[caption id="attachment_316685" align="aligncenter" width="602" caption="Kawah Ratu (Dok. Yani)"][/caption]
Gunung Salak memang menyimpan banyak keindahan. Banyak pula yang menjulukinya sebagai gunung penuh mistis. Bagaimanapun juga, Gunung Salak merupakan ikon kebanggaan warga Bogor. Gunung dengan vegetasi hutan yang rapat ini memiliki banyak sumber mata air, sehingga tak heran jika ditemukan banyak sekali curug (air terjun) di lerengnya. Ada lagi yang unik dari Gunung Salak. Kawahnya tidak terletak di puncak seperti pada umumnya gunung-gunung lain, tetapi ada di tengah-tengah gunung. Kawah inilah yang dikenal dengan sebutan Kawah Ratu.
Sebagai warga Bogor, rasanya tidak lengkap kalau belum berkunjung ke kawah tersebut. Belum lama ini (15/3/14), niat untuk mengunjungi Kawah Ratu kesampaian juga. Salah seorang kompasianer Bogor Akang Sepuh, yang sudah terbiasa ke sini, menawarkan untuk mendaki ke kawah tersebut. Sayapun mengajak Ria Astuti dan 2 orang teman lain (Indah dan Mathias) untuk ikut bergabung, jadilah kami berlima trekking ke kawah ratu.
Kami memulai perjalanan sepagi mungkin. Sekitar pukul 8 lewat kami sudah tiba di depan pos penjagaan menuju Kawah Ratu di Gunung Bunder (masih termasuk wilayah Taman Nasional Gunung Halimun-Salak). Ada 2 jalur pendakian resmi yang bisa dilalui yaitu lewat Cidahu (Sukabumi) dan yang akan kami lalui ini yaitu Pasir reungit (Gunung Bunder). Sebelum mendaki, petugas taman nasional memberitahukan bahwa pendakian ke Kawah Ratu harus ditemani pemandu yang sudah berpengalaman. Kamipun mengiyakan, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti tersesat, terhirup gas beracun dan lain sebagainya. Bagaimanapun jalan-jalan ke gunung tidak boleh dianggap remeh meskipun jalurnya terbilang mudah.
Untuk menuju ke kawah ratu lewat jalur pasir reungit, kami harus trekking sejauh 3,6 km. Jarak sejauh itu bisa ditempuh sekitar 2 jam lebih. Gak terlalu sulit koq, karena jalannya lumayan landai. Lagipula Kawah Ratu hanya berada di ketinggian 800-900 m dpl, tidak terlalu tinggi. Sepertinya cocok buat olahraga santai.
Pagi itu cuaca berawan hingga tidak terasa panas sama sekali. Apalagi di kanan-kiri terdapat banyak tumbuhan yang kadang-kadang memaksa kami untuk sedikit menunduk saat melewatinya. Si pemandu berjalan agak cepat di depan rombongan kami. Dengan parang di tangannya, sesekali dia menebas semak/ranting pohon yang menghalangi jalan kami. Jalur yang kami lewati sepi sekali, terkadang menyempit, mungkin agak jarang dilewati orang. Kami hanya beberapa kali berpapasan dengan pendaki lain dari arah berlawanan.
Sepanjang perjalanan, kami harus melewati jalan setapak, di antara batu dan tanah yang becek. Tidak jarang pula harus melewati sungai atau jalan air. Hmm..jalur ke kawah ratu ini memang jalur basah, pokoknya suegeer banget deh. Suara gemericik air sungai hampir selalu terdengar mengiringi langkah kaki. Karena banyaknya jalan air yang harus dilewati, sangat tidak disarankan untuk ke sini di saat musim hujan, karena dikhawatirkan bisa terseret arus. Seringkali jalan setapak yang kami lalui bercabang, tanpa penunjuk arah sama sekali. Dan mungkin inilah penyebab banyak orang tersasar di sini.
[caption id="attachment_316686" align="aligncenter" width="280" caption="Melewati jalan air (Dok. Yani)"]
Tibalah kami di jalan air setinggi mata kaki, beberapa tempat bahkan ada yang hampir setengah selutut. Mau tidak mau ujung celana panjangku jadi basah. Airnya begitu jernih dan terasa sekali dingin di kaki, mungkin kalau lama kelamaan bisa membuat kaki menjadi kram. Lumayan jauh juga jaraknya, mungkin hampir 100 m. Tak berapa lama kami tiba di aliran sungai yang airnya jernih sekali. Ini adalah sungai terakhir yang airnya bisa langsung diminum. Melihatnya mata terasa segar dan kepingin berendam lama-lama. Sungai inilah yang mengalir ke bawah dan selanjutnya bercabang menjadi Curug Cigamea dan Curug Ngumpet. Rasanya pingin berlama-lama duduk di batu-batunya sambil merendam kaki. Tetapi niat ini harus urungkan karena masih harus meneruskan perjalanan ke Kawah Ratu yang sudah tidak jauh lagi.
[caption id="attachment_316687" align="aligncenter" width="280" caption="Sungai di dekat kawah mati I (Dok. Yani)"]
[caption id="attachment_316688" align="aligncenter" width="427" caption="Kawah mati I (Dok. Yani)"]
Sebelum mencapai Kawah Ratu, kita akan melewati dua kawah yaitu kawah mati I dan kawah mati II. Entah mengapa disebut mati, mungkin karena sudah tidak aktif lagi. Bau belerang terasa menyengat ketika tiba di kawah mati I. Ada sungai kecil yang warnanya agak keputihan karena pengaruh belerang. Suasana di sini begitu berbeda dengan jalur sebelumnya. Terasa sunyi, mencekam dan tentu saja mistis. Banyak sisa ranting-ranting kering dan pohon-pohon mati di sana, tetapi masih banyak pula pohon yang masih hidup sekitarnya.
