Mohon tunggu...
Aryanda Putra
Aryanda Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Jika Kesalahan dan Kebenaran bisa untuk didialogkan, kenapa harus mencari-cari Justifikasi untuk pembenaran sepihak. Association - A Stoic

Ab esse ad posse

Selanjutnya

Tutup

Politik

IRONI MUI PAYAKUMBUH; Majelis Ulama atau Para Wasit Politik?

22 Oktober 2024   14:30 Diperbarui: 23 Oktober 2024   14:06 624
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penulis: Aryanda Putra

Akhir-akhir ini, saya merasa agak risih dengan drama yang muncul di Payakumbuh---sebagai kota yang memegang erat falsafah 'adat basandi syara', syara' basandi kitabullah' banyak ulama hebat lahir dari tanah bertuah ini. Drama ini berkisar pada penolakan ceramah Ustad Abdul Somad (UAS) oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) setempat. 

Tapi yang bikin agak membingungkan, penolakan ini bukan soal akidah atau fatwa menyimpang. Bukan pula karena UAS membawa aliran sesat. Alasannya? Politik praktis. Katanya, UAS dianggap mendukung salah satu pasangan calon (paslon) dalam Pilkada. MUI seolah-olah berfungsi sebagai wasit di lapangan politik, dan saya pun tidak bisa tidak bertanya: Apakah ini MUI atau lembaga pemilu yang baru? Hehehe...sejak kapan MUI jadi mirip Bawaslu? 

Mari kita perjelas: menurut klarifikasi panitia Tabligh Akbar yang sedang dipermasalahkan, UAS diundang untuk mengisi acara tabligh akbar sebagai penceramah, bukan juru kampanye. Tapi entah kenapa, tiba-tiba MUI seperti berubah jadi komisi pemilu dadakan, sibuk menyaring siapa yang boleh bicara di panggung dan siapa yang tidak.  MUI sepertinya lupa kalau mereka bukan lembaga yang berwenang untuk menangani soal-soal Pilkada. Kalau ada dugaan pelanggaran pemilu, itu kan tugas Bawaslu, bukan MUI. Tapi apa boleh buat, mungkin ini bagian dari tren baru: lembaga yang dulunya religius kini juga ingin mencicipi sedikit panggung politik. Hati-hati, MUI, jangan sampai malah jadi semacam Bawaslu gadungan. Jangan sampai anggota Bawaslu setempat kehilangan pekerjaannya. Kalau terus begini, mungkin kita semua harus bersiap untuk melihat lebih banyak organisasi yang tiba-tiba berganti peran. Siapa tahu, besok MUI mengurus pertandingan bola atau menetapkan aturan main monopoli. Merasa paling benar. Karena ya, sepertinya, semua bisa saja diatur. tergantung angin politik mana yang sedang bertiup. Mungkin saya yang tidak tahu bahwa MUI sudah berganti nama menjadi BAWASLU (Badan Pengawas Lintas Ulama) hehe....

Padahal tugas MUI itu kan menjaga umat, bukan memantau "dukungan terselubung" dalam Pilkada. Lembaga yang seharusnya menjembatani umat malah terjun ke arena politik, menciptakan friksi yang sebenarnya bisa dihindari.

Lucunya, setelah surat larangan keluar, MUI malah cepat-cepat melunak saat publik mulai berteriak. Ini seperti menepuk air di dulang, sendiri yang bikin keruh, sendiri yang panik saat cipratannya mengenai wajah. Kenapa tidak dari awal saja tabayun atau berdialog dengan panitia? Kan lebih elegan daripada terkesan plin-plan seperti ini.

Menolak, lalu tidak menolak. Ini ceramah atau liga sepak bola? Begitulah kira-kira kebingungan yang muncul ketika MUI Payakumbuh mengeluarkan surat pelarangan Ustadz Abdul Somad (UAS) lalu buru-buru meralatnya setelah mendapat reaksi publik. Ibarat wasit sepak bola sudah angkat bendera offside, lalu minta maaf karena tertekan oleh sorakan penonton. Sepertinya, mendukung paslon tertentu itu dosa besar, tapi ikut campur di balik bendera ulama itu sah-sah saja. Ironis, kan?Mungkin yang mereka lupa, ketegasan itu bukan cuma soal apa yang dikatakan, tapi konsistensi menjalankannya.

Pertanyaan besarnya, apakah penolakan ini karena alasan menjaga persatuan umat, atau justru MUI-lah yang membuat keruh dengan ikut-ikutan bermain politik dalam ranah politik praktis? Saya tidak mengatakan kalau MUI tidak boleh berpolitik atau ikut campur dalam ranah politik, itu sah² saja. Dan itu telah dilakukan oleh MUI Payakumbuh sendiri dengan melakukan penolakan terhafap UAS. Bagi saya ini adalah langkah politik MUI. tapi yang perlu di ingat politik MUI tentu berbeda dengan partai politik atau kelembagaan politik lainnya. MUI juga harus bisa menghitung langkah caturnya dengan baik, jangan sampai MUI terkena bumerang yang dilemparnya sendiri. Sehingga MUI disamakan dengan partai politik yang ikut mengurusi politik praktis yang notabene secara etika bertentangan dengan nilai etik dan moral yang dianut oleh lembaga keagamaan seperti MUI. Atau MUI dianggap melampaui kewenangannya. Bahwa kita sama-sama tahu di dunia politik praktis dewasa ini segala nya mungkin demi kepentingan, tidak ada batasan jelas mana sesuatu halal mana sesuatu yang haram untuk dilakukan. Adapun aturan pemilu tentang politik praktis hanya mengatur hal² yang hanya terlihat dipermukaan saja tapi tidak menjangkau bagian bawah permukaan. Sedangkan MUI punya standar nilai sebagai tolak ukur politiknya. Bagi saya disini lah letak perbedaannya antara poltik praktis dan poltik etis. Perbedaannya hanya setipis benang. Jika tidak dicermati maka MUI akan terjebak dengan ucapannya sendiri. Dan disini lah kontroversi nya apa yang dilakukan oleh MUI Payakumbuh.

Padahal, jelas-jelas seorang ulama sekalipun punya hak konstitusi. Mau ikut politik atau tidak, itu hak pribadi nya. Selama dia bukan kepala negara yang sedang cuti kampanye, apa salahnya? 

Kalau benar UAS mendukung seseorang, kenapa itu mendadak jadi masalah besar? Publik rasanya sudah cukup cerdas menentukan pilihan tanpa perlu babysitter moral. Lagi pula, sejak kapan tugas MUI berubah jadi mirip Bawaslu? Hehe

Kalau begini terus, jangan-jangan bukan hanya umat yang bakal terpecah, tapi wibawa MUI yang makin habis di mata publik. Apa perlu kita sarankan agar mereka ikut workshop komunikasi publik dulu biar nggak plin-plan? Atau mungkin lebih baik MUI fokus ke perannya sebagai penjaga moral umat, bukan pemain cadangan di liga politik lokal.

Aryanda Putra
Aryanda Putra

Yang makin bikin geleng-geleng kepala adalah munculnya pernyataan tentang "ulama luar" dan "ulama lokal." Konon, salah satu kesepakatan Rakorda MUI Sumbar adalah menolak mubaligh lintas provinsi yang terindikasi berpolitik praktis. Apa ini cara halus untuk bilang, "Jangan bawa orang luar masuk ke wilayah kami?" kalau ini dikaitkan soal politik praktis, bukankah setiap ulama—baik lokal maupun luar—punya hak yang sama untuk bersuara dan menentukan pilihan politik pribadi mereka? Apakah kebijakan ini sebuah sinyal bahwa MUI takut dengan ulama dari luar yang mungkin lebih berpengaruh, atau ini cuma strategi defensif demi menjaga "zona aman" lokal?

Nah, ini menarik. Rupanya, selain menyaring ceramah berdasarkan "indikasi politik," MUI juga memberi label berdasarkan asal geografis. Kalau ulama lokal boleh bicara, tapi ulama dari luar Sumbar lebih baik diam saja, apalagi kalau dicurigai punya pandangan politik. 

Ckckck, kapan mulai ada semacam imigrasi spiritual ini? Sejak kapan urusan dakwah butuh izin teritorial?  Apakah nasihat dan ilmu hanya diterima kalau datang dari ulama lokal? Jika ya, lalu bagaimana nasib gagasan persatuan umat? Bukankah Islam mengajarkan bahwa kebaikan dan ilmu bisa datang dari siapa saja---tanpa harus dipilah-pilah berdasarkan KTP? 

Pendekatan semacam ini justru memperlihatkan betapa sempitnya pola pikir yang dimainkan. Bukankah ilmu agama seharusnya tidak mengenal batas geografis? Apalagi dalam era keterbukaan seperti sekarang, di mana umat bisa mendengar ceramah siapa saja dari belahan dunia manapun dengan satu klik di internet. Apa yang ditakutkan MUI dari kedatangan ulama luar---apakah takut gagasan baru akan menggoyahkan zona nyaman ulama lokal? 

Atau ini cuma alasan lain untuk menutup-nutupi preferensi politik tertentu?  Jangan-jangan, dengan mendikotomikan ulama, MUI malah ikut bermain dalam arena politik praktis yang mereka klaim ingin hindari. Ironis, bukan?

Yang lebih ironis lagi, keputusan melarang UAS dengan dalih menjaga persatuan malah jadi pemicu keretakan umat. Masyarakat sekarang sudah cerdas; mereka bisa menilai mana langkah bijak dan mana keputusan tergesa-gesa. 

Padahal, kalau sejak awal MUI berdialog dengan panitia dan menahan diri dari cawe-cawe politik, masalah ini bisa selesai dengan adem. Tapi yang terjadi justru sebaliknya: larangan dikeluarkan, klarifikasi ditambah-tambahi, dan publik dibiarkan bertanya-tanya apa sebenarnya motif di balik semua ini.  

Dalam hemat saya, UAS hanya contoh kasus saja. Esensinya, ulama yang turun ke ranah politik bukan masalah baru, dan selama dilakukan dalam koridor demokrasi, tak ada yang salah. Sebaliknya, yang bikin umat bingung adalah ketika lembaga keagamaan seperti MUI terkesan terlalu jauh mengurusi urusan kampanye dan dukung-mendukung. Sebelum terlalu sibuk menuding siapa yang berpolitik praktis, ada baiknya MUI berkaca: Jangan-jangan yang mereka hindari justru sedang mereka lakukan sendiri.

Jika memang alasan MUI adalah menghindari perpecahan dan menjaga netralitas, bukankah lebih baik fokus pada peran utamanya sebagai penyejuk umat? Urusan politik praktis sudah ada lembaganya---biarkan Bawaslu dan KPU bekerja. Jangan sampai MUI malah terjebak jadi pemain politik terselubung, seolah-olah sedang "memilih" ulama mana yang boleh didengar dan mana yang tidak.  

Pada akhirnya, tanpa mengurangi rasa hormat dan kecintaan saya kepada Ulama. Sebagai bagian dari umat yang terus dibimbing oleh para ulama, memiliki kewajiban "...saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran(QS Al-'Ashr ayat 3)" bahwa MUI Payakumbuh ataupun kelembagaan MUI secara umum perlu mengingat bahwa ulama---baik dari luar maupun lokal---memiliki hak dan kapasitas untuk berdakwah di mana saja. Kalau MUI ingin diakui sebagai penjaga moral umat, sebaiknya fokus pada tugas itu. Biar lembaga lain yang menangani politik praktis. 

Jangan sampai masyarakat bertanya-tanya: ini MUI atau LEMBAGA SENSOR POLITIK? Jika terus bermain dalam ranah yang tidak semestinya, bukan tidak mungkin MUI akan kehilangan wibawanya di mata publik. 

Saya berharap dalam suasana Politik sekarang yang rentan terjadi perpecahan dan polarisasi kelompok masyarakat, MUI menjadi penyejuk umat, sebagai mediator yang mendamaikan  bukan justru menambah panas situasi.

Billahitaufiqwalhidayah...

Penulis:

ARYANDA PUTRA

(Sekretaris Umum Badko HMI Sumatera Barat)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun