Mohon tunggu...
Aryanda Putra
Aryanda Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Jika Kesalahan dan Kebenaran bisa untuk didialogkan, kenapa harus mencari-cari Justifikasi untuk pembenaran sepihak. Association - A Stoic

Ab esse ad posse

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Pilihan

Industries Of The Future: Beradaptasi atau Musnah

1 Februari 2025   01:59 Diperbarui: 1 Februari 2025   11:09 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"...Manusialah yang menentukan; beradaptasi atau musnah." -Alec Ross

Masa Depan yang Tak Terelakkan: Antara Adaptasi dan Kepunahan

Pada satu waktu di pertengahan akhir bulan November 2024, algoritma tiktok saya mengarahkan pada video yang mempelihatkan seseorang sedang menjelaskan pengalaman membacanya. Dalam video itu ia membaca sebuah buku yang berjudul The Industries of the Future karya Alec Ross, ia menjelaskan dengan lugas dan terkesima dengan apa yang dibahas di buku ini lalu merekomendasikannya.  Jujur saya tidak langsung tertarik. Saya berpikir ini hanyalah  akal²an creator affiliated untuk mempromosikan dagangannya, karena pengalaman saya membeli buku di affiliated tiktok seringkali Omdo. Dan bagi saya ketika itu buku ini sama dengan buku yang lain tentang perkembangan teknologi yang terlalu teoretis dan jauh dari kenyataan, pasti membacanya sangat membosankan. Saya coba mencari tahu lebih dalam lagi, baik dari sinopsis di internet maupun dari pengalaman orang² yang lain yang pernah membeli buku ini. Dari semua pencarian itu kesimpulan awal saya terhadap buku ini cukup menarik dan menggairahkan. Kebetulan dalam bulan ini saya belum stok 1 buku untuk dibaca -rutinitas bulanan saya selalu mensyaratkan untuk beli satu buku pada setiap akhir bulan. Sesegera mungkin, karena penasaran, pada 2 Desember 2024 lalu buku itu tiba dengan selamat dipernaungan saya dan tepat 3 hari yang lalu buku itu tuntas saya baca. Pengalaman awal setelah membaca bebrapa halaman pertama saya justru merasa seperti sedang membuka peta masa depan yang telah dipetakan jauh sebelum kita sampai di titik ini. Dan ini mencemaskan.

Ross menulis buku ini pada 2016, tetapi prediksinya tentang bagaimana kecerdasan buatan (AI) akan mengubah dunia terasa semakin relevan hari ini. Ia menggambarkan bagaimana AI bukan sekadar alat bantu, melainkan sebuah gelombang revolusi yang akan menggeser lanskap industri global.

Ketika hampir menyelesaikan buku The Industries of the Future ini saya mendapati diri saya merenung pada 1 kalimat terakhir di bab kesimpulan:

"...Entah manusia nanti yang mengendalikan robot, atau robotlah yang berhasil mengendalikan manusia. Manusialah yang menentukan; beradaptasi atau musnah."

Bagi saya, pernyataan itu bukan sekadar retorika dramatis, melainkan sebuah peringatan yang kini semakin menemukan relevansinya. Hampir satu dekade setelah buku ini diterbitkan, kita menyaksikan apa yang dulu kita anggap sebagai fiksi ilmiah kini hadir sebagai kenyataan. Ketika membaca bagian tentang otomatisasi dan machine learning, saya langsung teringat pada bagaimana China saat ini memimpin dalam pengembangan AI dan berambisi menciptakan Artificial General Intelligence (AGI), kecerdasan buatan yang mampu berpikir dan belajar seperti manusia.