[caption id="attachment_316697" align="aligncenter" width="421" caption="Danau mati (Dok. Yani)"]
[caption id="attachment_316689" align="aligncenter" width="421" caption="Hutan mati (Dok. Yani)"]
[caption id="attachment_316695" align="aligncenter" width="421" caption="Papan peringatan di kawah mati II (Dok. Yani)"]
Setelah melewati kawah mati I, kami harus melewati jalan menanjak agak terjal yang dipenuhi akar-akar pohon. Setelah itu di sisi kanan terlihat sebuah danau, yang disebut danau mati. Pemandangan layaknya hutan mati dihiasi aliran belerang berwarna kuning dan batu-batu besar terpampang di depan mata. Banyak pula ornamen cantik di atas tanah dan ukiran kayu yang yang terbentuk secara alami. Ada keindahan yang eksotis sekaligus suasana yang galau mencekam di situ. Coba saja lihat foto-fotonya. Sungguh hebat memang ciptaan Allah SWT. Tapi jangan berlama-lama di sini. Tak jauh dari tempat ini ada papan peringatan yang sudah rusak dengan tulisannya yang hampir pudar. Mungkin beginilah kira-kira bunyinya : “ Dilarang berjongkok lebih dari 3 menit. Gas beracun dari kawah (CO, CO2, H2S, H2SO4), mengendap, terkonsentrasi di permukaan tanah. Status kawah = aktif normal”. Entah peringatan itu masih berlaku atau tidak, yang jelas kami buru-buru meninggalkan tempat ini menuju Kawah Ratu.
Kami harus menuruni jalan setapak yang tanahnya berwarna agak putih. Di kanan kiri masih terdapat banyak tumbuhan seperti paku-pakuan dan lumut, serta tumbuhan tinggi lainnya. Hanya berjalan beberapa menit kami sudah bisa melihat kepulan asap berwarna putih. Inilah rupanya yang disebut Kawah Ratu. Tidak seperti Kawah Ijen maupun Kawah Tangkuban Perahu yang membentuk kaldera luas ataupun cekungan di puncak gunung. Kawah Ratu memang tidak terlalu luas, bentuknya mungkin menyerupai bukit-bukit kapur yang berasap di banyak titik. Di tengah-tengah ada semacam cekungan yang membentuk kolam kecil berisi cairan dan mengeluarkan asap yang bertiup sesuai dengan arah angin.
Mungkin karena saat ini sedang banyak hujan, asap jadi bermunculan dimana-mana akibat tekanan dari bawah dan menimbulkan suara keras bergemuruh. Karena itulah pendakian ke kawah ratu biasanya ditutup pada saat musim penghujan. Disarankan untuk tidak melewati titik aman kawah karena gas CO2 yang keluar meskipun tidak berbau tetapi sangat mematikan. Jadi berada di sekitar sini pun tidak boleh lebih dari 20 menit.
Menurut si pemandu, di Kawah Ratu terdapat sumber mata air yang nantinya akan turun ke bawah sebagai curug seribu, tetapi tidak bisa diminum langsung. Letak agak jauh dari tempat kami berdiri, sehingga saya tidak bisa melihatnya langsung. Curg seribu sendiri merupakan curug terbesar di Gunung Salak dan letaknya paling tinggi di antara yang lain.
Di sana kami juga bertemu rombongan pendaki lain. Mereka rupanya ingin menyeberang ke jalur Cidahu melewati pinggiran kawah. Agak seram juga karena arah asap terkadang berpindah-pindah dan bisa saja muncul di tanah yang kita pijak. Pemandangan Kawah Ratu memang terkesan gersang, dengan aura mistis dan misterius. Walaupun begitu masih banyak pula tumbuhan pioner seperti lumut yang hijau bak karpet yang mampu tumbuh di bebatuan sekitarnya.
[caption id="attachment_316699" align="aligncenter" width="421" caption="Kami berlima di kawah ratu (Dok. Yani)"]
Sekitar jam 11-an, kami kembali turun meninggalkan Kawah Ratu. Saat perjalanan pulang kami beristirahat sejenak di dekat sumber air yang dapat diminum langsung sambil membersihkan kaki. Cuaca agak sedikit panas waktu itu. Rasa seger banget minum air langsung dari sumbernya. Tidak berasa, tidak berwarna dan tidak berbau, pokoknya bersih banget deh. Setelah puas makan dan minum, kami melanjutkan jalan ke bawah. Rasanya perjalanan pulang hanya kami tempuh kurang dari 2 jam. Sampai-sampai orang di di pos penjagaan mengira kami trekking sambil lari.
Akhirnya acara ke Kawah Ratu hari itu kami tutup dengan mengunjungi Curug Ngumpet II. Curug yang sumber mata airnya sempat saya pakai minum dan mencuci kaki ketika di atas tadi.
Salam kompasiana
Bogor, 23 Maret 2014
Tulisan lain tentang Gunung Salak :
[WPC-6] Pemandangan Gunung Salak : Si Misterius yang Eksotis
Menjelajahi Curug di Kawasan Gunung Salak Endah (Gunung Bunder) Bogor
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H