CATATAN PENULISAN TENTANG KETUHANAN DAN KEBAHAGIAAN DARI MASA KE MASA*
V. AL-GHAZALI (1058-1111 M)
Abu Hamid al-Ghazali adalah salah seorang ulama dan filsuf besar Islam. Maha karya bukunya yang terkenal adalah Ihya Ulumuddin artinya Menghidupkan kembali Din atau pemahaman Agama.
Apa yang banyak orang tidak tahu adalah, Ihya Ulumuddin oleh beliau dalam Bahasa Persia dibuat versi singkatnya dalam satu buku berjudul, Alchemy of Happiness (Kimia dari Kebahagiaan). Ide utama dari buku tersebut adalah: kebahagiaan hadir dalam transformasi diri, melalui penyadaran bahwa setiap manusia secara hakiki adalah makhluk spiritual sehingga ekstasi terbesar kebahagiaan, ditemukan tidak dalam bentuk-bentuk fisik material, tapi melalui pengalaman seseorang dengan Keilahian.
Setelah menjadi Professor Teologi di Universitas Bagdad pada usia 33 tahun, Imam Ghazali selama 5 tahun selanjutnya berada dalam krisis spiritualitas, dia mencoba merasionalkan fondasi dari ajaran Islam (Islam berarti Selamat melalui Penyerahan Diri kepada Tuhan dan Muslim berarti orang yang berserah Diri kepada Tuhan – sehingga Din Islam berarti Jalan, Ajaran, atau Tatanan Keselamatan melalui Penyerahan Diri kepada Tuhan) sebagaimana yang terdapat dalam Al Quran.
Akhirnya dia menyimpulkan bahwa tidak ada cara rasional untuk menyanggah keraguan yang ada, tetapi ada cara lain untuk menemukan kebenaran, yaitu sebagaimana petunjuk dari Nabi Muhammad SAW, yaitu dengan jalan “mengalami” perjalanan atau pengembangan jiwa, sebuah penemuan yang didasarkan dan bergantung kepada kondisi yang logikanya berada di atas logika umum, diantara dengan mengembangkan intuisi dalam diri.
Para Nabi dan Orang Suci dari masa ke masa adalah mereka yang mengalami realitas ini dalam mentransformasi dirinya, dari berpusat kepada diri menjadi berpusat kepada Tuhan, Sang Maha Hidup.
Adalah pernyataan yang cukup mengejutkan pada masa itu ketika al-Ghazali menyampaikan bahwa para Nabi adalah contoh orang-orang paling berbahagia, karena mereka telah meraih tujuan tertinggi dari keberadaan manusia.
Al-Ghazali menulis bahwa setiap orang lahir dengan “mengetahui sakit di dalam jiwa” sebagai akibat dari terputusnya koneksi dengan Kenyataan Sejati. Kondisi tragis dari manusia adalah mata kita telah begitu terdistraksi oleh kenikmatan materialistik, bahwa kita telah kehilangan kemampuan untuk melihat apa yang tidak terlihat. Inilah kenapa orang-orang menjadi tidak bahagia, yaitu mereka mencoba untuk melepas rasa sengsara di jiwa dengan mengarahkan pada kenikmatan fisik materi.
Namun kenikmatan fisik materi tidak pernah bisa melepas rasa sakit yang secara esensi bersifat spiritual. Dalam hal ini, salah satu pelajaran penting dari buku The Alchemy of Happiness adalah kita tidak bisa melepas imajinasi bagaimana untuk bahagia, tapi intuisi dan ilham yang adalah karunia dari Yang Maha Kuasa adalah rahasia menuju kebahagiaan yang hakiki.
Dalam buku Kimia Kebahagiaan, al-Ghazali mulai dengan menuliskan, “Dia yang mengenal dirinya adalah dia yang berbahagia sesungguh-sungguhnya”. Pengetahuan diri dalam hal ini didasarkan kepada menyadari bahwa kita memiliki kalbu atau jiwa yang sempurna, tetapi telah terkotori oleh debu sifat badani dan hewani yang terakumulasi.
Sebagaimana kaca yang dipoles kembali, maka seseorang bisa memunculkan lagi Ruh fitrah yang ada dalam dirinya. Al-Ghazali menuliskan, “tujuan dari disiplin moral adalah untuk memurnikan kalbu dari karat nafsu dan kebencian sampai cermin kembali bersih, yang kemudian akan merefleksikan kembali cahaya Tuhan.”
Menurut al-Ghazali pekerjaan ini tidak mudah, kebahagiaan sejati adalah kondisi yang kebanyakan orang belum bisa meraihnya. Beliau bahkan menekankan, bahwa sepengetahuan dia, hanya sedikit orang yang mampu mengalami kebahagiaan tertinggi, walaupun semua manusia punya potensi yang sama meraih ini.
Mereka yang mencapainya adalah manusia yang telah berhasil membersihkan cermin didalam, sehingga mendapatkan suatu bentuk pengetahuan yang bagi kebanyakan orang hanya bisa melihatnya ibarat mimpi dan imajinasi, sementara mereka menjalani dengan nyata dan mengaplikasikan dalam keseharian.
Bagi penulis, semangat buku ini adalah, jika mereka bisa mestinya kita pun bisa juga mengusahakannya dengan sungguh-sungguh sambil menyerahkan hasil usaha kepada kekuasaan Tuhan, barangkali setetes dari para Nabi dan Rasul yang kita raih, sudah cukup sebagai modal hidup kita untuk beroleh nikmat dan bahagia selama hidup sampai mati.
***
Tulisan di atas diambil dari Buku The Constant Happinessyang ditulis oleh Aryandi Yogaswara bersama Julianti. Untuk membaca penuh versi online dari bukunya, silakan kunjungi:
http://downloadtheconstanthappiness.blogspot.co.id/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H