Mohon tunggu...
Aryanda Putra
Aryanda Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Jika Kesalahan dan Kebenaran bisa untuk didialogkan, kenapa harus mencari-cari Justifikasi untuk pembenaran sepihak. Association - A Stoic

Ab esse ad posse

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menelusuri Defisit APBD Bukittinggi, Perspektif Kritis, Bukan Sekadar Tudingan

19 November 2024   23:59 Diperbarui: 20 November 2024   03:42 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai aktivis yang berkarir di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), saya sering kali tergerak untuk menyelami isu-isu daerah yang cukup ramai dibicarakan. Terbaru ada kabar yang menyatakan defisit APBD Bukittinggi 2024, dengan klaim yang menyebutkan bahwa Wali Kota Erman Safar “gagal mengelola pemerintahan.” Makin penasaranlah saya. Ini bukan soal sekadar anggaran, tapi soal bagaimana kebijakan mempengaruhi kehidupan orang banyak. 

Secara sadar, saya bukan lah seorang ahli ekonomi ataupun pakar tentang Kebijakan Publik. Tanpa pikir panjang, saya menghubungi salah satu senior yang saya kenal baik di HMI, seorang guru besar Ekonomi Publik, seorang akademisi yang sering terlibat dalam diskusi-diskusi penting. 

Kalau sudah bicara soal pengelolaan keuangan daerah, siapa lagi yang lebih paham selain beliau, yang memiliki pengalaman bertahun-tahun dan sudah mencerna berbagai kebijakan pemerintah? Saya rasa, ini kesempatan emas untuk mendapatkan perspektif lebih mendalam, bukan cuma ikut-ikutan opini orang di luar sana. 

Toh, kalau soal teori ekonomi, beliau pasti lebih paham daripada kita yang cuma jadi penonton, kan? Sayangnya beliau tidak mau untuk di spiil namanya beliau katakan "biar Yanda saja yang jadi spotlight beeitanya", kalau dipikir-pikir benar juga hehe. Namun saya sudah minta izin untuk dialog ini nanti akan saya tuangkan dalam tulisan.  

Dan memang keunikan HMI itu disini, kita di ibaratkan diberikan Akses VIP untuk berhubungan dan berinteraksi kapanpun dengan orang-orang penting dan berpengaruh, itu bisa terjadi karna banyak Alumni-alumni HMI yang memegang jabatan penting dan ahli dalam bidang keilmuan nya. 

Pada saat saya hubungi, beliau dengan senang hati meladeni pembicaraan yang blak²an dari junior nya ini. Karna memang tidak sempat untuk bertemu lngsung disebabkan jarak dan waktu yg belum memungkinkan, saya minta waktu beliau untuk melakukan pertemuan daring lewat video call WA. 

Panjang lebar dialog yang kami lakukan, banyak hal yang kami bahas termasuk tentang soal Defisit APBD Bukittinggi yang di klaim oleh beberapa media sebagai kegagalan dari walikota Erman Safar. Tapi benarkah klaim itu tepat? Atau sekedar isu yang sengaja di Hyperbola kan, karna kontestasi Pilkada tinggal menghitung hari lagi. 

Ya ini umum terjadi, apalagi pada Pilkada hari ini salah satu kontestan adalah petahana yang ikut mencalonkan kembali pada periode keduanya, isu tentang kebijakan sebelumnya memang menjadi hidangan spesial yang memuaskan untuk di pelintir sedemikian rupa (oleh para kandidat lain dan medianya) menjadi senjata ampuh untuk melumpuhkan petahana, meski isu yang diklaim itu tidak diuji terlebih dahulu kebenarannya secara ilmiah. Sedikit saya paparkan beberapa poin hasil pembicaraan saya semalam dengan salah seorang senior saya ini, tulisan ini saya paparkan dalam bentuk dialog interaktif agar lebih mudah dipahami.

