Dan mari kita tak lupakan Paslon 2, Novil-Reja, yang tampaknya lebih nyaman berada di tengah panggung sebagai komentator. Daripada menonjolkan visi yang kuat, mereka justru asyik memuji-muji paslon 3 dan 4, seolah-olah tanpa gagasan sendiri.Â
Agaknya debat Pilkada kali ini adalah ajang yang lebih cocok bagi mereka sebagai juri ketimbang calon pemimpin. Pasangan ini benar-benar tampil bak pemandu acara yang lebih sibuk mengomentari penampilan paslon lain daripada menunjukkan solusi konkret. Mungkin mereka ingin dikenal sebagai paslon yang "bijaksana" dan "menghormati lawan." Namun, penghormatan itu terasa hambar ketika yang diperjuangkan adalah kekosongan visi dan janji yang menguap begitu saja.
Satu hal yang mungkin rakyat sadari dari debat ini adalah siapa sebenarnya yang bicara untuk mereka dan siapa yang sekadar ingin duduk di kursi kekuasaan. Paslon 3, Erman Heldo, setidaknya memahami bahwa rakyat butuh lebih dari sekadar "penataan" atau "penyelamatan." Dengan janji untuk menyediakan lapangan kerja, subsidi pendidikan, dan layanan kesehatan, mereka tampak jauh lebih relevan dengan kondisi nyata Bukittinggi saat ini. Bagi mereka, kenyataan bahwa 4,8% warga masih menganggur bukan sekadar angka statistik, tetapi refleksi dari kebutuhan mendesak untuk perubahan nyata.
Rakyat Bukittinggi mungkin mulai berpikir: jika kita memberi suara kepada seseorang, apa yang sebenarnya kita pilih? Pembangunan megah tanpa makna atau sekadar jargon "penataan ulang" yang nyaris kosong? Ataukah, akhirnya, kita memilih janji yang terdengar sederhana tapi realistis—yakni janji untuk mengurangi beban hidup, memberi kesempatan kerja, dan memastikan setiap warga mendapat air bersih serta pelayanan kesehatan?
Bisa jadi, di balik semua retorika, rakyat mulai memahami bahwa janji sederhana untuk kesejahteraan lebih bermakna daripada mimpi-mimpi besar yang hanya indah dalam wacana.
Pada akhirnya, di tengah debat yang penuh dengan retorika, Erman Heldo muncul sebagai satu-satunya harapan bagi mereka yang tak terdengar suaranya di gedung pemerintahan. Di tengah debat yang memfokuskan pada "tata kota" dan "penyelamatan" yang sulit dipahami maknanya, masyarakat Bukittinggi mungkin mulai bertanya: apakah hanya Erman Heldo yang mengerti bahwa rakyat lebih butuh nasi di meja dibandingkan taman bunga di alun-alun kota? Silahkan dibicarakan.
Penulis:
Aryanda Putra
Aktivis Muda Bukittinggi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H