Bagi yang suka kisah pewayangan, mari kita lihat juga Pandawa yang Lima, kelima unsurnya sama, bercerita tentang Badan, Pikiran, Perasaan, Jiwa, dan Ruh yang merupakan Pancer atau pusat.Â
Bicara tentang pewayangan, ada cerita dalam wayang versi Indonesia, yang tidak ada dalam versi India, tentang Petruk dadi ratu, ketika Petruk menobatkan dirinya sendiri jadi Raja yang maha sakti, menurut kisahnya, ketika Petruk jadi Raja, tidak ada Jagad Dewa Batara yang mampu menandingi kesaktiannya, apalagi para Ksatria dan Raja-raja, semua lewat, sampai akhirnya Petruk didatangi bapaknya, Semar, yang kemudian menasehatinya dan Petruk pun menjadi cengengesan kemudian berubah wujud kembali menjadi Petruk biasa.
Demikianlah, sebagaimana kisah Semar menundukan Raja Petruk, jiwa bisa menenangkan pikiran yang gelisah, pikiran yang tidak bisa berhenti berpikir, itulah, yang melahirkan kesusahan. Iya, betul, pikiranlah akar dari munculnya duka. Munculnya kesusahan adalah ketika kita terlalu banyak berpikir, dipikirin terus utang ini gimana, tetangga yang menyebalkan itu begini lagi, begitu lagi, dipikirin dan dipikirin.
Karenanya, mari kita mulai belajar untuk menggunakan pikiran sebagaimana mestinya saja, yaitu untuk hal-hal yang berdaya guna buat kita. Dari situ kita akan masuk kedalam rasa, rasa yang bukan berasal dari prasangka, amarah, maupun derita, namun rasa yang damai.
Dengan rasa yang damai, kita akan sampai pada ketenangan jiwa. Oleh karenanya, ketika pikiran dan perasaan gelisah, akseslah jiwa yang didalamnya ada kepasrahan dan kedamaian, tenangkan pikiran dengan jiwa yang berserah diri, mudah-mudahan atas karunia Tuhan pikiran dan perasaan menjadi tenang, sehingga tubuh pun mengikuti menjadi tenang, ketika keempat ini menjadi hadir dengan Jiwa yang memimpin Perasaan, Pikiran, dan Badan, maka saat itu kita akan mendapati jati diri kita yang utuh, pancer itu ada atas ijin dan karunia Tuhan.Â
Setelah pancer, seseorang akan bangkit, Anda akan bangun menjadi seseorang yang lebih baik dari sebelumnya. Orang akan jadi lebih menghargai Anda, Anda menjadi yakin bahwa kebutuhan-kebutuhan hidup Anda pasti terpenuhi, dan Anda akan jadi selalu merasa bersyukur karenanya.
Demikianlah, Anda jejeg berdiri sebagai diri Anda, walau Anda tidak menjadi orang terkaya di dunia, dan harta Anda hanya segitu-gitu aja, Anda bisa berdiri tegak dengan dada tegak, dengan muka tegak, dengan terhormat.Â
Buatlah koneksi antara badan, pikiran, dan perasaan dengan Jiwa, maka semua perjalanan hidup jadi bisa dilihat sebagai pelajaran kehidupan, ternyata kehidupan Anda, semua memang tentang diri Anda, ketika diri telah mengenal Diri, secara esensi spiritual Kehidupan adalah tentang Anda dan perjalanan hidup yang dianugerahkan Tuhan, sampai kepada kesadaran ini, jalan yang lurus menuju kenikmatan akan hadir dengan sendirinya.
Kita telah mendengar, katanya, "apabila kita bersyukur, maka kenikmatan akan bertambah". Ketika terus bersyukur, maka kenikmatan semestinya bisa menjadi langgeng. Kalau sudah begini, dimana letak berpayah dalam sabar? Maka, kita akan belajar memaknai sabar dengan berbeda, melihat bahwa sabar adalah proses yang harus dijalani sebaik-baiknya, sementara hasil, bagaimanapun yang diperoleh, selalu bisa disyukuri. Inilah makna dari kebahagiaan konstan yang menjadi tema dan judul dari buku.
Demikianlah, dengan ini, kita jadi tersadar, bahwa kebahagiaan Jiwa adalah pengetahuan yang tinggi dalam pembelajaran kehidupan, karena selain mendorong untuk berusaha sebaik-baiknya dalam mengaktualisasikan sumber daya diri, kita berkehendak untuk senantiasa bahagia dalam hasil apapun yang diterima perjalanan hidup kita, yaitu untuk bisa selalu bersyukur.Â
Ketika Kebahagiaan Jiwa yang menghasilkan kebahagiaan konstan, sudah mewujud dalam  perikehidupan bangsa dan rakyat Indonesia, saat itulah Avatar-avatar bangsa telah lahir di bumi Nusantara.Â