Saya: "BangProf! Ini saya mau ngobrol sedikit nih soal isu defisit APBD di Bukittinggi. Kalau kita dengar berita, banyak yang langsung menyalahkan Pak Wali Kota Erman Safar. Tapi, saya kok merasa kayaknya ada yang perlu kita gali lebih dalam, ya? Apa benar ini murni salah pengelolaan dari pemda, atau ada faktor lain yang bisa kita lihat? Karena bagaimanapun, saya yakin situasi ini lebih kompleks daripada sekadar 'gagal kelola anggaran, kan nggak sesederhana itu ya?  

Tapi kalau kita telaah lebih jauh, emangnya defisit itu selalu berarti salah urus Prof? Bukankah kita ini sedang hidup di zaman yang serba penuh tantangan ekonomi? Dan kalau kita perhatikan, banyak daerah lain juga mengalami kondisi serupa, bahkan yang skala PAD-nya lebih besar daripada Bukittinggi. 

Nah, menurut Prof sendiri, apakah tudingan bahwa defisit ini jadi bukti kegagalan Bang Wako Erman Safar? Atau ini sebenarnya lebih soal ketidakpuasan beberapa pihak yang menginginkan pendekatan berbeda? Saya dan masyarakat Bukittinggi ingin memahami ini dengan baik, jangan sampai kami cuma menilai permukaan masalah tanpa benar-benar memahami kompleksitas pengelolaan keuangan daerah.”

Bang Prof: "Ha-ha, kamu kritis juga, ya. Tapi bagus, memang sudah semestinya begitu! Kalau cuma ikut narasi umum tanpa telaah lebih dalam, nanti bisa salah paham. Jadi begini, soal defisit APBD, jangan langsung dibaca sebagai kegagalan. 

Sebenarnya, defisit itu kan hal yang lumrah, ya. Di seluruh dunia, bukan cuma di Indonesia, banyak pemerintah daerah yang mengalami defisit. Masalahnya, defisit ini sering dipakai sebagai alat politis. Kalau kita pakai kacamata yang netral, defisit bukan selalu berarti buruk” timpalnya. "

Defisit itu, terutama di daerah, bisa terjadi karena banyak faktor. Poin utamanya bukan soal defisit atau surplus, tapi bagaimana pengelolaan belanja dan pendapatan itu diprioritaskan untuk kepentingan rakyat. Sering kali publik melihat defisit sebagai kegagalan tanpa mempertimbangkan konteks kebijakan nasional dan faktor struktural lain. 

Padahal, defisit bukan berarti gagal, apalagi kalau kita bicara tentang perubahan besar seperti Undang-Undang No. 1 Tahun 2022. UU itu mengatur ulang pajak daerah dan retribusi, dan butuh waktu bagi daerah untuk beradaptasi, termasuk Bukittinggi." saya tegaskan lagi bahwa defisit tu bukan berarti pemimpin yang gagal. Defisit di APBD tu biasa, apalagi kalo daerah fokus pada pembangunan dan program sosial. Jangan langsung disimpulkan seolah-olah itu semata kesalahan pemerintah daerah.

Saya: "Saya ingat dulu, waktu awal di HMI, bertemu dengan bang Prof, Prof pernah bilang kalau

'tugas pemerintah bukan sekadar mencatat untung dan rugi kayak perusahaan.'

Pemerintah itu kan mengemban tanggung jawab untuk melayani publik. Memangnya, kalau terjadi defisit, langsung bisa dibilang ada pengelolaan yang buruk? Bang Prof tahu sendiri, setelah pandemi, semua serba naik – dari harga bahan pokok sampai biaya proyek pembangunan. Jadi logis kalau ada belanja yang lebih besar untuk kepentingan publik. Menurut bang Prof, apakah hanya karena ada defisit, langsung jadi tanda kegagalan?"

Bang Prof: "Memang benar, pemerintah daerah bukan perusahaan yang harus mencari untung. Justru, dengan belanja yang besar, kalau itu untuk kesehatan, pendidikan, bantuan sosial, ya berarti pemerintah bekerja. Itu artinya dana benar-benar sampai ke masyarakat. Kadang, kita ini memang lebih senang melihat angka-angka ketimbang dampak nyatanya. Padahal, bukannya lebih baik kita melihat apa yang bisa dihasilkan dari belanja itu? 

Kalau defisitnya untuk program-program yang bisa membantu masyarakat, saya rasa itu keputusan yang bisa diterima, apalagi dalam kondisi ekonomi yang sulit sekarang. Yang sering kali dilupakan adalah bahwa kebijakan publik, apalagi keuangan daerah, nggak bisa berjalan hanya dari sisi ideal saja, tapi juga harus mempertimbangkan realita sosial-ekonomi. 

Contohnya itu tadi sepeti yang disebutkan dalam berita yang kamu kirim kan kesaya tadi, bansos dan hibah yang dikritik sebagai 'biang' defisit itu kan juga penting untuk masyarakat yang masih perlu bantuan, meski kita tahu tingkat kemiskinan sudah menurun."

Saya: Saya menimpali sambil mengangguk. "Betul, Prof. Lagipula, pemda juga kan pasti punya hitungan, nggak mungkin mereka asal pasang target tinggi tanpa dasar. Kalau saya amati, target PAD tinggi itu bisa jadi refleksi bahwa pemerintah optimis atau setidaknya ingin menggenjot pendapatan daerah secara lebih serius," "Cuman ya itu, bangProf, sering kali masyarakat nggak tahu sisi lain, seperti potensi Silpa atau perubahan mekanisme pajak dan retribusi itu sendiri.

"Tapi Prof, ada juga isu soal kebocoran retribusi parkir dan pendapatan Pasar Atas yang dianggap membebani APBD. Apakah ini benar-benar mencerminkan lemahnya pengawasan atau bisa ada perspektif lain?"

Bang Prof: Profesor menghela napas, "Itu isu klasik di banyak daerah, pengawasan retribusi memang tidak semudah teori. Butuh sumber daya, teknologi, dan integrasi antar-dinas untuk benar-benar mengontrol setiap pos retribusi. Tapi ingat, adanya target PAD yang tinggi di sektor itu justru menunjukkan bahwa pemda serius dalam mengejar pendapatan, meski hasilnya belum optimal."

Saya: "Lalu , dari berita yang saya baca ada yang menyinggung soal deposito, memang ada ya aturan kalau setiap kali defisit langsung harus diambil? Deposito itu kan cadangan, seperti kata Prof, ‘payung untuk jaga-jaga’. Bukan berarti begitu ada awan mendung langsung dipakai juga, kan? Siapa tahu, Pak Erman dan tim berpikir panjang soal ketahanan fiskal untuk jangka ke depan. Kalau cadangan ini dihabiskan sekarang, nanti kalau ada krisis yang lebih parah, kita bisa kekurangan dana yang benar-benar darurat. Atau ini saya yang naif, Pak Prof?"

Bang Prof: "Soal deposito, betul sekali. Deposit itu bukan uang yang bisa diambil kapan saja seperti ambil uang di ATM. Ada aturan dan pertimbangan fiskal jangka panjang. Apalagi kalau kondisinya bukannya krisis total, mungkin Pemko berpikir untuk mempertahankan cadangan itu. 

Lagipula, kita kan nggak mau juga nanti kalau ada situasi yang lebih darurat, Bukittinggi jadi tak punya bantalan dana. Jadi, jangan asal teriak minta deposito dicairkan. Harus lihat juga apakah keputusan itu bijak di jangka panjang."

Saya: "Lalu soal Silpa yang katanya ‘hilang’ 30 miliar itu. Nah, ini nih yang sering jadi isu, padahal Silpa itu bisa ada berbagai sebab, termasuk karena program yang tidak terealisasi tepat waktu atau penggunaan anggaran yang memang perlu dipertimbangkan lagi. Kalau ada sisa anggaran yang nggak digunakan, masa iya langsung dicap 'hilang'? Saya pikir, mungkin perlu diperjelas, audit saja biar publik juga tahu situasinya. Bukankah ini bentuk transparansi?"

Bang Prof: "hehehe.., Aduh, ini memang sering jadi bahan gosip ya. Begini, Silpa atau sisa lebih perhitungan anggaran itu bukan serta-merta 'dana hilang.' Silpa terjadi ketika ada anggaran yang tidak terserap atau terserapnya terlambat.

