Ketertarikan saya muncul dari bagaimana Ross mengupas industri masa depan dengan begitu sistematis dan meyakinkan. Ia tidak sekadar membicarakan teknologi sebagai fenomena yang berdiri sendiri, tetapi sebagai kekuatan yang akan mendefinisikan ulang ekonomi, pekerjaan, hingga politik global. Ia menulis tentang bagaimana AI dan robot akan menggantikan jutaan pekerjaan tradisional, bagaimana data akan menjadi komoditas paling berharga, dan bagaimana bioteknologi akan memperpanjang umur manusia, bahkan mungkin mengubah definisi dari "hidup" itu sendiri.
Namun, semakin saya memahami dampaknya, semakin besar pula kecemasan yang muncul. Yang membuat saya cemas bukan sekadar kemajuan teknologi itu sendiri, tetapi kecepatan adopsinya yang luar biasa. Kita selalu berpikir bahwa perubahan besar dalam peradaban terjadi secara bertahap, memberi cukup waktu bagi manusia untuk menyesuaikan diri. Tapi bagaimana jika kali ini berbeda? Bagaimana jika kecepatan inovasi jauh melampaui kemampuan kita untuk beradaptasi?
Di bab-bab awal, Ross menjelaskan bagaimana gelombang disrupsi sebelumnya—mulai dari revolusi industri hingga era internet—membawa tantangan besar tetapi tetap memberi ruang bagi manusia untuk menemukan peran baru. Dulu, ketika mesin uap pertama kali mengguncang dunia kerja, masyarakat masih memiliki waktu puluhan tahun untuk menyesuaikan diri. Ketika komputer mulai menggantikan banyak pekerjaan administratif, manusia masih bisa beralih ke sektor lain yang belum tersentuh digitalisasi. Tetapi sekarang? AI dan robot berkembang dengan kecepatan yang tidak memberi kita banyak waktu untuk berpikir, apalagi untuk beradaptasi. Gelombang yang sekarang datang ini lebih radikal. Ini bukan lagi sekadar menggantikan cara kerja, tetapi menggantikan pekerja itu sendiri.Â
Lihatlah bagaimana dalam satu dekade terakhir AI telah mulai menggeser peran manusia dalam berbagai bidang. Kita sudah melihat robot menggantikan buruh pabrik, menjadi pembantu rumah tangga, mengurus kaum manula dan bayi, kecerdasan buatan menggantikan analis data, bahkan program komputer menulis berita dan membuat keputusan hukum. Kecerdasan buatan tidak hanya menjadi alat bantu, tetapi mulai menggantikan keputusan manusia. Algoritma kini menentukan berita yang kita baca, lagu yang kita dengarkan, bahkan keputusan hukum dan investasi yang dulunya hanya bisa dibuat oleh para ahli. Robot di pabrik-pabrik tidak hanya menjalankan perintah, tetapi sudah bisa melakukan perbaikan sendiri ketika terjadi kesalahan. Sementara itu, di dunia akademik dan profesional, AI semakin mampu menulis laporan, menganalisis data, dan bahkan memberikan saran strategis. Jika demikian, apa yang tersisa untuk manusia?
Saat membaca bagian tentang perkembangan kecerdasan buatan dan otomatisasi ini lebih dalam lagi, saya mendapati bahwa ada pola yang mulai terlihat jelas: pekerjaan rutin dan repetitif adalah yang paling rentan tergantikan, sementara pekerjaan yang memerlukan kreativitas, empati, dan pengambilan keputusan kompleks masih memiliki ruang untuk bertahan. Namun, batasan ini semakin lama semakin kabur. AI yang dulunya hanya bisa menganalisis data kini bisa menciptakan karya seni, menulis puisi, dan bahkan menghasilkan ide bisnis yang kompetitif.
Alec Ross memang tidak menyajikan distopia dalam bukunya. Ia percaya bahwa manusia akan selalu menemukan jalan keluar. Namun, dari perspektif saya sebagai pembaca, optimisme ini tetap menyisakan pertanyaan besar: bagaimana jika kali ini kita tidak cukup cepat untuk beradaptasi?-Saya ingin mengulang sekali lagi pertanyaan yang sama; jika ini baru permulaannya, maka di mana posisi manusia dalam 10 atau 20 tahun ke depan?Â
Disamping memberikan kabar gembira sekligus kecemasan bagi manusia, Ross juga bertanggung jawab dengan apa yang ia sampaikan sekaligus mengungkap karakter manusia yang dapat bertahan dalam kemajuan zaman ini. Ross menekankan bahwa mereka yang akan bertahan di era ini bukanlah yang hanya bergantung pada keterampilan teknis yang bisa diotomatisasi, tetapi mereka yang memiliki kapasitas berpikir kreatif, adaptif, dan inovatif. Di masa lalu, menjadi ahli dalam satu bidang sudah cukup untuk menjamin kesuksesan. Namun, di era ini, seseorang harus mampu berpikir lintas disiplin—memadukan teknologi dengan seni, menghubungkan ilmu data dengan psikologi, atau menyatukan wawasan ekonomi dengan filosofi. Teknologi berkembang pesat, tetapi yang membedakan manusia dari mesin adalah bagaimana kita merespons ketidakpastian. Jika AI beroperasi berdasarkan pola dan prediksi, manusia memiliki kemampuan untuk berimprovisasi, mengambil risiko, dan menciptakan sesuatu yang benar-benar baru. Persoalannya, seberapa realistis pandangan ini jika sebagian besar sistem pendidikan kita masih berorientasi pada metode lama? Sebagian besar orang masih dibentuk untuk mengikuti aturan, menghafal prosedur, dan menyesuaikan diri dengan struktur yang sudah ada. Padahal, di dunia yang terus berubah dan semakin dinamis, justru kemampuan untuk berpikir mandiri, menyesuaikan diri, dan menciptakan sesuatu dari ketidakpastianlah yang akan menjadi kunci bertahan.
Buku ini juga menyoroti bagaimana keunggulan manusia tidak hanya berasal dari apa yang kita ketahui, tetapi dari bagaimana kita menghubungkan berbagai pengetahuan. Bagi saya Buku ini memberikan wawasan yang luar biasa, tetapi juga membawa kegelisahan yang nyata. Kita tidak bisa lagi hanya menjadi penonton di era ini. Pertanyaannya bukan lagi apakah kita akan terkena dampaknya, tetapi sejauh mana kita siap menghadapi perubahan ini. kita tengah berdiri di ambang perubahan yang jauh lebih besar dari yang kita bayangkan. Alec Ross telah memetakan arah ke mana dunia ini bergerak—dan saya semakin menyadari bahwa kita semua ada di dalamnya, entah sebagai pelaku yang aktif atau sebagai korban dari perubahan yang tak terelakkan. Ross menegaskan bahwa di masa depan,Â
relevansi akan menjadi mata uang utama.
Bukan lagi soal siapa yang paling kuat secara fisik atau siapa yang paling berpengalaman dalam satu bidang tertentu, tetapi siapa yang bisa terus menyesuaikan diri dengan perubahan.
Sekali lagi saya katakan bahwa saya mungkin bukan ahli dalam teknologi -saya tidak ingin juga menjadi orang yang sok tahu tentang itu- tetapi sebagai seseorang yang hidup di zaman ini, saya tidak bisa mengabaikan apa yang terjadi. Dan saya rasa, siapa pun yang membaca buku ini akan merasakan hal yang sama—ketertarikan yang bercampur dengan kecemasan akan masa depan yang semakin dekat. Di satu sisi, saya kagum dengan semua perkembangan ini. Di sisi lain, saya tidak bisa menyingkirkan perasaan bahwa kita sedang berlomba dengan sesuatu yang tidak bisa kita kendalikan sepenuhnya.