[caption id="attachment_343030" align="alignnone" width="602" caption="Bangkai kapal tua (Dok. Yani)"]
[caption id="attachment_343031" align="alignnone" width="602" caption="Bangkai kapal tua di Batanghari (Dok.Yani)"]
Batanghari memang besar, lebarnya bisa mencapai 200-600 m. Tidaklah heran jika sungai ini dipakai juga untuk sarana transportasi air. Sayangnya potensinya belum dimaksimalkan oleh pemerintah. Beberapa orang tengah mengayuh sampan yang berisikan potongan-potongan kayu atasnya. Kapal dengan ukuran lebih besar antara lain milik Pertamina dan Ditjen Bea dan Cukai tampak sedang parkir di atas sungai. Sebuah kios minyak dalam bentuk rumah kayu kecil tampak berdiri tegak di pinggiran sungai. Adapula bangkai kapal tua yang dibiarkan karam di tepian, entah peninggalan tahun berapa.
[caption id="attachment_343032" align="alignnone" width="614" caption="Membawa potongan kayu (Dok.Yani)"]
[caption id="attachment_343033" align="alignnone" width="602" caption="Berperahu melintasi DAS (Dok.Yani)"]
[caption id="attachment_343035" align="alignnone" width="602" caption="Perahu motor (Dok. Yani)"]
Perahu kembali melaju ke dermaga semula. Kami berpapasan dengan perahu lain yang baru saja berangkat membawa beberapa orang penumpang untuk menikmati Batanghari. Semakin siang, lalu lintas sungai semakin ramai. Ada perahu yang tampak membawa motor di atasnya. Aku pikir mereka ingin ke mall yang ada di seberang sungai. Rasanya ini cara praktis memotong jalan daripada harus memutar dulu.
[caption id="attachment_343034" align="alignnone" width="400" caption="Menara mesjid lebih dekat (Dok. Yani)"]
Setelah menepi kembali di sisi sungai, perlahan mesin motor perahu dimatikan. Hilang sudah suara berisik yang sedari tadi memekakkan telinga. Perjalanan beberapa kilometer menyusuri Batanghari di hari itu usai sudah. Aku pun keluar pun dari perahu.
Ah sesaat membayangkan… seandainya saja dikelola dengan baik, mungkin bisa seperti Venesia atau Belanda di Eropa.
Bogor, 16 September 2014