Salah satu contoh yang membuat saya tercengang adalah video yang baru-baru ini beredar dari Cina. Dalam video tersebut, robot-robot humanoid menari dengan keluwesan yang bahkan sulit ditiru oleh sebagian manusia. Bukan hanya sekadar mengikuti irama, tetapi juga menyesuaikan gerakan mereka dengan harmoni musik secara presisi. Cina, yang disebutnya -Alec Ross- sebagai pesaing utama dalam revolusi AI, kini semakin mendominasi dalam riset dan pengembangan kecerdasan buatan. Baru-baru ini, Cina juga meluncurkan aplikasi DeepSeek, sebuah model kecerdasan buatan yang digadang-gadang mampu menyaingi bahkan melampaui kemampuan ChatGPT. DeepSeek diklaim memiliki pemrosesan bahasa yang lebih efisien, database lebih luas, serta kemampuan berpikir yang mendekati kecerdasan umum buatan (AGI). Ini mengingatkan saya pada argumen Ross bahwa inovasi AI tidak hanya akan ditentukan oleh teknologi itu sendiri, tetapi juga oleh faktor geopolitik, regulasi, dan investasi. Dengan langkah Cina yang semakin agresif dalam mengembangkan AGI, tampaknya kita sedang memasuki era di mana dominasi teknologi bukan lagi milik satu negara atau perusahaan tertentu, melainkan hasil dari persaingan global yang semakin ketat. Saat ini, dengan sistem pengenalan wajah yang canggih, sensor data yang tersebar di seluruh negeri, serta investasi besar-besaran dalam penelitian AI, China telah melampaui banyak negara dalam penerapan kecerdasan buatan. Bahkan, proyek-proyek AGI yang mereka kembangkan, seperti yang didanai oleh Baidu, Tencent, dan Alibaba, semakin mendekati realisasi visi Ross tentang masa depan di mana mesin bukan hanya membantu manusia, tetapi juga dapat berpikir secara mandiri. Jika ini adalah pemandangan di tahun 2025, bagaimana dengan satu atau dua dekade ke depan?

Pertanyaannya bukan lagi apakah robot bisa melakukan pekerjaan manusia? melainkan sejauh mana mereka akan menggantikannya? Kita tahu bahwa mereka tidak "dilatih" sebagaimana manusia belajar, tetapi diprogram dengan algoritma yang memungkinkan mereka meniru dan menyempurnakan tugas yang diberikan. Dan itu baru satu bidang. Dalam berbagai sektor lain, robot dan AI telah mulai menggeser peran manusia: dari kasir swalayan hingga jurnalis berita, dari supir taksi hingga analis hukum.

Jika prediksi Alec Ross benar, kita hanya memiliki dua pilihan: beradaptasi atau musnah. Beradaptasi bukan sekadar menguasai teknologi, tetapi juga memahami peran kita di tengah perubahan ini. Manusia masih memiliki keunggulan dalam hal kreativitas, empati, dan kemampuan berpikir kritis—setidaknya untuk saat ini. Namun, jika kita tetap berpuas diri dengan cara lama, maka nasib kita tak akan berbeda jauh dengan mesin ketik yang tergantikan oleh komputer. Di tengah laju inovasi yang semakin cepat, pertanyaannya adalah: apakah kita siap?

Saat Manusia Berdiri di Persimpangan

AI
AI

Ketika Alec Ross menulis The Industries of the Future pada 2016, ia bukan sekadar meramalkan tren teknologi, melainkan memberikan peta jalan menuju dunia baru yang saat itu masih dalam proses kelahiran. Kini, hampir satu dekade kemudian, kita tidak lagi berada di tahap spekulasi—kita telah melangkah ke dalamnya.

Ross membahas secara mendalam bagaimana industri masa depan akan didorong oleh lima pilar utama: robotika, kecerdasan buatan, blockchain, bioteknologi, dan big data. Masing-masing telah berkembang dengan kecepatan yang mengagumkan, bahkan melebihi ekspektasi paling optimis sekalipun. Jika pada saat buku ini ditulis AI masih terbatas pada tugas-tugas analitis yang sederhana, kini kita melihatnya mampu menciptakan seni, menari, menulis puisi, menggubah musik, bahkan memberikan diagnosa medis dengan tingkat akurasi yang menyaingi dokter manusia.