Ini perlu audit yang jelas supaya tidak timbul spekulasi. Jangan-jangan ini bukan soal dana hilang, tapi soal administrasi saja yang belum tuntas. Nah, ini tugas kita juga untuk memastikan transparansi. Kalau ada kekurangan, betul, mari kita tagih akuntabilitas, tapi jangan asal tuduh juga."

Saya: "Dari berita yang saya baca tentang kas daerah yang kosong, kira-kira sebenarnya kenapa sih kas daerah bisa sampai kosong? bahkan Saya dengar Pajak Bumi Bangunan (PBB) juga belum bisa dibayarkan? bagaiamana taanggapan bang prof”

Bang Prof: “Masalah likuiditas itu biasa terjadi di daerah-daerah, apalagi menjelang akhir tahun. Dalam kondisi tertentu, bahkan pemerintah pusat pun kadang harus menutup defisit kasnya sementara waktu. 

Likuiditas yang rendah bukan berarti mismanajemen, bisa saja ini efek dari pola pencairan Dana Alokasi Umum (DAU) atau transfer pusat. Kalau pemerintah daerah proaktif, mereka bisa memanfaatkan Silpa dari tahun sebelumnya sebagai cadangan untuk kondisi seperti ini.”

Saya: "Terakhir, soal bansos dan hibah yang katanya bukan urusan Pemko, tapi jadi beban APBD. Nah, kalau bicara soal pelayanan publik, bantuan semacam ini sebetulnya bisa membantu masyarakat yang rentan, kan? Bukittinggi ini kan bukan sekadar soal anggaran, tapi juga soal dampak ke masyarakat. Bukankah lebih baik pemerintah hadir untuk masyarakat, meskipun artinya harus ngalah di anggaran? Menurut saya, bukannya Pemko sedang berupaya untuk memastikan masyarakat yang rentan bisa merasakan dampak langsung dari kebijakan mereka?"

Bang Prof: "Soal bansos dan hibah yang jadi beban APBD – memang ini dilematis, tapi tidak berarti itu kesalahan total.

 ‘Kadang kebijakan yang baik itu bukan yang paling menguntungkan angka, tapi yang paling bisa dirasakan masyarakat.’ 

Kalau ada masyarakat yang butuh bantuan langsung, dan Pemko bisa bantu, masa harus dicuekin? Ini memang bukan 100% tanggung jawab Pemko, tapi situasi di lapangan sering kali memaksa pemerintah daerah untuk turun tangan. Kalau kebijakan ini membantu masyarakat yang sedang kesusahan, saya rasa itu langkah yang berani dan layak dihargai."

Saya: Saya tersenyum, merasa sedikit tercerahkan. "Jadi, sebenarnya cap 'gagal' itu nggak tepat ya, Prof? Kalau begini, mungkin yang lebih fair adalah mendorong transparansi lebih jauh, bukan menuding gagal."

Bang Prof: "Betul," jawab Profesor. "Kalau kita fair, kita juga harus memahami proses adaptasi di balik kebijakan ini. Fokus kita, sebagai aktivis dan pemikir HMI, harus mengawal kebijakan ini dengan kritis namun tetap obyektif. 

Jadikan kritik yang kita lontarkan untuk konstruktif, supaya mendorong transparansi dan akuntabilitas, bukan sekadar menyalahkan. Jadi, kalau ada yang bilang defisit ini tanda Bang Wako (panggilan Walikota Erman Safar) gagal, ya itu terlalu simplistik. Ada banyak pihak yang memang menuntut pemerintah daerah bekerja lebih keras, dan itu wajar. 

Tapi, menilai seluruh kebijakan hanya dari angka defisit itu keliru. Selain itu, soal defisit, Dalam teori manajemen keuangan publik, defisit itu bukan selalu indikator kegagalan kok. 

Kadang malah menunjukkan kalau pemerintah lagi mengupayakan sesuatu yang lebih besar buat masyarakatnya. Pemerintahan itu dinilai dari dampak kebijakannya pada masyarakat, bukan cuma dari saldo keuangannya. Nah, kita di HMI kan selalu di ajarkan, kalau mau bersikap kritis, pastikan juga kalian melihat dari berbagai sudut. Jangan cuma ikut arus, cari tahu dulu data, pahami situasi. Kalau kita cuma main ikut-ikutan, kapan bisa dewasa dalam berpikir?"

Saya: "Benar juga, bangProf, kalau dilihat dari perspektif ini memang jadi lebih masuk akal. Kadang, publik lebih fokus ke isu permukaan, tapi jarang mau memahami kompleksitas di balik kebijakan pemerintah. 

Seperti kasus defisit ini, begitu dengar kata 'defisit' saja, langsung dianggap bencana. Padahal, kalau kita lihat pemerintah pusat juga kadang mengalami defisit, kan, Prof? Dan itu tidak serta-merta jadi tanda gagal, malah sering kali justru disebabkan oleh belanja publik yang meningkat untuk pembangunan dan kebutuhan sosial.

Bang Prof: "Betul, kamu sudah mulai paham sekarang. Menjadi aktivis itu artinya harus punya pemahaman yang mendalam dan kritis, tapi juga objektif. Kamu dan adik-adik HMI yang lain punya posisi strategis. Sebagai organisasi besar dengan alumni di mana-mana, termasuk saya, kalian punya akses ke banyak informasi dan jaringan. Manfaatkan itu untuk mengedukasi masyarakat. 

Bisa saja HMI buat kajian independen, adakan diskusi publik tentang kebijakan anggaran daerah. Dengan begitu, masyarakat bisa dapat informasi yang benar, dan kalian juga bisa jadi jembatan antara pemerintah dan rakyat". Ucap beliau sambil melirik jam tangannya.

"Dan, jangan lupa, bangun dialog yang sehat dengan Pemko. Kalau ada kebijakan yang kurang transparan, bukan berarti kita harus langsung menuding. Tanyakan dulu, ajak diskusi. Sebagai aktivis, kalian juga harus punya sikap konstruktif, bukan hanya oposisi. 

Jangan cuma mengkritik, tapi juga kasih solusi." Beliau melanjutkan; "Jadi, sebagai aktivis, ingat untuk berpikir jernih. Memahami situasi yang rumit ini bisa jadi jalan untuk menjadi agen perubahan yang bijak dan bertanggung jawab. Saya harap kalian terus belajar, jangan cuma puas dengan pandangan satu sisi. Semoga HMI terus jadi organisasi yang membangun, bukan sekadar bicara lantang tanpa dasar." Tutup Guru Besar Kampus ternama di Jogja ini.

Saya: "Siiiap bangProf panutan, Terima kasih banyak atas pencerahannya."

Jadi, kalau kita tarik benang merah dari obrolan ini, defisit APBD Bukittinggi memang bukan masalah yang bisa disederhanakan hanya dengan menyalahkan satu pihak. Ada banyak variabel yang mempengaruhi, mulai dari perubahan kebijakan fiskal nasional sampai dengan dinamika pengelolaan PAD yang memang masih perlu penyempurnaan. Pemko Bukittinggi, dengan segala tantangannya, tampaknya sedang berupaya keras untuk menyesuaikan diri dan meningkatkan kemandirian fiskal.

Tentu saja, kritik itu tetap perlu, apalagi kalau kita melihat ada kebocoran PAD atau pengelolaan yang belum maksimal. Tapi, kritik yang kita berikan harus diimbangi juga dengan solusi dan pemahaman konteks agar bermanfaat bagi pembangunan daerah.

Dialog ini menjadi renungan, bahwa di dunia yang semakin kompleks, kritik pun harus proporsional. Opini saya makin jelas: defisit APBD Bukittinggi bukanlah vonis kegagalan Erman Safar sebagai Walikota, tapi sebuah tantangan dalam menjaga keseimbangan antara tuntutan masyarakat dan keterbatasan sumber daya daerah. 

Billahitaufiqwalhidayah

Penulis:

Aryanda Putra - Akfivis Pemuda Bukittinggi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun