Yang makin bikin geleng-geleng kepala adalah munculnya pernyataan tentang "ulama luar" dan "ulama lokal." Konon, salah satu kesepakatan Rakorda MUI Sumbar adalah menolak mubaligh lintas provinsi yang terindikasi berpolitik praktis. Apa ini cara halus untuk bilang, "Jangan bawa orang luar masuk ke wilayah kami?" kalau ini dikaitkan soal politik praktis, bukankah setiap ulama—baik lokal maupun luar—punya hak yang sama untuk bersuara dan menentukan pilihan politik pribadi mereka? Apakah kebijakan ini sebuah sinyal bahwa MUI takut dengan ulama dari luar yang mungkin lebih berpengaruh, atau ini cuma strategi defensif demi menjaga "zona aman" lokal?
Nah, ini menarik. Rupanya, selain menyaring ceramah berdasarkan "indikasi politik," MUI juga memberi label berdasarkan asal geografis. Kalau ulama lokal boleh bicara, tapi ulama dari luar Sumbar lebih baik diam saja, apalagi kalau dicurigai punya pandangan politik.Â
Ckckck, kapan mulai ada semacam imigrasi spiritual ini? Sejak kapan urusan dakwah butuh izin teritorial? Â Apakah nasihat dan ilmu hanya diterima kalau datang dari ulama lokal? Jika ya, lalu bagaimana nasib gagasan persatuan umat? Bukankah Islam mengajarkan bahwa kebaikan dan ilmu bisa datang dari siapa saja---tanpa harus dipilah-pilah berdasarkan KTP?Â
Pendekatan semacam ini justru memperlihatkan betapa sempitnya pola pikir yang dimainkan. Bukankah ilmu agama seharusnya tidak mengenal batas geografis? Apalagi dalam era keterbukaan seperti sekarang, di mana umat bisa mendengar ceramah siapa saja dari belahan dunia manapun dengan satu klik di internet. Apa yang ditakutkan MUI dari kedatangan ulama luar---apakah takut gagasan baru akan menggoyahkan zona nyaman ulama lokal?Â
Atau ini cuma alasan lain untuk menutup-nutupi preferensi politik tertentu? Â Jangan-jangan, dengan mendikotomikan ulama, MUI malah ikut bermain dalam arena politik praktis yang mereka klaim ingin hindari. Ironis, bukan?
Yang lebih ironis lagi, keputusan melarang UAS dengan dalih menjaga persatuan malah jadi pemicu keretakan umat. Masyarakat sekarang sudah cerdas; mereka bisa menilai mana langkah bijak dan mana keputusan tergesa-gesa.Â
Padahal, kalau sejak awal MUI berdialog dengan panitia dan menahan diri dari cawe-cawe politik, masalah ini bisa selesai dengan adem. Tapi yang terjadi justru sebaliknya: larangan dikeluarkan, klarifikasi ditambah-tambahi, dan publik dibiarkan bertanya-tanya apa sebenarnya motif di balik semua ini. Â
Dalam hemat saya, UAS hanya contoh kasus saja. Esensinya, ulama yang turun ke ranah politik bukan masalah baru, dan selama dilakukan dalam koridor demokrasi, tak ada yang salah. Sebaliknya, yang bikin umat bingung adalah ketika lembaga keagamaan seperti MUI terkesan terlalu jauh mengurusi urusan kampanye dan dukung-mendukung. Sebelum terlalu sibuk menuding siapa yang berpolitik praktis, ada baiknya MUI berkaca: Jangan-jangan yang mereka hindari justru sedang mereka lakukan sendiri.
Jika memang alasan MUI adalah menghindari perpecahan dan menjaga netralitas, bukankah lebih baik fokus pada peran utamanya sebagai penyejuk umat? Urusan politik praktis sudah ada lembaganya---biarkan Bawaslu dan KPU bekerja. Jangan sampai MUI malah terjebak jadi pemain politik terselubung, seolah-olah sedang "memilih" ulama mana yang boleh didengar dan mana yang tidak. Â
Pada akhirnya, tanpa mengurangi rasa hormat dan kecintaan saya kepada Ulama. Sebagai bagian dari umat yang terus dibimbing oleh para ulama, memiliki kewajiban "...saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran(QS Al-'Ashr ayat 3)" bahwa MUI Payakumbuh ataupun kelembagaan MUI secara umum perlu mengingat bahwa ulama---baik dari luar maupun lokal---memiliki hak dan kapasitas untuk berdakwah di mana saja. Kalau MUI ingin diakui sebagai penjaga moral umat, sebaiknya fokus pada tugas itu. Biar lembaga lain yang menangani politik praktis.Â
Jangan sampai masyarakat bertanya-tanya: ini MUI atau LEMBAGA SENSOR POLITIK? Jika terus bermain dalam ranah yang tidak semestinya, bukan tidak mungkin MUI akan kehilangan wibawanya di mata publik.Â