Jika Konfercab terus dikuasai oleh kepentingan segelintir pihak, kita bukan hanya merusak proses regenerasi, tapi juga membunuh kreativitas dan keberanian kader. Bagaimana bisa kita berharap HMI melahirkan pemimpin bangsa jika di internal saja kita takut dengan perbedaan gagasan?
HMI harus kembali ke ruhnya sebagai organisasi yang menghargai independensi dan keberanian berpikir. Senior yang sejati seharusnya menjadi pendukung di belakang layar, bukan sutradara yang memaksakan skenario. Dan para kader aktif harus berani mengambil posisi, mengingatkan dengan tegas tapi santun bahwa Konfercab adalah milik mereka, bukan ajang nostalgia bagi mereka yang sudah tidak aktif.
Ingat, pemimpin yang lahir dari proses yang sehat akan membawa arah organisasi ke tempat yang lebih baik. Sebaliknya, pemimpin yang lahir dari intervensi hanya akan terus tergantung pada mereka yang "mengorbitkan" mereka. Jadi, mari kita bersama-sama menjaga Konfercab sebagai ruang independen, intelektual, dan penuh kedewasaan. Sebab, masa depan HMI ditentukan di sini, bukan di tangan mereka yang hanya ingin melanggengkan pengaruhnya.
Pola Regenerasi Kepemimpinan HMI: Antara Mimpi dan Kenyataan
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah organisasi besar yang sering dielu-elukan sebagai kawah candradimuka para pemimpin bangsa. Narasinya selalu heroik: "Melahirkan insan cita untuk mewujudkan masyarakat adil makmur yang di ridhoi Allah Swt." Tapi, mari kita jujur—apakah regenerasi kepemimpinan di HMI masih sesuai idealitas, atau justru sudah terjebak dalam labirin realitas yang membingungkan?
Regenerasi idealnya adalah proses alami, di mana kader terbaik maju dengan kompetensi unggul dan visi yang jelas. Namun, di realitas lapangan, sering kali regenerasi lebih mirip drama sinetron yang penuh intrik. Ada kandidat yang maju bukan karena kapasitas, melainkan karena koneksi. Sebaliknya, kader potensial kadang mundur karena bosan melihat "pertarungan para dewa" di belakang layar.
Konferensi Cabang (Konfercab), yang seharusnya jadi arena intelektual, malah sering berubah jadi arena gladiator. Orasi-orasi penuh semangat berubah jadi sekadar formalitas, karena semua sudah tahu siapa "jagoan" yang akan menang—bukan karena visi misinya, tapi karena kedekatan nya dengan senior atau unsur materi lainnya.
Belum lagi soal loyalitas kader. Dalam idealitas, setiap kader diharapkan setia pada nilai Islam dan visi organisasi. Tapi di realitas, loyalitas kadang dipersembahkan untuk senior tertentu yang dianggap “dewa penolong” menuju posisi strategis. Jadilah regenerasi ini seperti permainan catur, di mana kader adalah bidak, dan senior adalah pemain.
Namun, tak adil jika kita hanya melihat sisi gelapnya. Meski penuh tantangan, regenerasi di HMI masih melahirkan pemimpin-pemimpin hebat. Mereka yang lolos dari seleksi alam dan politik organisasi biasanya tampil lebih tangguh. Tentu saja, ini berkat pelajaran berharga dari kerasnya dinamika internal.
Regenerasi HMI, pada akhirnya, adalah cerminan kecil dari politik Indonesia. Kita bisa memilih—ingin tetap terjebak dalam drama klasik yang penuh kompromi, atau kembali ke idealitas dengan membangun budaya meritokrasi.
Sampai hari itu tiba, mungkin kita hanya bisa berkata, "Ya beginilah HMI, tempat kaderisasi bercampur aduk antara idealisme dan pragmatisme. Tapi justru di sini kita belajar menjadi manusia seutuhnya, yang berani menghadapi dunia dengan segala absurditasnya."