Namun, bagian yang paling mengguncang adalah pertanyaan etis yang muncul dari perkembangan ini. Ross menekankan bahwa inovasi bukan hanya tentang kemajuan teknologi, tetapi juga tentang siapa yang mengendalikannya dan bagaimana ia digunakan. Di satu sisi, AI dan robotika menjanjikan efisiensi yang luar biasa—produksi yang lebih cepat, akurasi yang lebih tinggi, dan biaya yang lebih rendah. Tetapi di sisi lain, ia mengancam fondasi sosial yang telah kita bangun selama berabad-abad: pekerjaan, ekonomi, dan bahkan konsep keberadaan manusia itu sendiri.

Bayangkan sebuah dunia di mana manusia tidak lagi menjadi pusat ekonomi, di mana pekerjaan bukan lagi hak istimewa yang dijamin, melainkan hanya tersedia bagi mereka yang memiliki keterampilan yang sangat khusus—sebuah dunia di mana mereka yang gagal beradaptasi menjadi tidak relevan. Ini bukan lagi sekadar teori; ini adalah kenyataan yang mulai terbentuk di depan mata kita.

Ross, dalam analisisnya, tidak berpihak pada pesimisme atau optimisme yang buta. Ia menawarkan satu solusi sederhana namun berat: 

manusia harus terus berinovasi dan beradaptasi, atau menerima konsekuensi dari ketertinggalan.

Dalam era ini, stagnasi adalah sinonim dari kepunahan.

Pertanyaannya kini bukan lagi apakah perubahan ini akan datang, tetapi seberapa siap kita untuk menghadapinya? Akankah kita tetap menjadi pengendali teknologi, atau justru menjadi subjek yang dikendalikan oleh algoritma dan robot?

Alec Ross telah memberi kita peringatan, dan kini kita berdiri di persimpangan sejarah. Saya bukan seorang ahli teknologi. Latar belakang akademis saya bukan di bidang kecerdasan buatan, robotika, atau data science. Namun, membaca The Industries of the Future karya Alec Ross membuat saya tidak bisa mengabaikan realitas yang sedang kita hadapi. Buku ini, meskipun ditulis 9 tahun lalu, terasa seperti ramalan yang kini tengah menjadi kenyataan. Dan saya harus mengakui—saya tertarik sekaligus cemas.

Ketertarikan saya muncul dari bagaimana Ross mengupas industri masa depan dengan begitu sistematis dan meyakinkan. Ia tidak sekadar membicarakan teknologi sebagai fenomena yang berdiri sendiri, tetapi sebagai kekuatan yang akan mendefinisikan ulang ekonomi, pekerjaan, hingga politik global. Ia menulis tentang bagaimana AI dan robot akan menggantikan jutaan pekerjaan tradisional, bagaimana data akan menjadi komoditas paling berharga, dan bagaimana bioteknologi akan memperpanjang umur manusia, bahkan mungkin mengubah definisi dari "hidup" itu sendiri.

Namun, semakin saya memahami dampaknya, semakin besar pula kecemasan yang muncul. Yang membuat saya cemas bukan sekadar kemajuan teknologi itu sendiri, tetapi kecepatan adopsinya yang luar biasa. Kita selalu berpikir bahwa perubahan besar dalam peradaban terjadi secara bertahap, memberi cukup waktu bagi manusia untuk menyesuaikan diri. Tapi bagaimana jika kali ini berbeda? Bagaimana jika kecepatan inovasi jauh melampaui kemampuan kita untuk beradaptasi?

