotel. Aku hanya menggelengkan kepala sambil tertawa. Dalam hatiku berkata ‘ngapain nginep di sini, emangnya mau cari pesugihan hehehe. Kami berjalan menanjak, melewati gang-gang di antara rumah-rumah penduduk. Awalnya kupikir itu adalah tempat tinggal, ternyata penginapan yang biasa disewa orang-orang yang berkunjung ke sana. Kalau tidak salah hari itu adalah hari jumat. Waktu itu aku juga sempat melihat ada mesjid di sana, tapi sepi. Sebelum masuk ke area wisata, aku dan temanku makan dulu di warung yang ada di dekat situ.
Selesai makan, kami berjalan lagi. Sepanjang jalan semenjak turun dari mobil tadi, aku banyak melihat pedagang yang menjual telo ungu baik yang mentah maupun yang sudah matang. Beberapa meter menuju pasarehan (makam yang dijadikan tujuan pengunjung berziarah), banyak yang berjualan souvenir, tanaman serta bunga bermacam-macam rupa (untuk dibawa ke pasarehan). Foto bisa dilihat di atas (dokumen pribadi). Kuperhatikan pengunjung yang datang kebanyakan dari etnis Tionghoa, tapi rata-rata sih sudah tua-tua. Entahlah tujuan mereka datang itu untuk cari pesugihan atau berziarah.
Sambil berjalan aku memperhatikan kanan kiri sembari jepret sana-jepret sini. Ohya aku lihat pertunjukan wayang kulit, katanya sih terus-terusan (gambar : atas-dokumen pribadi). Aku masuk saja ke dalam, tapi hanya sebentar, wong gak ngerti artinya koq, lakonnya apa juga gak tahu hehe. Aku lihat banyak dijual juga makanan tradisional, yang berasal dari ubi, singkong dan sebagainya. Tapi aku lupa namanya, dan tidak berminat juga untuk mencicipi, soalnya terbuka sih. Bisa lihat foto-fotonya di bawah ini (dokumen pribadi).
Sebelum mencapai anak tangga menuju ke atas pasarehan, suasana mistisnya sudah mulai terasa. Aku melihat bangunan Tionghoa di sana, tapi tidak tahu bangunan apa namanya. Ternyata di situ ada tulisan kalau pengunjung dilarang mengambil gambar di lokasi pasarehan. Wah sayang sekali ya. Jadi aku hanya bisa memotret tangga dan gapura depannya saja.
Aku melihat lumayan banyak pengunjung di kompleks pasarehan itu. Di sana ada beberapa bangunan. Aku hanya ikut-ikutan temanku saja, karena merasa agak takut juga. Aku memasuki bangunan dimana di dalamnya ada ruangan yang luas berkarpet. Lalu orang-orang duduk di atasnya dan bergantian maju ke depan. Di depan sana ada penjaganya. Aku tidak tahu maksudnya apa, yang jelas mereka membawa botol air mineral. Sepertinya di depan itu ada makam, mungkin Kyai Zakaria seperti yang tertulis di depan bangunan. Aku sendiri tidak tahu sejarahnya kyai tersebut koq bisa sampai diziarahi sedemikian rupa. Aku dan temanku hanya duduk memperhatikan di belakang. Kulihat di sekeliling, banyak sekali jam dinding kuno, unik dan bagus-bagus, yang setiap jamnya selalu berbunyi sesuai jumlah jam. Temanku berbisik “jam segini banyak buat apa ya, pasti harganya mahal-mahal” Aku hanya menggelengkan kepala. Mungkin saja setiap orang yang berziarah ke sini membawa satu souvenir berupa jam, jadi lama-lama banyak deh, gitu kali ya hehehe. Ada yang tahu gak jam-jam kuno itu buat apaan? Kami berpindah tempat, berkeliling komplek. Sopir yang mengantarku bercerita kalau malam Jumat legi di situ pasti ramai orang, mereka berkeliling komplek pasarehan sebanyak 7 kali. Kemudian duduk-duduk di bawah pohon yang disebut pohon keberuntungan dan berharap buahnya jatuh pada malam itu juga. Aku tidak tahu nama pohonnya apa (waktu itu dikasih tahu tapi lupa). Aku hanya bisa memperhatikan pohonnya, ‘apa istimewanya sih, sampai rela nunggu buahnya jatuh malam-malam’, pikirku. Sesaat sebelum keluar dari komplek Pasarehan. Aku sempat melihat bangunan, di situ ada penjaga dan tulisan Ciamsi. Sebenarnya agak penasaran juga makanya aku memberanikan diri masuk sewaktu diajak temanku. Ternyata itu adalah tempat meramal nasib. Aku tidak mau ikut-ikutan karena itu termasuk perbuatan syirik, aku hanya memperhatikan temanku mengambil kertas dan menggoyang-goyangkan lidi supaya jatuh. Setelah itu si peramal memberi kertas yang bertuliskan nasib kita berdasarkan lidi yang jatuh. Kebetulan temanku mendapat kertas yang bertuliskan nasib yang baik-baik. Hmm...kalau saya pribadi sih tidak percaya hal-hal semacam itu. Ada hal yang lucu sewaktu aku masuk ke dalam ruang Ciamsi itu. Ada nenek-nenek yang sampai berkali-kali mengulang menggoyangkan lidi. Rupanya dia kurang puas dengan isi kertas nasib yang diberikan. Mungkin ada yang tidak baik makanya diulangnya terus sampai dapat nasib yang bagus. Ada-ada saja hehehe. Ada juga sepasang muda-mudi (kelihatannya sepasang kekasih) datang ke sana, mungkin mereka ingin tahu ramalan cinta mereka. [caption id="attachment_92749" align="aligncenter" width="552" caption="Pertunjukan wayang kulit oleh dalang cilik (Dokumen pribadi Aryani)"]
[/caption]
Perjalanan berakhir, kamipun pulang. Aku masih sempat mampir lagi ke tempat pertunjukan wayang kulit. Dan ternyata dalangnya sudah berganti menjadi dalang cilik. Kami juga menyempatkan untuk membeli telo ungu Gunung Kawi yang memang sedang kami cari.
Itulah pengalaman ke Gunung Kawi. Banyak hal-hal yang tidak masuk di akal, tetapi sudahlah...memang itulah kenyataannya. Akhirnya kamipun melanjutkan perjalanan. Mumpung masih di Malang, perjalanan akhirnya dilanjutkan dengan jalan-jalan di Pantai Sendang Biru. Mobilpun melaju ke arah pantai selatan di tengah derasnya hujan yang seketika itu turun.
Bogor, 6 Maret 2011 Note : Hayoo siapa yang mau coba jalan-jalan ke sana ?!! :-)
Lihat Travel Story Selengkapnya