Politisasi Agama: Jalan Terjal Menuju Integritas Sosial
Campur tangan MUI Payakumbuh dalam urusan politik praktis mencerminkan gejala klasik politisasi agama. Agama, dalam banyak teori sosiologis, sering kali digunakan sebagai alat mobilisasi massa dan legitimasi kekuasaan. Max Weber dalam The Sociology of Religion menekankan bahwa otoritas agama kerap dijadikan pijakan moral dalam proses politik, tetapi ia juga mengingatkan bahwa penyalahgunaan otoritas ini bisa merusak tatanan sosial.
Ketika MUI melarang UAS atas dugaan politik praktis, mereka seolah lupa bahwa netralitas agama adalah pilar penting dalam menjaga kohesi umat. Pembatasan terhadap ulama berdasarkan asal dan indikasi politik malah berisiko memicu konflik horizontal di masyarakat. Hal ini bisa dilihat sebagai manifestasi dari in-group vs. out-group conflict yang dipaparkan oleh Emile Durkheim, di mana identitas kelompok (dalam hal ini “ulama lokal” versus “ulama luar”) bisa dijadikan justifikasi untuk menyingkirkan yang dianggap tidak sejalan.
Di sisi lain, intervensi MUI terhadap hak politik seseorang juga menggambarkan apa yang disebut sosiolog C. Wright Mills sebagai power elite. Lembaga agama yang seharusnya berada di atas kepentingan politik justru bertransformasi menjadi alat kekuasaan untuk menjaga status quo dan mengontrol pilihan masyarakat. Dalam konteks ini, umat bisa jadi sekadar instrumen dalam permainan politik elite, dan agama menjadi komoditas yang mudah dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu.
Pluralitas Pilihan Politik dan Kearifan Ulama
MUI Payakumbuh seharusnya mengambil peran sebagai penyeimbang, bukan pembatas. Membatasi ulama untuk terlibat dalam politik adalah bentuk 'reduksi peran publik' yang seharusnya mereka miliki. Seyogianya, ulama yang aktif dalam politik dilihat sebagai bentuk ijtihad, bukan ancaman. Ini selaras dengan teori Robert Putnam tentang social capital—di mana keterlibatan aktif figur publik dalam urusan sosial dan politik justru memperkaya kohesi sosial, bukan memecah belahnya. Namun, keterlibatan tersebut harus berjalan dengan cara-cara yang tetap mengedepankan etika dan menghormati perbedaan.
Jika kekhawatiran MUI adalah potensi perpecahan, maka tugas mereka bukanlah membatasi ulama tertentu, melainkan menciptakan ruang diskusi yang sehat. Ini selaras dengan gagasan Habermas tentang public sphere, di mana semua pandangan, termasuk pandangan politik dari ulama, dapat dibicarakan dengan terbuka dan kritis. Sebaliknya, melarang satu suara hanya akan memperkuat polarisasi dan membuat umat merasa terkotak-kotakkan.
Hak Konstitusional dan Dilema Demokrasi
Peran MUI seharusnya dipahami dalam batasan moral dan sosial, bukan legal-formal. Hak politik adalah bagian tak terpisahkan dari demokrasi, dan seperti yang diungkapkan John Rawls, setiap warga negara, termasuk ulama, memiliki hak untuk memilih dan berpartisipasi dalam politik. Pembatasan terhadap UAS bukan hanya bertentangan dengan prinsip keadilan, tetapi juga menempatkan MUI dalam posisi yang ambigu: di satu sisi mereka mengaku menjaga netralitas, di sisi lain mereka secara aktif menilai siapa yang layak tampil di ruang publik.
Lebih jauh, larangan terhadap UAS justru menimbulkan kecurigaan bahwa MUI sendiri memiliki afiliasi politik tertentu. Jika MUI terus bertindak layaknya wasit politik, alih-alih menjaga keseimbangan, mereka malah memperkeruh suasana. Dalam hal ini, masyarakat akan semakin mempertanyakan independensi lembaga agama dan melihatnya sebagai alat kelompok politik tertentu.
Menyatukan Umat: Jalan Tengah yang Mulai Hilang?