Sejak kecil, nama Dieng sudah sering kudengar. Tentang Telaga Warna, tentang kawah yang sering menyemburkan gas beracun, tentang candi-candi yang banyak berdiri di sana, dan kebun-kebun kentang dan pepaya yang tumbuh di lereng-lerengnya. Oleh-oleh berupa keripik jamurnya pun sudah pernah kunikmati. Rupanya pesona Dieng membius banyak wisatawan untuk datang menikmati keindahannya.
Perjalanan dari kota tinggalku menuju Dieng kulalui melalui jalur selatan sekitar jam 4 sore. Kondisi jalan yang berliku-liku tentu saja membuat kepala sedikit pusing dan perut serasa terkocok. Apalagi sempat tersendat di beberapa ruas langganan macet, perjalanan pun menjadi lebih panjang. Alhasil baru sekitar jam 8 pagi, rombongan kami baru tiba di kawasan Dieng.
[caption id="attachment_321770" align="aligncenter" width="553" caption="Pemandangan dari menara pandang Dieng (Dok. Yani)"][/caption]
Memasuki kawasan Dieng, kita akan disuguhi pemandangan cantik pegunungan/gunung yang membentang di daerah Jawa Tengah. Aku tidak tahu persis nama-namanya, tebakanku mungkin Sindoro dan Sumbing yang kutahu memang letaknya di sekitar Dieng. Di menara pandang Dieng, kita akan leluasa memandang ke bawah dari ketinggian 1789 m dpl. Dari situ akan tampak lembah-lembah membentang luas yang puncaknya dipayungi awan. Pantaslah kalau Dieng dijuluki negeri khayangan. Sayangnya di atas bukit-bukitnya sudah tidak lagi ditumbuhi pepohonan tinggi karena sebagian besar sudah banyak diubah menjadi lahan pertanian seperti lahan kentang, kobis, wortel. Tak sedikit pula rumah-rumah yang berdiri di sana. Tentu hal ini memicu longsor di daerah lerengnya jika sedang musim penghujan ataupun gempa.
Bus melaju pelan melewati jalan berliku perbukitan yang dihiasi kebun-kebun kentang. Tujuan kami kali ini adalah telaga warna Dieng. Tetapi kami tidak langsung berhenti di pintu masuk telaga warna. Ada baiknya kita mengenal seluk-beluk tentang Dieng terlebih dahulu di Dieng Plateau Theater. Di sana kita akan disuguhi film singkat berdurasi sekitar 20 menit yang menceritakan tentang Dieng. Ternyata di daerah Dieng memang banyak terdapat danau vulkanik, salah satunya adalah telaga warna. Selain itu, Dieng yang masuk ke dalam 5 wilayah Kabupaten memang dikelilingi oleh puncak-puncak gunung dengan banyak kawah di sekitarnya
Untuk memandang telaga warna, kita harus trekking sebentar ke atas batu pandang yang letaknya tidak jauh dari Dieng Plateau Theater. Sesampainya di atas, pemandangan lepas Telaga Warna dan Telaga Pengilon dapat kita saksikan. Kedua telaga ini hanya dibatasi oleh tanah sempit yang ditumbuhi rerumputan. Kalau cuaca cerah, mungkin telaga warna akan terlihat warna-warni hijau, biru, ungu. Sedangkan Telaga Pengilon di sampingnya tidak berwarna. Aku jadi teringat foto Danau Kelimutu. Ya mungkin miniaturnya ya hehe, tapi sayangnya telaga yang satunya keruh. Di atas batu pandang, sama sekali tidak kelihatan adanya pengunjung di sekitar telaga.
[caption id="attachment_321771" align="aligncenter" width="602" caption="Telaga warna dan Telaga pengilon dari batu pandang (Dok. Yani)"]
Karena bus yang mengantar kami diparkir di dekat pintu masuk telaga, maka kami terpaksa harus menyusuri jalan setapak menuju pintu masuk. Waktu sudah lewat tengah hari, mendung semakin tebal. Hujan pun akhirnya turun. Makin lama makin deras. Kami yang sudah terlanjur trekking di sisi telaga kehujanan semua, tetapi tetap melanjutkan perjalanan karena tidak ada tempat berteduh. Di kejauhan, telaga warna tidak menampakkan warnanya karena berselimutkan kabut. Untunglah hujan mereda meskipun terkadang masih turun berupa rintik-rintik. Karena cuaca sudah kembali terang, air telaga pun berubah menjadi bening dan berwarna hijau toska bercampur biru dan putih. Di dalam airnya bisa kita saksikan refleksi bukit di atasnya. Mungkin karena ini danau vulkanik, jadi tanah di tepinya banyak yang memancarkan mata air berisi belerang, tentu saja jangan sampai salah injak.
Spot selanjutnya adalah Kawah Sikidang. Mungkin di sini pemandangannya mirip dengan Kawah Ratu di Gunung Salak. Tetapi karena letaknya di lahan terbuka, jadi gas yang tersembur tidak terlalu membahayakan pengunjung. Namun tetap disarankan memakai masker karena bau belerangnya begitu menyengat. Asap dari kawah tampak menyembur di beberapa tempat dan menimbulkan asap putih tebal dan suara gemuruh seperti pesawat terbang. Kawah ini sudah dimanfaatkan sebagai sumber hidrotermal untuk pembangkit tenaga listrik.
[caption id="attachment_321772" align="aligncenter" width="602" caption="Kawah Sikidang (Dok. Yani)"]
Hujan pun kembali turun dengan derasnya, cuaca sudah tidak mendukung untuk jalan-jalan sore itu. Rencana ke candi pun terpaksa diundur hingga pagi besok. Kami menuju penginapan untuk beristirahat.
Sekitar jam 2 dini hari, kami semua dibangunkan untuk bersiap-siap untuk melihat golden sunrise di Bukit Sikunir. Hawa dingin begitu menggigit. Tapi untunglah semalam sudah turun hujan, jadi masih tidak terlalu dingin jika dibandingkan musim kemarau, suhunya bisa mencapai titik beku.
Jarak penginapan ke Bukit Sikunir tidak terlalu jauh. Setibanya di Desa Sembungan, kami harus berjalan kaki lagi sampai ke atas bukit. Mungkin hanya hiking sekitar 1 jam, kita sudah mencapai puncak bukit. Ternyata di Puncak Sikunir sudah ramai orang, penuh sesak, sampai-sampai tidak menemukan tanah kosong agak datar yang bisa dipijak. Dan puncak yang tidak terlalu luas itu berubah seketika seperti pasar. Inilah efek kalau ke tempat wisata di hari libur panjang. Mereka semua datang dengan tujuan yang sama, menantikan golden sunrise di Puncak Sikunir.
[caption id="attachment_321773" align="aligncenter" width="576" caption="Menjelang sunrise di Puncak Sikunir (Dok. Yani)"]
[caption id="attachment_321774" align="aligncenter" width="602" caption="Matahari mulai muncul (Dok. Yani)"]
Siluet gunung di hadapan sudah bisa terlihat dalam kegelapan. Ya… Gunung Sindoro berdiri gagah di depan mata. Di sekitarnya ada gunung-gunung yang tampak lebih jauh dan kecil, mungkin Merapi, Merbabu atau Telomoyo. Bintang-gemintang dan bulan separoh tampak menghiasi langit subuh yang masih gelap. Setelah menunaikan sholat subuh, aku pun mulai mengambil gambar. Karena ruang gerak yang sempit dan terlalu banyak orang, maka sudut foto pun menjadi sangat terbatas. Untunglah sunrise yang ditunggu segera muncul walau hanya sesaat dan tidak penuh, karena keburu tertutup lagi oleh awan di sekitarnya. Sesaat sebelum muncul, mentari pagi memancarkan berkas cahaya yang menimbulkan guratan berwarna pink kemerahan di ufuk timur yang mulai berwarna biru, kuning, dan jingga. Awan warna-warni berbentuk asap di atas puncak Sindoro dipadu dengan kabut tipis di atas pegunungan, seakan melengkapi kombinasi lukisan mahadahsyat dari sang pencipta. Sayangnya kami tidak bisa berlama-lama menikmati pemandangan di puncak Sikunir. Sekitar jam 6 lewat, kami harus turun ke bawah. Sepanjang perjalanan kunikmati pemandangan bukit-bukit di antara padatnya manusia yang melewati jalur trekking.
[caption id="attachment_321776" align="aligncenter" width="614" caption="Telaga Cebong (Dok. Yani)"]
Desa Sembungan ini berada di ketinggian 2306 m dpl, merupakan desa tertinggi di Pulau Jawa. Hawa dingin sudah tidak terasa karena panas matahari mulai menyengat. Setelah sampai di parkiran, kami melanjutkan melewati desa wisata tersebut. Di sisi bukit, banyak kebun pepaya dan cabai khas Dieng, serta kebun kentang. Tampak di sisi kiri, Gunung Pakuwojo dan Telaga Cebong yang airnya memantulkan warna langit kebiruan dan bukit di atasnya.
[caption id="attachment_321775" align="aligncenter" width="602" caption="Candi Arjuna (dok. yani)"]
Kompleks candi merupakan spot terakhir yang kami kunjungi sebelum meninggalkan Dieng. Di sana banyak sekali candi yang merupakan sisa peninggalan zaman Hindu, umumnya diberi nama tokoh dalam pewayangan. Letaknya tersebar di beberapa tempat. Waktu itu aku hanya mengunjungi satu candi yang paling besar dan agak banyak yaitu Arjuna. Tidak banyak berkeliling karena sudah kelelahan dan belum sarapan.
Perjalanan singkatku ke Dieng berakhir di sini. Bus kembali melaju mengantarkan rombongan kami menuju jalan pulang. Oh ya jangan lupa untuk mencoba mie ongklok dan jamur goreng, serta membeli oleh-oleh kripik jamur dan manisan carica (papaya) yang rasanya…hmmm…mak nyusss.
Bogor, 29 April 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H