Di bab-bab awal, Ross menjelaskan bagaimana gelombang disrupsi sebelumnya—mulai dari revolusi industri hingga era internet—membawa tantangan besar tetapi tetap memberi ruang bagi manusia untuk menemukan peran baru. Dulu, ketika mesin uap pertama kali mengguncang dunia kerja, masyarakat masih memiliki waktu puluhan tahun untuk menyesuaikan diri. Ketika komputer mulai menggantikan banyak pekerjaan administratif, manusia masih bisa beralih ke sektor lain yang belum tersentuh digitalisasi. Tetapi sekarang? AI dan robot berkembang dengan kecepatan yang tidak memberi kita banyak waktu untuk berpikir, apalagi untuk beradaptasi. Gelombang yang sekarang datang ini lebih radikal. Ini bukan lagi sekadar menggantikan cara kerja, tetapi menggantikan pekerja itu sendiri. 

Lihatlah bagaimana dalam satu dekade terakhir AI telah mulai menggeser peran manusia dalam berbagai bidang. Kita sudah melihat robot menggantikan buruh pabrik, menjadi pembantu rumah tangga, mengurus kaum manula dan bayi, kecerdasan buatan menggantikan analis data, bahkan program komputer menulis berita dan membuat keputusan hukum. Kecerdasan buatan tidak hanya menjadi alat bantu, tetapi mulai menggantikan keputusan manusia. Algoritma kini menentukan berita yang kita baca, lagu yang kita dengarkan, bahkan keputusan hukum dan investasi yang dulunya hanya bisa dibuat oleh para ahli. Robot di pabrik-pabrik tidak hanya menjalankan perintah, tetapi sudah bisa melakukan perbaikan sendiri ketika terjadi kesalahan. Sementara itu, di dunia akademik dan profesional, AI semakin mampu menulis laporan, menganalisis data, dan bahkan memberikan saran strategis. Jika demikian, apa yang tersisa untuk manusia?

Saat membaca bagian tentang perkembangan kecerdasan buatan dan otomatisasi ini lebih dalam lagi, saya mendapati bahwa ada pola yang mulai terlihat jelas: pekerjaan rutin dan repetitif adalah yang paling rentan tergantikan, sementara pekerjaan yang memerlukan kreativitas, empati, dan pengambilan keputusan kompleks masih memiliki ruang untuk bertahan. Namun, batasan ini semakin lama semakin kabur. AI yang dulunya hanya bisa menganalisis data kini bisa menciptakan karya seni, menulis puisi, dan bahkan menghasilkan ide bisnis yang kompetitif.

Alec Ross memang tidak menyajikan distopia dalam bukunya. Ia percaya bahwa manusia akan selalu menemukan jalan keluar. Namun, dari perspektif saya sebagai pembaca, optimisme ini tetap menyisakan pertanyaan besar: bagaimana jika kali ini kita tidak cukup cepat untuk beradaptasi?-Saya ingin mengulang sekali lagi pertanyaan yang sama; jika ini baru permulaannya, maka di mana posisi manusia dalam 10 atau 20 tahun ke depan? 

Disamping memberikan kabar gembira sekligus kecemasan bagi manusia, Ross juga bertanggung jawab dengan apa yang ia sampaikan sekaligus mengungkap karakter manusia yang dapat bertahan dalam kemajuan zaman ini. Ross menekankan bahwa mereka yang akan bertahan di era ini bukanlah yang hanya bergantung pada keterampilan teknis yang bisa diotomatisasi, tetapi mereka yang memiliki kapasitas berpikir kreatif, adaptif, dan inovatif. Di masa lalu, menjadi ahli dalam satu bidang sudah cukup untuk menjamin kesuksesan. Namun, di era ini, seseorang harus mampu berpikir lintas disiplin—memadukan teknologi dengan seni, menghubungkan ilmu data dengan psikologi, atau menyatukan wawasan ekonomi dengan filosofi. Teknologi berkembang pesat, tetapi yang membedakan manusia dari mesin adalah bagaimana kita merespons ketidakpastian. Jika AI beroperasi berdasarkan pola dan prediksi, manusia memiliki kemampuan untuk berimprovisasi, mengambil risiko, dan menciptakan sesuatu yang benar-benar baru. Persoalannya, seberapa realistis pandangan ini jika sebagian besar sistem pendidikan kita masih berorientasi pada metode lama? Sebagian besar orang masih dibentuk untuk mengikuti aturan, menghafal prosedur, dan menyesuaikan diri dengan struktur yang sudah ada. Padahal, di dunia yang terus berubah dan semakin dinamis, justru kemampuan untuk berpikir mandiri, menyesuaikan diri, dan menciptakan sesuatu dari ketidakpastianlah yang akan menjadi kunci bertahan.

Buku ini juga menyoroti bagaimana keunggulan manusia tidak hanya berasal dari apa yang kita ketahui, tetapi dari bagaimana kita menghubungkan berbagai pengetahuan. Bagi saya Buku ini memberikan wawasan yang luar biasa, tetapi juga membawa kegelisahan yang nyata. Kita tidak bisa lagi hanya menjadi penonton di era ini. Pertanyaannya bukan lagi apakah kita akan terkena dampaknya, tetapi sejauh mana kita siap menghadapi perubahan ini. kita tengah berdiri di ambang perubahan yang jauh lebih besar dari yang kita bayangkan. Alec Ross telah memetakan arah ke mana dunia ini bergerak—dan saya semakin menyadari bahwa kita semua ada di dalamnya, entah sebagai pelaku yang aktif atau sebagai korban dari perubahan yang tak terelakkan. Ross menegaskan bahwa di masa depan, 

relevansi akan menjadi mata uang utama.

Bukan lagi soal siapa yang paling kuat secara fisik atau siapa yang paling berpengalaman dalam satu bidang tertentu, tetapi siapa yang bisa terus menyesuaikan diri dengan perubahan.

Sekali lagi saya katakan bahwa saya mungkin bukan ahli dalam teknologi -saya tidak ingin juga menjadi orang yang sok tahu tentang itu- tetapi sebagai seseorang yang hidup di zaman ini, saya tidak bisa mengabaikan apa yang terjadi. Dan saya rasa, siapa pun yang membaca buku ini akan merasakan hal yang sama—ketertarikan yang bercampur dengan kecemasan akan masa depan yang semakin dekat. Di satu sisi, saya kagum dengan semua perkembangan ini. Di sisi lain, saya tidak bisa menyingkirkan perasaan bahwa kita sedang berlomba dengan sesuatu yang tidak bisa kita kendalikan sepenuhnya.

Mungkin inilah realitas baru yang harus kita hadapi: 

tidak ada jaminan bahwa kita akan selalu lebih unggul dari mesin, kecuali kita terus mengembangkan keunggulan yang tidak bisa direplikasi oleh algoritma dan robot. 

Manusia bisa menemukan cara untuk hidup berdampingan dengan teknologi tanpa harus tersingkir. Namun, Ross juga mengingatkan bahwa masa depan tidak akan memberi ruang bagi mereka yang hanya menunggu dan berharap semuanya akan tetap seperti dulu. Jadi, saat saya menutup buku ini, saya bertanya pada diri sendiri: Apakah saya hanya akan menjadi penonton dalam perubahan ini, atau saya akan menjadi bagian dari mereka yang membentuk masa depan?

Saya ingin tekankan, masa depan tidak akan memberi ruang bagi mereka yang hanya menunggu dan berharap semuanya akan tetap seperti dulu. Dan sekali lagi, pertanyaan besar itu muncul: "apakah kita benar-benar siap?" Sebab, seperti yang Ross katakan, "Manusialah yang menentukan; beradaptasi atau musnah."

Billahitaufiqwalhidayah...

Aryanda Putra
Aryanda Putra

Penulis:

ARYANDA PUTRA - Sekretaris Umum Badan Koordinasi HMI (Badko HMI) Sumatera Barat

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun